Song: I Like U-NIKI
***
Gama memarkirkan motornya di sisi kanan kafe. Sebelum mengambil langkah, ia melompat beberapa kali dulu untuk memastikan kalau kakinya baik-baik saja. Emang nggak sampe ketabrak tapi kakinya ketimpa motor.
"Halo, selamat datang di Ben's."
Suara teriakan dari salah satu pegawai kafe saat langkah Gama baru membuka pintu membuatnya tersenyum lebar. Pasalnya kafe belum buka. Ia lagi diisengin aja.
"Ben mana?"
"Lah? Ngapain lo?" Seseorang dengan apron yang sama dengan gadis di depan meja kasir yang berteriak untuknya tadi keluar entah dari ruangan mana— membawa sebuah kardus. "Bukannya lo masuk kantor hari ini?" Dia akrab betul sama Gama.
Sambil menaruh kardus tersebut di luar kafe lewat pintu belakang, tak mengabaikan tamunya, sampai ia melangkah mendekat. Kembali berseru. "Gue boleh balik Tangerang lagi nggak ya. Kayaknya harus pindahan ke tempat awal deh gue."
Gama langsung ketawa dan memukul lengan pemuda itu, Benjamin. "Jangan dong! Gue udah seneng banget tau kafe lo deket sama apart gue,"
"Gue nggak seneng."
"Sialan. Temen gue cuma lu doang sekarang, Ben." Dia berkeluh.
"Lo nggak usah ngomong gitu. Lo waktu di Jogja kemarin mana ada lo nanya gue kalo bukan gue yang nanya." Dia protes perihal ini nyaris setiap ada kesempatan ngomong.
"Sengaja. Kan gue mau surprise."
"Jangan ngomong deh. Gue geli."
"Gue tadi hampir ditabrak mobil."
"Hah?" Ben terkejut sampai bangkit dari duduknya untuk melihat kondisi Gama dari segala arah. "Serius lu? Ada luka? Kecelakaan dimana?"
"Belom kecelakaan. Hampir."
"Kalo nyebrang liat-liat dulu, Nyet. Motor mah bisa lu ganti. Banyak yang jual. Nyawa nggak ada yang jual. Kalo ada di pasar udah nyetok gue dari lama." Ben bicara panjang lebar dengan serius tapi ia tidak pernah tahu kalau kalimatnya selalu lucu. Bagi Gama. "Terus yang nabrak gimana? Maksud gue yang hampir nabrak lu. Nggak papa orangnya? Apa luka-luka?"
Gama mengernyitkan keningnya, kebingungan. "Luka gimana? Kan nggak tabrakan."
"Yah mungkin bisa aja dia ngerem mendadak terus kepalanya kejedot setir." Gama tak berpikir soal itu. Wajah bengongnya datang dan Ben paham. "Nggak ketemu orangnya?"
"Ketemu." jawab Gama cepat, masih berwajah bengong. Ditengah huru-hara kekhawatiran Anne soal dirinya, ia lupa untuk bertanya tentang keadaan sang puan. "Temen SMA gue."
"Siapa?"
"Ada," Gama masih bengong. "Dia luka nggak ya. Gue lupa lagi nanya."
Ben kembali berisik. "Siapa?"
"Nggak kenal lo."
"Temen SMA lo gue kenal semua."
"Cewek. Annelka."
Ben diam. Mencari-cari nama Annelka di dalam memori otaknya— sampai senyumnya menyungging, menunjukkan ia berhasil menemukan kenangan bersama gadis itu. "Yang datang nonton lo manggung itu, kan?"
"Yang nonton gue sekampus, Ben."
"Nggak. Ini dia beda kampus. Dia selalu minta tiket masuk ke gue. Yang datang pas lo seminar proposal, sidang dan wisuda. Dua orang tapi ini Annelka yang cantik itu, kan?" Pujian datang tiba-tiba. Gama diam dengan pandangan sinis. Bikin Ben cepat mengklarifikasi ucapannya. "Lo sendiri yang waktu itu bilang dia cantik."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNE AND GAMA (the 30th night of September)
Romance[COMPLETED] Ini cuma kisah manusia-manusia quarter life crisis yang katanya nggak mau mikirin soal asmara tapi kenyataannya hanya seorang fakir cinta yang pengen juga punya pacar kayak orang-orang. Anne dan Gama sempat berpisah selama dua tahun kare...