Song: The Most Beautiful Things-Bruno Major
***
Masih basah muka Gama habis mencuci muka di kamar mandi kantor. Rambutnya juga hampir basah semua—antara cuci muka sama mandi agak sulit dibedakan memang. Tangan kirinya memegang tangkai kacamatanya takut-takut benda terpenting di hidupnya itu ternodai sebelum akhirnya ia masukkan ke dalam kotak saat tiba di meja kerja.
"Gam, ntar lo ya yang ke rapat umum?"
Yang tengah sibuk merapikan rambutnya—lebih mirip diacak-acak, kaget mendapati kehadiran Mas Tara yang tiba-tiba muncul. "Iya, Mas."
"Nggak usah panik," timpal Mas Tara yang sudah mulai sibuk di meja kerjanya. Pintar menebak perasaan Gama sekarang. "Santai aja. Rapat umum biasa doang. Lu cuma datang duduk terus selesai. Lo mau sambil tidur juga bisa. Nggak bakal ada yang peduli."
Gama diam, sedikit nggak tegang dengar kalimat Mas Tara. Tapi tetap aja, ini rapat umum pertamanya dan dia agak cemas. Apalagi melihat penampilannya yang jelek banget malam ini. Cuma celana pendek dan kaos oblong. Rasanya kayak nggak sopan.
"Kenapa?" Mas Tara menengok.
"Gue jelek begini nggak papa, Mas?"
"Jelek dari mana?" Pria itu langsung ketawa. "Sejak lu masuk divisi ini, gue jadi sibuk banget. Lo nggak tau kan? Kemaren gue didatangin sama anak-anak magang di divisi sebelah. Pada nanya, cowo yang suka make celana pendek, kadang kacamataan dan muda itu siapa, Mas, cakep."
"Kan Mas Tara suka juga make celana pendek, kadang kacamataan dan cakep."
"Kok mudanya nggak lo sebut?"
"Muda juga, Mas." Dia mencoba menggoda tapi takut juga ujungnya. "Kita cuma beda 2 tahun."
Tara ketawa kemudian. Gama sedikit lega. Dikira dia bakal diospek. Awalnya memang sedikit canggung bersama Mas Tara tapi ternyata dia orang yang humble dan hangat juga.
***
Dengan cemas yang ia tanggung seorang diri, walaupun kata Mas Tara santai aja, akhirnya Gama berada di ruangan besar ini— yang sudah dipenuhi orang-orang dari semua divisi.
Seperti kata Mas Tara, rapat umum malam ini tampaknya memang hanya rapat biasa saja. Tak formal seperti bayangannya. Ada dua penampilan yang Gama soroti. Karyawan shift malam yang terlihat cakep karena baru datang atau karyawan lembur yang sudah kelelahan dan ingin cepat-cepat pulang— seperti gadis di pojok ruangan yang Gama temukan ketika ia tiba di ruangan rapat. Dia diam sendiri, dengan headset di telinganya. Jauh dari orang-orang.
Dengan langkah pelannya, ia sampai disana. Bersebelahan dengan gadis pojokan yang ia maksud. Yang tidak menyadari kehadirannya. Yang sibuk scroll lagu-lagu di playlistnya.
Gama tak berani menganggu. Hanya dilihatnya saja gadis itu yang sekarang sudah memejamkan mata. Rambutnya yang diikat sembarangan itu menganggu kenyamanannya bersandar segera ia asal acak agar tak mengenai punggung bangku langsung. Anak-anak rambut yang menempel di keningnya, wajahnya yang kehabisan dempul masih cantik untuknya. Dan sialnya— wangi.
Sampai tak ada pergerakan apapun dari sang gadis selain kepalanya yang tiba-tiba jatuh di bahu Gama. Dilihatnya, ia benar-benar tidur dan tidak peduli sekitar. Tidak juga dengan mic yang dipukul-pukul tanda rapat akan segera dimulai. Bener kata Mas Bulan, beneran bisa tidur.
Tadinya Gama tak begitu yakin fokus akan rapat umum ini karena mengingat dirinya juga ngantuk. Tapi karena ia harus tetap tenang dan diam agar gadis di sampingnya ini tidak terbangun, Gama jadi mengikuti jalannya rapat meski tubuhnya mendadak meriang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNE AND GAMA (the 30th night of September)
Romance[COMPLETED] Ini cuma kisah manusia-manusia quarter life crisis yang katanya nggak mau mikirin soal asmara tapi kenyataannya hanya seorang fakir cinta yang pengen juga punya pacar kayak orang-orang. Anne dan Gama sempat berpisah selama dua tahun kare...