Song: Girls-The 1975
***
Suara instruktur yoga dari layar televisi di ruang tengah terdengar tanpa penonton. Anne— dengan kostum yoganya tengah sibuk mempersiapkan sarapan pagi setelah melakukan aktivitas sehatnya beberapa menit yang lalu.
"Sumpah demi Bikini Bottom," Seseorang dengan rambut merah cherry yang berantakan itu keluar dari kamar. Ia mengucek matanya yang masih separuh terpejam. Melangkahkan kakinya ke pantry. Dan duduk di depan meja kitchen bar. Memperhatikan Anne. Sebal. "Bisa nggak sih hari minggu tuh dimanfaatkan untuk males-malesan seperti bangun siang gitu."
"Udah siang,"
Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul.
"Mata sapi atau dadar?"
"Mata sapi." Tapi ia bisa menjawab soal ini dengan cepat.
Hening, yang terdengar sekarang hanya bunyi telur di atas wajan.
"Eh si bule di kantor lu kontraknya gimana sih? Karyawan baru atau magang?"
"Bule siapa?" tanya Anne balik.
"Bule Canada."
"Udah berapa kali gue bilang dia nggak ada keturunan bule sama sekali, Prisia Gyinanti."
"Sumpah tapi dia mukanya bule, Annelka Yabela." Setelah bertemu dengan Gama secara langsung, Prisia jadi terus-terusan mention kalau Gama asli Kanada. "Lebih dari apa yang gue bayangin pas lo cerita soal dia. Gue ngira sih orang Indonesia kebule-bulean gitu. Ini mah beneran bule. Dia pas di Kanada kemaren pasti dikira warga lokal,"
"Ngapain sih lo pagi-pagi dah mention dia aja."
"Kata lu dia sound editor kan, pernah garap MV."
"Terus?"
"Mau gue rekrut ke kantor gue."
Bener, nyawanya belum kekumpul.
"Makan deh, buruan." Anne menaruh telor mata sapi di atas piring nasi goreng Prisia yang sudah dipajang manis dihadapannya. Berharap ia diam dan berhenti bicara sembarangan.
Jelas Prisia menurut dan langsung diam. Ia menikmati sodanya dan nasi goreng yang dibuat Anne. Kalau udah dikasih makan sih emang bakalan diam. Apalagi kalau yang masak Anne. Best food pokoknya karena kayak makanan di rumah. Cuma itu tadi, Anne malas cuci piring.
"Lo cuci piring ya. Gue habis kutekan."
Prisia tahu kalau itu bukan permintaan yang bisa ditolaknya karena aslinya dia nggak butuh jawaban apapun. Kalau bagian cuci piring selalu saja bagiannya.
"Lu gimana? Yang sama Khaesan?"
Sebelum menjawab, ia menyempatkan diri untuk menyeduh sodanya dulu. "Gue sih nggak mungkin nolak. Lu tau gue. Tapi lihat dulu tanggal segitu ada orderan kue apa nggak,"
"Lu pilih deh lu mau jadi artis atau mau jadi boss bakery?"
"GUE MAU SEMUANYA!"
***
Pintu kulkas terbuka langsung menampilkan deretan air putih mineral disana. Selain itu tidak ada apapun. Bersih, putih, tanpa noda. Gama bergerak ke meja kitchennya dan menemukan pizza di atas piring. Yang pasti sudah dipanaskan. Sisa semalam.
"Kata lo mau masak, Ben."
Helaan napas Ben terdengar kesal. Kalau saja tidak memikirkan wajah ngantuk Gama, mungkin pizza di tangannya sekarang sudah menempel di wajah Gama. "Bahkan rempahan kulit bawang merah aja nggak ada di dapur lu."
"Gue kira lo bawa sendiri bahan-bahannya."
"Gue lihat-lihat makin kesini lo makin kesana ya," timpal Ben disambut gelak tawa sang tuan dengan tenaga seadanya. "Lu timbang belanja aja nggak bisa. Parah banget sih skill jadi manusianya beneran nggak ada. Kan udah gue bilang sama lo, belanja. Ntar kalo gue sempet mampir gue masakin. Biar lo nggak makan angin aja gue takut kenapa marah Bapak lu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNE AND GAMA (the 30th night of September)
Romance[COMPLETED] Ini cuma kisah manusia-manusia quarter life crisis yang katanya nggak mau mikirin soal asmara tapi kenyataannya hanya seorang fakir cinta yang pengen juga punya pacar kayak orang-orang. Anne dan Gama sempat berpisah selama dua tahun kare...