SPECIAL PART: KHAESAN

420 25 4
                                    

the story of Khaesan

***

Hari itu, gue nggak sengaja ngeliat notifikasi line dari cowok yang hampir lima tahun gue kenal masuk ke hape Ai, cewek gue. Namanya Ramajuni.

Kalau gue tanya kenapa Rama menanyakan keberadaan Ai dengan bahasa aku-kamu, mungkin gue akan dapat penjelasannya yang sama. Mereka nggak ada apa-apa. Cuma teman. Iya gue tahu. Mereka teman kampus dan akrab banget. Gue bahkan sering nongkrong bareng sama dia. Kalau lagi nunggu Ai kelar rapat di kampus atau nyusul Ai yang lagi nugas sama dia (dan teman-temannya yang lain). Gue tahu, Ai sama Rama suka kemana-mana bareng. Bukan karena mereka temen kampus aja tapi temen satu kelas juga. Dan kalo dibahas lagi, ceritanya pasti akan tetap sama—masalahnya masih yang lama.

"Sesusah itu ya kamu buat ngabarin aku," Dia marah lagi sambil mematikan layar hapenya yang dari tadi nyala karena spam chat dari Rama. Mungkin nggak sadar kalau pesan-pesan itu gue baca atau sebenarnya sadar dan sekarang lagi mengalihkan situasi.

Gue sebenarnya nggak pernah kayak gini. Mungkin memang gue udah capek aja berantem karena hal-hal yang sepele nyaris setiap hari. Biasanya gue bakal ngajak Ai ngobrol di hari kita berantem dan di hari itu juga kita baikan. Tapi kali ini gue butuh waktu cukup lama sampai akhirnya Ai nyamperin gue ke festival kantor.

"Iya maafin aku ya, Sayang."

"Aku udah sebisa mungkin selalu ada buat kamu. Sesibuk apapun." Gue tahu kalau kita ketemu bakalan berantem dan gue belum siap buat menghadapinya. Kepala gue pusing banget. Ditambah lagi pikiran Rama yang masih aja chat Ai. Mau meledak rasanya. "Yang sibuk bukan cuma kamu, Ke. Aku juga. Tolong dong kerjasamanya. Hubungan ini bukan aku doang. Ada kamu." sambungnya.

Buru-buru gue meraih tangannya. "Iya, Sayang. Aku salah. Maafin aku ya."

"Kamu kayak gini mulu," Tapi cepat dia menepis tangan gue cukup kasar. "Suka menggampangkan semua hal. Kamu bikin salah, terus minta maaf."

Bahkan gue nggak sempat nanya kenapa dia masih chatan sama Rama. Dia marahin gue cuma karena gue nggak ngabarin dia. Padahal dia paham betul sama kerjaan gue. Padahal dulu Ai bukan tipekal yang posesif kayak gini. Dia mulai begini sejak ketahuan selingkuh awal tahun.

Gue sebenarnya nggak tahu ini bisa dibilang selingkuh atau bukan. Awal tahun kemarin, gue cerita sama mas Yudis—itu juga nggak sengaja ketemu pas nyebat di rooftop. Posisinya lagi jam dua pagi. Gue kayak pengen lompat ke bawah. Mana hawa-hawanya sepi dan dingin lagi. Pikiran gue benar-benar kalut banget. Gue habis berantem gede sama Ai. Kayaknya selama gue pacaran sama Ai, gue nggak pernah marah dan baru hari itu gue marah. Gue ngegap Ai lagi pelukan sama Rama di apart Ai.

Iya, di apart Ai.

Ai udah nangis-nangis malam itu. Nahan langkah gue yang habis bantingin semua barang-barang di dalam apartnya. Lu kalo jadi gue bakalan ngamuk nggak lihat cewek lu pelukan dalam apart. DALAM APART. Sama cowok yang udah sering jadi masalah di hubungan lu. Gue nggak bisa bayangin mereka habis ngapain, lagi ngapain, ngapain aja selama ini di belakang gue, sejak kapan mereka kayak gini. Semua pikiran itu memenuhi kepala gue. Tapi lihat Ai nangis-nangis sampe sujud begitu, amarah gue tiba-tiba aja reda.

Ai bilang Rama lagi ada masalah dan butuh bantuan. Orang yang bisa dihubungi cuma dia. Gue percaya. Gue berusaha mempercayainya. Bahkan disaat gue tahu mereka nggak putus komunikasi dan semakin intens sejak tahun lalu. Gue tetap percaya Ai.

Gue percaya. Gue kenal Ai lebih banyak dari orang lain. Gue sayang banget sama Ai. Gue nggak tahu kalau nggak sama Ai apa gue bisa hidup. Saking hidup gue bergantung sama Ai. Bertahun-tahun sama Ai dan mikir tiba-tiba aja nggak ada Ai apa gue bisa menjalani hari-hari dengan baik.

ANNE AND GAMA (the 30th night of September)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang