Song: Give Me Your Forever-Zack Tabudlo
***
Pertama kalinya, Anne melihat Gama menangis sepanjang ia kenal pemuda itu. Mungkin memang terbilang cepat untuk tahu tentang Gama. Saat itu masih di tahun pertama semester genap. Gama cuma anak kelas sebelah yang kebetulan Anne kenal karena satu ekstrakurikuler paskib. Ia bukan pribadi yang lucu. Tapi yang namanya gelak tawa nggak pernah lepas dari dia. Bagi Gama semua hal itu patut untuk ditertawakan.
Kabar meninggalnya Mama Gama cepat tersebar. Dan duka langsung menyelimuti atap sekolah. Bersama teman-teman yang lain, Anne datang ke rumah Gama untuk menyampaikan rasa belasungkawa. Ramai orang-orang datang. Papan karangan bunga juga, penuh sampai menutupi rumah duka. Bahkan ada yang baru turun dari mobil untuk ditaruh.
"Gam,"
Entah bagaimana bisa, hari itu Anne jadi satu-satunya orang yang menemukan keberadaan Gama. Tak mau banyak tanya kemana perginya pemuda itu saat Anne dan teman-teman yang lain datang untuk berbelasungkawa, sampai langkah mereka akan pulang, Anne mendengar suara tangis dari garasi rumahnya. Dan benar saja, ia disana. Memeluk lututnya, terisak-isak.
Hampir satu menit Anne berdiri sambil mendengar tangis haru Gama yang ia coba tahan diantara riuh rumahnya. Bingung harus berpamitan atau tidak tapi Anne akhirnya memberanikan diri, setidaknya menyampaikan rasa turut berdukanya.
"Kita pamit ya. Semoga Mama tenang disana ya."
Anne tidak membayangkan kalau dirinya berada di posisi Gama hari itu. Tangisnya mungkin tidak cukup seperti tangis Gama. Kalau bisa ia ikut Mama, mungkin dia ikut saja. Dunia pasti tidak akan pernah baik lagi kalau Mama pergi. Anne tidak bisa membayangkannya.
"Makasih, Ann."
Pemuda itu menjawab kalimat Ann, yang Anne sendiri pikir akan diabaikan saja. Ia bangkit dari duduknya sambil menyeka air mata. Sesak semakin menyiksa dada Anne, melihat seberapa bengkak mata Gama karena banyak menangis. Benar, itu pertama kalinya.
"Gue sama anak-anak paskib tadi."
"Iya. Sorry ya."
"Don't say sorry."
Mata Gama kembali tergenang air, Anne melihat itu dengan amat jelas. Sampai ia mengatakan hal yang bahkan bikin Anne jauh lebih sesak dari sebelumnya. "Mama udah nggak ada, Ann."
Haru Anne pecah di sana. Dia yang meneteskan air mata lebih dulu dibanding Gama. Gimana Anne bisa menjelaskan kalau dia pengen banget ambil sedih Gama hari itu. Biar dia nggak dipenuhi sesak. Rasanya kayak nggak tega. Tapi Anne benar-benar nggak tahu mau ngapain.
"Kalau mau latihan paskib, Mama nggak pernah lupa isi tumbler gue. Terus sekarang yang ngisi airnya siapa, Ann, kalo Mama udah nggak ada?" Isaknya datang lagi.
Demi Tuhan, lidah Anne kelut. Dia tidak bisa bicara apapun. Air mata Anne terus-terusan jatuh. Benar yang orang-orang bilang. Menerima kehilangan seseorang adalah menerima takdir, Anne yakin Gama tidak akan protes soal itu. Tapi tidak tahu kalau untuk menerima kehilangan akan kebiasaan-kebiasaan yang tiap hari Gama dapatkan.
"Gam, can i hug you?"
Tanya haru Anne jatuh, tiba-tiba.
***
"Ntar siapa yang bantuin bawa barang-barang sebanyak ini," serang Gama sambil melirik tumpukan kertas dan tas laptop di pelukan perempuan di hadapannya itu. "Yang antar jemput lo kalo mobil lo rusak. Yang nemenin lo makan siang. Terus," lanjutnya.
Kalimat panjang itu Gama ucapkan seperti ia sudah menghapalnya dari kemarin, padahal dia nggak sengaja membeberkan semua bantuannya seolah Anne butuh dia banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNE AND GAMA (the 30th night of September)
Romance[COMPLETED] Ini cuma kisah manusia-manusia quarter life crisis yang katanya nggak mau mikirin soal asmara tapi kenyataannya hanya seorang fakir cinta yang pengen juga punya pacar kayak orang-orang. Anne dan Gama sempat berpisah selama dua tahun kare...