4. Pinjem Uang

275 35 2
                                    

Pagi hari ini Rei masih berada di kamarnya memeriksa saldo tabungannya. Pembayaran bulan ini masih akan ia terima seminggu lagi. Sementara kini ia harus memikirkan bagaimana mencicil kredit motor kekasihnya, Satya. Ia gelisah sejak tadi beberapa kali mengacak rambutnya bingung dari mana harus mendapatkan uang untuk membayarkan kredit motor Satya.

Rei kemudian berjalan keluar kamar, di ruang makan ia melihat Iva yang tengah sibuk menyuapi Jeno yang akan segera berangkat sekolah. Gadis bertubuh tambun itu kemudian duduk di samping sahabatnya itu, lalu melirik dengan ragu apakah ia harus meminjam uang Iva hari ini?

"Makan Tante," siapa Jeno dengan suara yang menggemaskan. Anak berusia 4 tahun itu kini sudah belajar di pendidikan anak usia dini (paud) yang berada tak jauh dari rumah Rei.

"Iya makan yang banyak ya." Rei mengatakan itu sambil mengacak rambut Jeno.

"Makan sana, gua udah masak tuh. Lo hari ini ada kerjaan di toko roti 'kan?"tanya Iva sambil sibuk menyuapi buah hatinya.

"Iya nanti gue makan. Lagian gua kerja masih agak siang nanti." Rei terdiam ia kembali menimbang apakah ia harus meminjam uang pada Iva. "Va Lo ada uang enggak delapan ratus."

"Buat apa?"

"Gue harus nalangin dulu untuk cicilan motornya Satya," jawab Rei sambil menyantap nasi goreng buatan Iva.

Iva menatap Rei menggelengkan kepalanya heran dengan kelakuan sahabatnya itu. "Lo itu dimanfaatin sama Satya. Udahlah Rei, lo kan pinter ya, please jangan jadi bodoh cuma karena lagi bucin."

"Enggak gitu Va, nanti juga bakal dia ganti kok," sahut Rei. Tentu saja ia merasa kalau Satya jujur dan tak mungkin membohonginya.

"Ini udah cicilan ke berapa? dari awal Dp itu kan lo yang bayar? Udah diganti?" tanya Iva yang segera dijawab gelengan kepala oleh Rei.

"Ya gue enggak enak lagi kalau nagih dia Va," jawab rei.

Iva mendesis kesal. "Tagih lah itu kan uang lo. Lo cari uang itu susah, kerja dari pagi sampai malam, setiap hari kerja, kerja, kerja ngalahin presiden enggak ada hari libur. Boro-boro liburan," kesal Iva pada sahabatnya. Tentu saja ia mengatakan itu lantaran sayang pada Rei yang terkesan dibodohi oleh Satya yang selama ini banyak meminta.

"Kalau lo enggak mau minjemin gue enggak apa-apa kok." Rei merasa Iva mengatakan itu lantaran tak mau meminjamkan dirinya uang.

"Kalau bukan buat Satya ada. Kalau buat Satya enggak ada. Mending lo minjem gue lo bilang buat foya-foya ke salon kek, ke mall, beli baju, beli skin care. Ini malah buat cowok enggak berguna." Iva kesal, ia rasanya ingin memukul kepala sahabatnya itu dengan harapan Rei bisa mendapatkan kesadaran.

"Yaudah."

"Ya dah, ya udah ape?"

Rei membecik menatap Iva dengan tatapan memelas. "Ya udah kalau enggak mau pinjemin gue Iva zheyeng." Rei tak banyak bicara ia kemudian menyantap sarapan paginya tanpa banyak berkata-kata.

Iva sebenarnya tak tega, hanya saja kali ini ia harus tega untuk kebaikan Rei. Sahabatnya itu seharusnya bisa menolak permintaan Satya. tentu saja cicilan motor itu bukan tanggung jawab Rei, sekalipun Rei adalah kekasihnya. Dalam hal ini bukankah seharusnya jika Satya benar mencintai Rei, ia tak akan menyusahkan kekasihnya dengan membebankan tagihan kepada Rei. Apalagi ia tau kalau gadis itu hidup sebatang kara.

***

Kuki kini tengah berada di ruangannya beberapa laporan tengah ia baca dan kemudian ditandatangani. Pekerjaan rutin yang ia kerjakan selain memikirkan tentang perencanaan kerja. Ia menjadi sean CEO di usia yang cukup muda karena sang ayah yang mendadak sakit menyebabkan ia menduduki jabatan sebelum lulus S2. Beruntung ia bisa melakukan dengan baik.

Saat ia tengah sibuk dengan kegiatannya, ponselnya berdering, Vhi. Segera ia menerima panggilan dari sahabatnya itu.

"Hmm?" sapa Kuki masih sambil membaca laporan miliknya.

"Udah mau jam makan siang." Suara berat Vhi terdengar.

"So why? Lo mau gue kirimin makanan?" tanya Kuki menawarkan.

"Bantuin gue ...," bisik Vhi tak terdengar.

"Apa?"

"Ban-tuin gu-e ka-bur."

Kuki terhenti dari kegiatannya, terdiam sejenak coba menyakinkan dirinya dengan apa yang ia dengar. "Lo mau kabur?"

"Iyes, lo bilang aja mau ajak gue makan atau gimana gitu ke nenek gue. Please," ucap Vhi memohon pada sahabatnya itu.

"Aish, enggak bisa lo hidup normal dan terima aja tawaran kerja dari nenek." Kuki coba memberikan saran.

"Enggak mau gue hidup kaya lo, kerja, kerja, kerja. Mentang-mentang kaya nyakitin diri sampe tipes," sahut si pemilik suara bariton dan itu.

Kuki hanya terkekeh mendengar apa yang dikatakan Vhi. "Lo berlebihan, kita banyak santainya kok. Di awal aja penyesuaian."

"Udah stop lo bahas tentang kerjaan. Gue tunggu," ucap Vhi kemudian mematikan panggilannya.

Setelahnya Kuki merapikan laporan miliknya yang telah selesai ia tanda tangan. Pria itu kemudian merapikan di atas meja, lalu menghubungi sang sekretaris dari telepon.

"Fani, saya sudah tanda tangani semua, tolong kamu ambil dokumen ini."

"Baik Pak Kinan." terdengar suara sahutan dari telepon.

Kuki segera merapikan dirinya, memakai jas miliknya untuk segera makan siang, sepertinya ia akan terlebih dulu menyelamatkan Vhi dari rasa bosan yang menyerang. Saat itu sang sekretaris masuk berjalan mendekati Kuki dan mengambil laporan seperti yang diperintahkan.

"Saya makan siang kemungkinan enggak kembali ke kantor. Hari ini semua sudah selesai kan?" tanya Kuki.

"Sudah pak enggak ada jadwal lagi." Sang sekretaris menjawab,

Kuki kemudian mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan untuk segera menjemput Vhi. Kuki memang sering dijadikan tameng Vhi untuk bisa keluar dari rumah sang nenek. Sering kali Vhi merasa begitu tertekan karena larangan-larangan yang diberikan. Hanya saja beberapa bulan lalu Kuki harus berdiam selama beberapa minggu di Singapura akibat sang ayah yang sakit dan dirawat di sana. Dan kini ia kembali ke negara tempat ia dilahirkan dan kembali menjadi tameng untuk Vhi agar bisa keluar dari dalam sangkar emas.

Sementara saat itu di rumah Nenek Ayu, Vhi sudah siap mengenakan t-shirt putih, celana kain hitam dan outer motif macan, ia bahkan mengenakan ikat kepala. Anak itu memang terkadang nyentrik, tapi tentu saja tak masalah karena ia tampan sejak lahir.

Setelah bersiap ia berjalan turn melihat sang nenek yang tengah duduk di ruang makan seraya menunggu makan siang tersaji di meja. Vhi berjalan menghampiri sang nenek. Ia duduk kemudian menatap dengan senyum pada sang nenek.

"Mau ke mana kamu?" tanya sang nenek.

"Diajak makan siang sama Kuki," jawab Vhi berbohong. Padahal jelas tadi dirinya yang minta diselamatkan dari rumah.

"bener Kuki yang ajak kamu?' tanya sang nenek lagi.

Vhi anggukan kepala. "Iya, lihat aja nanti dia jemput aku."

Nenek Ayu meneguk teh manis miliknya. "Jangan main ke rumah orang itu," katanya tanpa menatap Vhi.

Vhi berdecak kesal. "Orang itu saudara aku lho Nek," ucapnya menekankan.

"Terserah kamu mau anggap apa. Buat nenek dia tetap enggak ada hubungannya sama keluarga ini." Ay menegaskan.

Saat itu salah seorang pelayan memberitahu kalau ada Kuki yang mencari Vhi. Vhi segera bangkit kemudian mencium tangan sang nenek.

"Aku jalan Nek." Vhi kemudian berjalan meninggalkan Ayu yang kini menikmati makan siang sendiri.





Maju Duda Mundur Jejaka (MYG//JK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang