SPECIAL PART: BENJAMIN DAN ARETTA

509 24 5
                                    

***

Ben bertanya-tanya kenapa Bapak pas ditinggal Ibu kemaren nggak nangis sampai-sampai dia mikir Bapak memang kepengen Ibu mati. Ben mikir Bapak cape ngurusin Ibu yang sakit-sakitan — yang harus cuci darah 2–3 kali dalam seminggu selama hampir dua tahun. Ben mikir Bapak udah nggak sayang Ibu lagi dan nggak merasa kehilangan kayak mereka.

Tapi Ben akhirnya tahu kenapa Bapak pas ditinggal Ibu kemaren nggak nangis karena harus kuat — kayak yang dia lakuin disaat Bapak berpulang. Ben nggak nangis-nangis kayak waktu Ibu meninggal. Ben harus jagain Retta. Ben harus ngurusin pemakaman Bapak. Ada banyak yang harus dia kerjain dan nggak ada waktu buat nangis di samping jenazah Bapak.

"Kamu mau ngekos sendiri?"

"Loh kenapa?????" Retta langsung menengok masnya itu yang bengong di kursi kemudi. Posisi mereka masih di depan pemakaman. "Mas beneran mau pindah ke Bandung?" Perempuan rambut pendek itu bertanya lagi.

Setelah Bapak berpulang — Ben jadi cukup protektif sama Retta. Dia baru sadar beberapa waktu belakang ini. Gama dan Anne sering banget ngasih tahu dia untuk udahan ngatur Retta. Tapi gimana ya. Perempuan 23 tahun itu masih kelihatan kecil banget di mata Ben. Kayak dia nggak bisa ditinggal sendirian. Ben worry. Tapi Ben sadar memang udah cukup dia jagain Retta. Adik kecilnya itu udah bukan anak kecil lagi. Dia udah bisa jaga diri sendiri. Retta boleh mengambil keputusan tanpa perlu izin Ben.

"Yaudah sih kalo Mas emang mau pindah. Aku ngikut aja."

"Kerjaan kamu gimana????"

"Aku nggak mungkin dong PP Jakarta Bandung!!!"

"Yah lu ngekos aja."

"Hah?????" Retta bingung.

"Cari kosan yang lebih deket aja."

"Aneh banget. Kamu mau nikah ya Mas????"

Yang ditanya langsung bulat matanya. "Rana aja masih pusing sama disertasinya!"

"Tuh kan emang kayaknya Mbak Rana nggak ada niat mau nikah sama kamu. Mungkin kalo ada S4 S5 S6 bakal diambil juga sama Mbak Rana."

"Yaudah sih. Dia mau sekolah terus juga aku nggak masalah. Aku nggak maksa dia mau nikah sama aku." Ben menjawab santai. "Kecerdasan itu dipengaruhi oleh faktor genetik. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa mayoritas kecerdasan anak diturunkan dari ibu. Hal ini bisa terjadi karena gen yang menentukan kecerdasan terletak di kromosom X. Wanita mempunyai dua kromosom X, sedangkan pria hanya membawa satu kromosom ini. Nanti anak-anak gue pinter semua soalnya Ibunya juga pinter banget." Dia tiba-tiba ngomong panjang bikin adiknya itu bengong.

"Yahhh terus kok lu kayak mau ngusir gue?????"

"Bukannya lu mau bebas????"

Retta diam. Dia itu nggak pernah cekcok perihal sikap protektif Ben ke dirinya. Perdebatan kayak gitu udah terjadi dari jaman dahulu — sejak Bapak wafat. Kalau sekarang udah nggak lagi. Retta udah terbiasa bahkan kayaknya memang ketergantungan sama Masnya. Secara nggak langsung Retta jadi terbiasa diantar jemput, terbiasa kemana-mana berdua, terbiasa apa-apa nanya Ben. Sampai dia nggak kepikiran bakal punya cowok. Soalnya Masnya ini udah cukup bisa diandalkan. Jadi soal Masnya yang protektif sama calon pacarnya sebenarnya nggak jadi masalah buat dia.

Memang sih kadang-kadang dia suka mention kapan dia bisa bebas dari Masnya — ke Kak Anne sama Mas Gama yang sekarang jadi sekutu dia buat menyerang laki-laki itu. Tapi sebenarnya Retta nggak yakin juga. Apa dia bisa apa-apa tanpa Masnya. Baru dipikirin aja dia udah mau nangis.

***

"Gue sebenarnya seneng banget Mas pacaran sama Mbak Rana, Kak." Gadis itu duduk sambil megang gelas kopinya. Dia nggak pernah terlibat obrolan seprivate ini sama Kak Anne — atau siapapun di kantor karena memang dia masih terbilang anak baru. Tapi karena Gama adalah teman Masnya, dia jadi dekat aja sama Anne. "Mbak Rana itu nggak cerewet. Dulu Mas pernah punya pacar dan cemburu gitu ke gue. Pokoknya kayak marah apa-apa gue. Dia nggak tahu gue juga malas sama Mas yang apa-apa ke gue mulu,"

ANNE AND GAMA (the 30th night of September)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang