55. dipecat

150 18 0
                                    


Jam masih menunjukkan pukul lima pagi saat ponsel Rei berdering nyaring dan berhasil mengusik tidur si empunya yang masih bergelung di bawah selimut. Entah orang gila mana yang menghubungi orang lain sepagi ini, tapi yang jelas Rei tak berniat mencari tahu. Jadi dengan mata terpejam, tanpa mau repot-repot melihat nama si penelepon, Rei mematikan panggilan tersebut.
Terserahlah. Jika memang penting, siapa pun orang itu bisa menghubungi Rei kembali lewat pesan singkat.

Namun seseorang di seberang sana tampaknya benar-benar tak mau menyerah sampai membuat Rei jadi kesal sendiri karena membuat ponselnya tak henti berdering dengan nyaring. Kekesalan gadis itu semakin berlipat ganda saat melihat nama Yuga yang ada di layar. Menghubunginya dengan panggilan video lagi!

"Bapak—"

"Mami!"

Segala ujaran kebencian yang hendak Rei lontarkan, terpaksa gadis itu telan kembali ke tenggorokan saat melihat wajah Chello dan Cherry yang memenuhi layar.

"Mami baru bangun tidur ya?" tanya Chello di seberang sana. "Chello sama Kak Cherry lagi jalan pulang, Mi."

"Hmm semua naik, bis?" tany Rei pada anak-anak itu.
Setelahnya, Rei bisa melihat jika kedua bocah itu mengangguk antusias. Melihat senyum kedua anak itu melunturkan kekesalannya pada Yuga, ayah mereka.

"Seru banget, Mi! Banyak temennya. Kemarin waktu lomba mewanai, Chello dapat juara 2 dong, Mi,," kata Chello dengan penuh percaya diri. Anak itu berkata seraya menepuk-nepuk dadanya.

"Wah, hebat dong."

"Tapi Chelo jorok, Mi. Masa kemarin dia muntah di dalam bis? Untung aja Papi bawa baju ganti." Cherry protes kemudian menjulurkan lidahnya pada sang adik.

"Ih, kakak! Chello enggak muntah. Tapi sakit perut aja, kemarin kan enggak mau sarapan pas mau berangkat."

"Sama aja. Pokoknya Nanti kalau kita jadi piknik sama papi, Chello enggak sudah diajak Mi. Ngerepotin!"

Diledek seperti itu oleh sang kakak, Chello yang memang jauh lebih muda dari Cherry pun mulai menangis.

"Hei, jangan berantem dong anak-anak." Rei coba melerai keduanya.

"Kak Cherry nakal. Mi!" adu Chello.

"Enggak. Kamu aja yang cengeng!" Cherry memang kadang jahil seperti ini. Dan buat Rei hanya geleng-geleng kepala karena kelakuan jahilnya.

"Mami!" Chello berseru lalu terlihat membecik hendak Menangis.

Astaga, dua bos kecilnya ini benar-benar.

"Chello, udah ya. Stop nangisnya." Pinta Rei tak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi si bungsu yang sedang tantrum di seberang sana. Namun alih-alih tenang, tangisan Chello justru semakin kencang. "Astaga. Papi di mana Kak Cherry?"

"Ke toilet, Mi. Busnya lagi isi bensin."

"Chello berhenti enggak nangisnya? Nanti kalau mau berhenti mami janji bakal beliin kalian kue, kayak yang kemarin mami beliin deh." Bujuk Rei dengan putus asa.

Ajaibnya, mendengar itu tangis Chelo perlahan berhenti. Anak itu anggukan kepala. Ia suka sekali dengan kue dan roti yang dibeli Rei dari toko roti tempatnya bekerja dulu.

***

Sayangnya siang ini, saat Rei mampir ke toko tempat Jimmy bekerja untuk membeli kue coklat seperti yang tadi pagi gadis itu janjikan pada Chello dan Cherry. Rei justru mendapati toko tersebut masih tutup. Padahal biasanya jam delapan sudah buka. Tumben sekali.

Karena sudah kepalang janji dan tak mungkin datang ke rumah Yuga tanpa membawa kue yang telah dia janjikan sebelumnya, Rei pun bergegas menghubungi Jimmy yang langsung diangkat beberapa saat kemudian.

"Halo,"

"Ya, Ndut. Kenapa?"

"Lo di mana Jim?" tanya Rei kemudian.

"Gue di rumah Rei. Kenapa?"

"Loh? Kok masih di rumah sih? Enggak tugas jaga toko memangnya hari ini? Gue mau beli kue coklat nih. Tadi pagi janji sama anak-anak."

"Duh, enggak bisa Rei. Gue sudah enggak kerja lagi di sana." Jimmy menjawab terdengar tak fokus.

Tunggu-tunggu, agaknya ada yang salah dengan pendengaran Rei.

"Lo, udah enggak kerja di sini lagi?" tanya gadis itu dengan nada tak percaya. "Sejak kapan? Kok gue baru tahu?"

"Memang baru tadi pagi kok, Rei. Itu pun mendadak."

"Tapi kenapa, Jim?" tanya Rei lagi dengan cemas.

"Udah dulu ya, Rei. Gue masih sibuk nih buat surat lamaran. Lo kalau beli roti coklat yang kayak biasa, lo beli saja di toko roti yang dekat lampu merah itu loh, Rei. Tempatnya agak tertutup sama pohon mangga. Makanya kelihatan sepi pembeli. Tapi rasa kue di sana enak-enak kok. Kue coklat yang elo emang agak beda rasanya. Tapi, sebelas dua belas mirip."

"Tapi, Jim—"

Tanpa memberi waktu untuk Rei menyelesaikan perkataannya, di seberang sana Jimmy mematikan sambungan telepon begitu saja secara sepihak hingga membuat Rei kebingungan. Firasat gadis itu mendadak tidak enak. Tanpa diminta, benak Rei kemudian memutar apa yang Nenek Ayu katakan kemarin bagai sebuah film. Tentang bagaimana wanita paruh baya itu yang akan mengganggu orang-orang terdekatnya sebagai balasan karena Rei sudah berani menentang perintahnya.
Tapi pasti tidak seperti itu kan? Semua ini hanya kebetulan kan?

Untuk memastikan jika ini apa yang baru saja Jimmy alami tak ada kaitannya dengan Nenek Ayu, Rei kemudian buru-buru kembali pulang ke rumah untuk menemui Iva. Gadis itu jelas melupakan tujuannya datang ke toko karena merasa ada sesuatu yang lebih penting untuk dipastikan kebenarannya.

***

"Terima kasih ya, Pak."

Turun dari motor gojek, Rei buru-buru melepaskan helm berwarna hijau yang gadis itu kenakan seraya menyerahkan selembar uang. Setelahnya Rei segera membuka gerbang dan masuk ke dalam dengan gelisah.

Ketakutan yang gadis itu rasakan semakin berlipat-lipat ganda saat melihat motor yang bisa Iva gunakan untuk pergi mengajar sudah terparkir secara sembarangan di halaman. Padahal ini bukan jam biasa wanita itu pulang. Sementara si empunya, terlihat duduk termenung di kursi yang ada di depan teras dengan tatapan kosong.

"Iva," panggil gadis itu dengan nada takut-takut. "Lo.. baik-baik aja? Tumben jam segini sudah pulang ngajar."

Yang dipanggil menoleh. Begitu menyadari kehadiran Rei, air mata yang sedari tadi ibu satu anak itu tahan sejak keluar dari ruangan kepala sekolah akhirnya luruh juga di hadapan Rei.
Melihat Rei yang tiba-tiba menangis, Rei pun menjadi panik. Dengan wajah kebingungan gadis itu berusaha menenangkan Iva.

"Kenapa, Va? Kenapa nangis?" tanya Rei di tengah-tengah usahanya menenangkan Iva yang kini sudah menangis di pundaknya. "Lo lagi berantem sama Vhi?" tebak gadis itu kemudian.

Iva menggelengkan kepalanya pelan. Setelah kepahitan hidup yang wanita itu alami di pernikahannya sebelumnya, sekedar bertengkar dengan Vhi jelas bukan masalah besar untuk sahabatnya itu. Apalagi Rei bisa melihat jika dibanding Iva, Vhi yang jauh lebih bucin sampai rela menjadi pengasuh dadakan Jeno jika Iva sedang sibuk mengajar.

"Gue dipecat, Rei," kata Iva setelah merasa sedikit tenang.

Mendengar itu, Rei jelas terkejut. "Kok bisa?" tanya Rei tak percaya usai merenggangkan pelukan mereka.

"Gue juga enggak tahu." lirih Iva dengan nada pilu hingga membuat hati Rei ikut berdenyut nyeri saat mendengarnya. "Tadi pagi waktu gue mau masuk kelas buat absen anak-anak jam pertama, Pak Kepsek tiba-tiba minta gue buat menghadap ke ruangannya. Gue pikir cuma mau ngomong tentang acara pentas seni yang mau diadakan buat memperingati hari jadi sekolah. Tapi ternyata, gue malah dipecat."

"Alasannya?"

"Gue enggak akan sebingung ini Rei kalau Pak Kepsek mau kasih tau apa alasannya."

"Terus lo terima keputusan itu begitu saja?" Rei bertanya lagi mencoba mengorek semua informasi.

"Gue di sana gue Cuma jadi guru honorer pula. Memangnya menurut lo gue bisa apa?"

"Tapi itu enggak adil!" seru Rei tak terima.

Maju Duda Mundur Jejaka (MYG//JK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang