[3] hujan

795 116 4
                                    

Song: Never Not-Lauv

***

Sebagai post production supervisor di projek kali ini yang membantu produser dalam mengelola proses paska produksi, Anne kelimpungan karena sound editor yang harusnya dijadwalkan datang kemarin, masih belum datang juga. Informasi dari Retta katanya akan datang tapi benar-benar katanya karena sudah jam 8 malam tidak ada kabar apapun.

"Lo tuh kebiasaan panik, Ann." Khaesan yang ikut bersandar di dinding koridor bersamanya, mulai risih sama Anne yang dari tadi ngomongin sound editor nggak habis-habis. "Ada beberapa scene yang baru nyusul kemarin. Belum benar-benar clear anak produksi tuh. Mungkin juga akhir minggu ini kita baru mulai kerja." Suara Khaesan pelan. Paling bisa bikin kesal tapi paling bisa bikin tenang juga.

Harusnya sih Anne nggak secerewet ini. Benar kata Khaesan. Anak-anak produksi tuh belum benar-benar nyelesain pekerjaannya. Apalagi kerjaan mereka baru kelar awal minggu kemarin. Dan bulan ini tuh baru masuk satu hari hari. Tapi Anne sudah bawel. Mungkin karena ajakan dadakan Pak Tio tadi pagi.

"Ya gue juga nggak nyuruh dia langsung kerja kali. Gue cuma mau ketemu terus ngobrol gitu." kata Anne. Si paling perfeksionis. "Lo ada nggak nomornya? Biar gue yang nanya kapan dia beneran bisa ke kantor." pintanya.

"Ngapain?" Khaesan membulatkan matanya ke sang puan. "Nggak usah nambah-nambah kerjaan. Mas Yudis udah nyuruh Retta buat ngurusnya. Lo tunggu aja." Takut juga Anne kalo Khaesan udah mode serius begini.

"Kak Ann,"

Seseorang datang menginterupsi obrolan malam Anne dan Khaesan. Mereka menengok kompak dan menemukan Retta disana.

"Hape kamu bunyi dari tadi."

"Pak Tio nelpon?" Anne cepat bertanya dengan mata membelalak. Serangan panik dadakan. "Siapa, Ta?"

"Telepon dari instagram, Kak."

"Hah?"

"Siapa ya tadi?"

Anne cepat mengambil ponselnya dan melihat ada nama Gamaliel disana. Makin bertambah panik sang puan.

"Siapa?" tanya Khaesan.

"Temen gue. Tadi gue nabrak dia."

"Hah?"

Udah deh malam itu berakhir dengan hah heh hoh aja. Khaesan dan Retta yang berdiri di dekat Anne yang mendadak lebih panik dari prasangkanya kalau Pak Tio telepon, hanya bisa diam melempar pandang. Pengakuan ia menabrak seseorang juga bikin keduanya makin diam.

Anne buru-buru menelpon balik.

"Halo?"

Baik Khaesan atau Retta, keduanya menyimak kepanikan Anne dengan panik juga.

"Kenapa Gam?" tanya Anne. Lalu dilanjutkannya dengan pertanyaan kedua. "Kaki lo sakit?"

Diam. Khaesan dan Retta yang masih disana tidak tahu apa yang dibicarakan orang itu.

"Iya. Hape gue ilang. Baru banget, minggu kemaren. Terus ganti nomor." Suaranya memelan, penuh penyesalan.

Diam sebentar.

"Hah? Kepala gue?" Habis itu Anne langsung memegang kepalanya, cepat bercermin di dinding kaca belakangnya. Khaesan otomatis memeriksa juga. "Nggak kok. Kepala gue nggak papa. Nggak kejedot setir. Baik-baik aja." Detailnya.

Diam lagi. Mendengarkan tanggapan.

"Hah?"

Hah Anne bikin Khaesan dan Retta bingung. Anne menengok keduanya bolak-balik. Jadinya mereka berdua saling melirik penuh tanya.

ANNE AND GAMA (the 30th night of September)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang