Part 21 : Cinta di Atas 2050 mdpl

97 16 3
                                    

“Bisa kita lanjut lagi?” Ajak Aryo
“Iya , lebih baik kita lanjut naik lagi kita udah meleset dari waktu perkiraan satu jam bisa-bisa sampai atas kita malem” Tambah Bima
Dan kami pun bersiap melanjutkan perjalanan kami kembali, ada yang aneh dari mas Guntur ia seolah menjauh dari kami berempat bahkan sedari tadi Naya tak pernah jauh-jauh dari mas Guntur. Aku mencoba menggapai tangan mas Guntur namun dengan cepat Naya menghalau tanganku.

Jalur menuju pos tiga, jalanannya sedikit lebih menanjak namun hamparan hijau kebun teh membuat penat yang kami rasakan selama ini sedikit terobati. Tapi setelah kebun teh rupanya jalur yang kami lewati memlurkan tenaga lebih ekstra lagi bagi ku yang perdana summit ke gunung. Jalur pendakian di dominasi oleh trek tanah padat yang sempit, terjal dan menanjak yang membuatku berkali-kali menarik nafas panjang.Pohon-pohon berukuran besar yang mengililingi jalur menuju pos 3.
Kondisi jalur masih sedikit landau, didominasi oleh pepohonan dengan banyak akar gantung di sepanjang jalur. Setelah hampir setengah jam akhirnya kami sampai di pos 3, walaupun tidak selama saat menuju ke pos 2 entah mengapa kami semua merasakan perjalanan ini hanya memakan waktu lima sampai tujuh jam untuk mencapai puncak. Kami seolah berputar-putar ditempat yang sama. Sesampainya pos 3 kami beristirahat sejenak untuk menghilangkan dahaga kami sembari menikmati pemandangan yang menyejukkan.
Saat aku tengah menikmati pemandangan sembari meminum air yang kubawa, mataku menangkap sesosok kakek tua di bawah pohon dengan keranjang rotan di punggungnya. Awalnya aku tak merasa ada yang aneh aku pun membungkukkan tubuhku sebagai rasa hormatku sebagai pendatang yang menginjakkan kaki di tanah orang. Namun, kakek itu hanya membalasku dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“May, kamu gak apa-apa?” Tiba-tiba saja aku tersedak minumku sendiri hingga membuat dada ku terasa sakit.
“Gak apa-apa” Aku menoleh lagi kearah tempat kakek itu berada tapi aku tak lagi menemukan keberadaannya.
“May, aku ingin bicara berdua sama kamu” Ajak Naya
“Kalau mau bicara disini saja kenapa harus berdua?” Protes Aryo, setelahnya naya menatap tak suka kearah Aryo dan menarik tanganku menjauh dari mereka. Saat tangan Naya menyentuh tanganku aku merasakan dingin yang luar biasa dari tangan Naya.
“Nay, tanganmu dingin kamu yakin kamu gak apa-apa?”
“Gak apa-apa aku udah biasa”
“Tapi tanganmu udah pucet banget kayak tangan mayat” Entah mengapa kata-kata itu keluar dari mulutku begitu saja. Tak hanya tangannya sebenarnya wajah Naya juga pucat , awalnya aku mengira karena kulitnya yang putih dan tanpa riasan wajah tapi tidak , tidak seperti manusia pucat pada umumnya.

“Aku dan Guntur akan summit lewat jalur yang berbeda dengan kalian”
“Maksudmu apa?”
“Setelah di pos 3 ini kita akan berpisah, ketika sampai dipercabangan jalan nanti aku dan Guntur akan tetap lurus sedangkan kalian silahkan ambil jalur kanan untuk menuju pos 4”
“Enggak, apapun yang terjadi aku akan tetap berada disamping mas Guntur”
“Ini semua keinginan mas Guntur”
“Nggak mungkin, mas Guntur gak mungkin biarin aku sendirian. Apa tujuan kamu sebenarnya Naya? Apa yang kamu inginkan dari kami?”
“Hmmmm, aku tidak menginginkan apapun dari kalian aku hanya menginginkan mas Guntur untuk menemaniku”
“Aku gak akan biarin kamu merebut mas Guntur dariku” Aku pergi meninggalkan Naya dan menghampiri mas Guntur yang masih diam seperti patung.

“Apa benar mas Guntur ingin summit berdua saja dengan Naya, tanpa kami?” Mendengar ucapanku Aryo, Bima dan Desi tercengang.
“Heh Wedoan gemblung opo sakjane karepmu ki hah”(Wanita gila apa yang sebenarnya yang kamu mau) Ucap Aryo emosi.
“Mas Guntur jawab mas jangan diem aja, apa yang sebenarnya terjadi?” Aku meraih tangan mas Guntur dan aku kaget karena tangan mas Guntur sama dinginnya dengan tangan Naya.
“Naya apa yang kamu lakukan sama mas Guntur?” Tanya ku
“Nggak ada” Jawabnya singkat

“Udahlah Nay, aku udah tau dari bau tubuhmu aku gak nyangka jika kamu akan bertindak sejauh ini” Ucap Bima
“Apa maksudmu Bim?” Tanya Aryo dan Desi berbarengan
“Bau tubuh Naya bau bunga kamboja, dan kamu juga kan yang udah melet mas Guntur biar dia bertekuk lutut sama kamu” Jelas Bima
“Bagus deh kalo kalian sudah tau, ternyata kalian gak segoblok yang aku kira” ucap Naya santai

“Nay, kami sudah berbaik hati lho ngijinin kamu buat ikut rombongan kami, tapi ternyata kamu punya maksud terselubung” Aku hanya bisa menangis, aku gak menyangka jika liburan yang kami kira akan baik-baik saja rupanya malah menjadi petaka. Mas Guntur yang punya ilmu kebatinan saja bisa terpengaruh oleh pelet Naya.

Naya mulai berjalan, hanya dengan senyumannya mas Guntur beranjak dari duduknya dan mengikuti langkah Naya. Aku mencoba menahan tangan mas Guntur namun mas Guntur mendorongku hingga aku ambruk ketanah. Kami segera menyusul langkah mas Guntur dan Naya. Langkah mereka sangat cepat hingga membuat kami berempat kewalahan mengejarnya hingga sampai di percabangan jalur mas Guntur dan Naya sudah tak nampak lagi.

“Aku ingat tadi Naya bilang kalau ia akan tetap lurus sedangkan jalur kanan adalah jalur untuk menuju pos 4”
“Tenang mbak kita jangan sampai kejebak sama omongan wanita itu, bisa saja itu hanya perangkapnya saja”
“Sialan, bisa-bisanya aku gak sadar sama anak itu”
“Terus sekarang kita harus gimana” Didalam kepanikan kami aku melihat kakek yang tadi kulihat.

“Kek, kakek” Panggilku, dan kakek itu menoleh kearahku, akupun segera menghampirinya.
“Kek, maaf apa kakek yang tadi yang di bawah pohon dekat kebun teh?” Tanyaku memastikan
“Iya, nak maaf jika kakek membuatmu takut” Dan kakek itu memandangi kami satu persatu.
“Kakek nyari siapa?”
“Nanti kakek jelaskan kepada kalian, apa yang sebenarnya terjadi dengan teman kalian dan siapa sebenarnya wanita itu”

Kami berempat berjalan mengikuti arah kakek berjalan, cukup jauh kami berjalan sampai kami melewati perkebunan kopi. Yang membuatku heran ada rumah penduduk disekitaran sini, pemandangan yang sungguh epic rumah panggung beralaskan kayu dengan hamparan kebun kopi sejauh mata memandang. Hembusan angin yang sejuk membuat aku sedikit bernafas lega meski pikiran jauh disana dimana mas Guntur berada sekarang.

Hingga akhirnya kami sampai disalah satu rumah panggung, kakek mempersilahkan kami masuk dan kakek pergi ke belakang untuk menyimpan peralatan kebunnya. Kami meregangkan otot-otot kami setelah perjalanan panjang yang kami lalui hari ini. Hari sudah mulai sore, langit sudah menunjukkan warna jingga keemasannya. Belalang-belalang hutan mulai kembali pulang dari aktivitasnya mencari makan.

Tak berapa lama kakek keluar dari belakang sembari membawa nampan yang berisikan teh hangat dan ubi rebus.
“Aduh kek, jadi merepotkan”
“Haha, ini juga yang buatkan tetangga kakek mana bisa. Panggil kakek mbah Noto”
“Terimakasih mbah”
“Monggo-monggo sekecaaken” (Silahkan dinikmati)

“Malam ini kalian bermalam dulu disini, hari sudah gelap dan sebentar lagi hujan”
“Tapi kami harus mencari teman kami mbah”
“Tenang saja, teman kalian baik-baik saja”
“Tapi dimana dia sekarang mbah?”
“Dia ada dibawah lereng gunung ini” Kami semua saling memandang satu sama lain
“Bagaimana bisa dia ada disana?”
“Wanita yang bersama kalian itu, bukan wanita sembarangan dia telah mengikat perjanjian dengan salah satu penunggu gunung ini”
“Tapi apa tujuannya mbah”
“Tujuannya agar kekasihnya bisa hidup kembali dengan cara menumbalkan para pria sebagai gantinya”
“Jadi mas Guntur akan dijadikan tumbal?”
“Iya”

“Apa yang harus kami lakukan mbah untuk menyelamatkan teman kami?”
“Besok pagi-pagi akan mbah sampaikan semuanya, untuk sekarang kalian lebih baik istirahat dulu karena perjalanan yang akan kalian lalui sangat panjang dan menguras tenaga”
Kami pun menunaikan kewajiban kami sebagai makhluk ciptaannya, aku dan Desi diminta untuk tidur lebih dulu sedangkan Aryo dan Bima masih mengobrol dengan mbah Noto.

CANDRAMAYA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang