Part 45. Kelahiran Yang Dinanti

98 15 0
                                    

“Assallammualaikum”
“Waallaikumsallam” Pintu pun terbuka menampilkan orang-orang yang sudah kunanti kedatangannya.
“Aryo, Bima, Desi ....ini Widi kan cucu mbah Diman?” Widi mengangguk sembari tersenyum
“Inggih mas” (Iya mas)Mas Guntur mengerutkan keningnya heran bagaimana bisa Widi keluar dari desa.
“Mbok tamunya ki dipersilahkan masuk dulu”ledek Aryo yang sudah nyelonong masuk, mas Guntur hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku manusia satu itu.

“Mari masuk” Mas Guntur mempersilahkan yang lainnya untuk masuk
“Loh bude sudah ada disini to, siapa yang jemput?” Tanya Bima kepada ibuku
“Bude juga baru saja sampai, gimana kabar kalian?”
“Alhamdullah bude”
“Kelihatannya sebentar lagi bude bakalan nambah menantu lagi ini” Sindir ibuku
“Doakan saja bude” Ucap Bima

“Kalo bisa Aryo dulu yang di doain bude, Bima belakangan aja gak apa-apa ya kan mbak Desi” Aryo mengedipkan sebelah matanya kepada Desi yang membuat wajah Desi tersipu malu.
“Paman belum sampai mas?” Tanya Bima
“Belum, Bim mungkin lambat-lambat besok baru sampai”

“Anak kamu genteng banget Mala, kayak bapaknya” Puji Desi
“Emang kalo mirip aku gak ganteng gitu?”
“Yo kan ini wajah mas Guntur yang mendominasi”
“Kamu cepet nyusul jangan lama-lama”
“Ekhhhhmmmm” Deheman Aryo membuat kami bertiga menoleh ke arahnya.

“Mbak Desi mau tak buatin yang kayak gitu, lebih ganteng malah” Aryo menaikturunkan alisnya menggoda Desi
“Kamu ini lho Yo, godain Desi terus nanti kalau Desinya baper gimana?”
“Lho mbak Maya ini belum tau to kalau aku sama mbak Desi saling suka”
“Serius Des, kamu suka sama bocah itu?” Desi mengangguk malu-malu

“Yasudah kalo memang itu yang terbaik buat kalian aku doain yang terbaik buat kalian berdua ya” Aku memang setikit terkejut mendengar Aryo dan Desi saling menaruh hati satu sama lain pasalnya usia Aryo jauh lebih muda ketimbang Desi. Terlebih dua manusia ini dulunya tidak pernah akur. Cinta memang tak pernah bisa di prediksi dengan siapa hati kita akan berlabuh.

Tak terasa langit sudah mulai gelap, lamanya waktu tak bertemu membuat kami tak kehabisan topic untuk bertukar cerita. Widi gadis pendiam kini mulai bisa mengimbangi obrolanku dengan Desi.

“Widi bagaimana kabar mbah Diman?”
“Alhamdullah baik mas, oiya saya hamper lupa si mbah menitipkan ini kepada saya” Widi menyerahkan sebuah kotak peti kayu
“Mas Amar juga nitip salam buat mas Guntur dan mbak Maya” Ucap Widi malu-malu

Mas Guntur membuka kotak pemberian mbah Diman kakek Widi, rupanya isi kotak itu adalah sebuah keris.
“Sampaikan ucapan terimakasih saya kepada mbah Diman dan mas Amar ya Widi” Ucap mas Guntur yang dib alas anggukan oleh Widi.

“Emm, bagaimana bisa kamu keluar dari desa Widi?”
“Biar mas Bima saja mas yang menjelaskan soalnya Widi kurang paham soal itu” Bima dan Widi saling bertatap malu-malu.
“Desa sudah aman mas, jadi warga desa tempat Widi tinggal sudah bebas keluar masuk tanpa harus khawatir ada yang mengincar keselamatan mereka”
“Bagaimana bisa?”
“Yang saya tahu mbah Diman sempat menemui mbah Darmo lagi tapi tak ada satu pun orang yang diberitahu oleh mbah Diman kesepakatan apa yang mereka buat sampai akhirnya mbah Darmo menyerah”

Mas Guntur menghela nafasnya lega, yang terpenting sekarang perseteruan antara keduanya sudah selesai dan dua desa bisa hidup berdampingan lagi.

Malam itu semua orang sudah tertidur denngan nyenyak, tak terkecuali aku namun sesuatu membuat ku terbangun. Suara seseorang yang memanggil namaku membuatku beranjak dari tempat tidur dan mencari sumber suara itu.
“Candramaya...Candramaya...keluarlah” Ada persaan berkecamuk dalam hatiku, ini sudah lewat tengah malam tidak mungkin seseorang bertamu selarut ini.

Rasa penasaranku lebih besar disbanding rasa takutku saat ini, dengan perlahan aku membuka pintu, namun seseorang menahan tanganku.
“Widi” Aku terkejut mendapati Widi yang berdiri disampingku dan menggelengkan kepala seolah tak mengijinkanku membuka pintu.

Tapi aku tetap nekat membuka pintu, tiba-tiba saja tubuhku gemetaran dan perasaanku semakin tidak enak.
“Oekkk...Oekkk...Oekkkk...” Tangisan anakku membuatku mengurungkan niatku untuk menemui seseorang diluar sana. Aku buru-buru kembali ke kamarku untuk menenangkan anakku, tapi pada saat aku sampai di depan kamar yang di tiduri, ibu, Desi dan Widi, aku melihat Widi tengah tertidur lelap disana. Lalu siapa yang menahan tanganku tadi??, aku menoleh sejenak kearah pintu untuk memastikan bahwa orang yang ku lihat tadi benar-benar Widi. Namun, tak ada siapapun disana.

“Oekkk...Oekkk” Tangisan anakku kembali membuyarkan lamunanku
“Maya kamu dari mana saja” Tanya mas Guntur yang rupanya sudah menggendong putra kami
“Maaf mas, tadi aku ke kamar mandi” Aku mengambil alih putraku dari gendongan suamiku.

“Sayang, haus ya maaf ya ibu perginya lama”
“Mas, mau kemana?”
“Mas mau ambil minum di dapur” Aku mengangguk
Tak berselang lama mas Guntur kembali dengan segelas air ditangannya dan meletekkan minum itu di meja.
“Ada apa Maya kenapa wajahmu terlihat gelisah?"
"Gak apa-apa mas, mungkin aku hanya kelelahan saja"
"Kamu sedang tidak berbohong kan?"
"Tidak mas, sepertinya anak kita sudah kembali tidur" Aku mencium sayang pipi anakku

"Mas sebauknya kita harus memikirkan nama untuk anak kita"
"Iya kita pikirkan besok, sebaiknya sekarang kau pun tidur"

Aku baru mengetahuinya jika kelahiran putraku sangat dinantikan banyak orang, bukan hanya aku dan mas Guntur saja bahkan seseorang yang pernah datang menemuiku.

Ada hal yang tidak aku mengerti mengapa dia begitu menginginkan putraku. Aku memang sudah diberitahu dan diwanti-wanti oleh orang-orang disekitarku yang mengetahui jika anakku merupakan anak yang sangat istimewa. Bahkan kehadirannya sudah dinantikan sejak lama.

Tapi apakah aku sebagai ibunya hanya diam saja, disaat nyawa putraku dalam bahaya. Tentu tidak.

Apapun akan ku korbankan demi keselamatan putraku bahkan nyawaku sendiri.

Ku pandangi wajah mungil putraku, benar yang dikatakan Desi, putraku sangat-sangat mirip dengan ayahnya. Semoga kelak dia bisa menjadi laki-laki yang bertanggung jawab seperti ayahnya.

Keesokan harinya paman Damar sudah sampai dirumah kami.
"Paman, bagaimana perjalanan paman?" Tanyaku
"Paman terkena macet makanya sedikit meleset dari perkiraan"
"Selamat ya Maya, kau sekarang sudah menjadi ibu semoga kelak anakmu menjadi orang yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat"
"Terimakasih paman atas doanya"

"Paman, Ndak bawa apa-apa to" Tanya Aryo
"Ya jelas bawa, tapi sayangnya bukan buat kamu"
"Ishhhh aku rak diwenehi jatah???kok tegel men Yo Yo"
"Yawes nek gitu kamu lahiran disek mengko tak bawakke pisang setundun"
"Kodratku kan laki-laki to paman, aku Ndak bisa hamil bisanya menghamili" kekeh Aryo yang langsung mendapat jeweran dari paman Damar.

CANDRAMAYA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang