54. kamu ngapain di sana?

151 17 0
                                    

          
Di hadapan Nenek Ayu, Rei boleh saja sok kuat. Namun begitu sudah sampai rumah, kepercayaan diri gadis itu goyah juga. Terbukti dari bahu Rei yang tak setegap biasanya. Seolah di pundak kecilnya, gadis itu tengah menyimpan beban yang amat berat. Tidak sepenuhnya salah memang. Sebab berurusan dengan Nenek Ayu memang tak pernah mudah.

Rei langsung menyandarkan tubuhnya di pintu begitu gadis itu sampai di rumahnya sendiri. Tadi dia pulang naik taksi karena menolak diantar Pak Toto meski pria itu memaksa. Selain tak ingin merepotkan, saat ini Rei sedang tak ingin berurusan apa pun dengan Nenek Ayu, dan Pak Toto termasuk salah satunya. Setiap melihat wajah pria itu, entah mengapa membuat Rei jadi merasa seperti sedang melihat Nenek Ayu. Dan itu amat sangat tidak mengenakan. Terlebih saat pertengkaran tadi.

Tanpa bisa dicegah, Rei lalu kembali teringat dengan ancaman yang Nenek Ayu lontarkan beberapa saat sebelum dia angkat kaki dari kediaman Raharjo.

“Coba saja kalau berani. Dan kita lihat apa yang bisa saya lakukan kepada orang-orang terdekatmu."

Karena tadi masih dalam kondisi emosi, ancaman Nenek Ayu di telinga Rei jadi terdengar seperti omong kosong. Namun saat ini, ketika Rei mengingatnya kembali, gadis dua puluh tujuh tahun itu mulai ketar-ketir hingga tanpa sadar menggigit kuku jari telunjuknya dengan gelisah.

“Kamu akan menyesal, Rei.”

Bisa Rei rasakan, bulu kuduknya berdiri. Tanda jika gadis itu mulai ketakutan. Rei tahu pasti, Nenek Ayu tak pernah main-main dengan ancamannya. Terlebih pada orang yang jelas-jelas secara terang-terangan menentangnya.

Rei menghela napas berat. Kepala gadis itu benar-benar terasa berat sekarang. Rei belum selesai menenangkan diri saat dia merasa ujung baju yang gadis itu kenakan ditarik dengan pelan. Membuat fokus Rei untuk sesaat berhasil teralihkan. Saat gadis itu menunduk, ada Jeno yang menatapnya dengan binar mengemaskan.
Belum sempat Rei bertanya maksud bocah itu menarik bajunya, Jeno sudah lebih dulu mengangkat kedua tangannya meminta gendong. Menyadari isyarat yang diberikah bocah di hadapannya, Rei pun terkekeh pelan sebelum akhirnya mengabulkan permintaan bocah itu.

“Aduh, aduh.. Jeno makin hari makin berat aja nih.” Ujar Rei yang hanya dibalas cengiran lebar dari bocah dalam gendongannya. “Mamamu ke mana? Kok tumben banget kamu jam segini belum tidur?”

Melihat Iva yang tak ada di ruang tengah atau pun dapur, Rei lalu beralih mencari ke kamar yang di tempati Iva bersama Jeno. Tapi tiba di sana kamar itu tampak kosong, tak ada tanda-tanda keberadaan Iva hingga membuat Rei mengernyitkan kening keheranan.

“Jangan bilang mamamu sedang sibuk pacaran?”
Dasarnya bocah, alih-alih menjawab Jeno justru terlihat sibuk memainkan rambut Rei yang hari ini memang gadis itu biarkan tergerai. Rei pun memutuskan untuk kembali ke ruang tengah. Setelahnya dengan sedikit kepayahan karena ada Jeno dalam gendongannya, Rei berusaha mengambil ponselnya yang tersimpan di saku celana untuk menghubungi Iva.

“Mama!”

Baru saja Rei hendak menekan nomor Iva, gadis itu sudah lebih dulu dikejutkan oleh Jeno ada dalam pangkuannya tiba-tiba bangkit dan berlari menghampiri ibunya. Hingga membuat Rei yang tak siap, meringis kesakitan.

“Dari mana tadi? Jeno sampai dibiarin sendirian di rumah,” tanya Rei penuh selidik begitu Iva sudah duduk di sisi kosong pada sofa yang gadis itu duduki.

“Keluar bentar Rei. Cuma ke pos depan buat mengantarkan kopi ke bapak-bapak yang lagi ngeronda. Sekalian bayar uang keamanan.”

“Enggak bisa bawa Jeno memangnya?” Tanya Rei lagi. Ia takut sesuatu terjadi pada Jeno.

“Astaga, ini anak tadi itu sudah tidur. Gue keluar juga enggak sampai sepuluh menit. Eh, ternyata dia bangun.” Jelas Iva. Sementara di pangkuan ibunya, Jeno kini sudah kembali mulai mengantuk.

“Lo pergi ke mana tadi? Katanya mumpung libur mau tiduran seharian?" Kini giliran Iva yang bertanya.

Rei menggelengkan kepalanya pelan. “Enggak jadi, capek juga ternyata tidur seharian.” Bohong gadis itu, enggan membahas pertemuannya dengan Nenek Ayu pada Iva.

“Ck, bilang saja bosan karena seharian enggak ketemu sama Pak Yuga!” ledek Iva.

“Ih, kenapa jadi bawa-bawa dia.” Sahut Rei tak terima.

Iva terkekeh pelan. “Udah, ah. Gue balik ke kamar dulu biar Jeno bisa tidur dengan lebih nyaman. Lo kalau mau makan malam tinggal angetin aja lauk yang ada di dalam kulkas Rei.”

“Iya, nanti kalau lapar biar gue cari sendiri.” Rei menganggukkan kepalanya sambil menggerakkan tangan mengusir sahabatnya itu.

“Baguslah. Kalau enggak mau ribet, telepon saja Kuki atau Yuga. Minta disuapi. Mereka pasti enggak akan menolak.” lagi, Iva malah meledek. Senang sekali membuat temannya kesal.

Diledek seperti itu, Rei yang jengkel nyaris saja melemparkan bantal sofa pada Iva jika saja ibu satu anak tersebut tidak lebih dulu buru-buru pergi dari sana. Menyisakan Rei seorang diri yang kini tengah geleng-geleng kepala seraya melihat ke arah di mana punggung Iva tak lagi tampak dari pandangan.

Senyum kecil tampak tersungging di bibir Rei. Suasana hati gadis itu terasa jauh lebih baik dibanding sebelumnya sampai sebuah kesadaran berhasil menghantam Rei telak sampai meluruhkan senyumnya.

Iva dan Jeno. Rei menggigit bibir bawahnya pelan.  Nenek Ayu tidak mungkin menyentuh dua orang itu hanya untuk memberinya pelajaran kan? Iva dan Jeno sama sekali tidak ada hubungan darah dengan Rei. Jadi harusnya tidak kan?

Merasa kepalanya kembali terasa pening, Rei pun kemudian memutuskan untuk pergi ke kamar. Sebab setelah apa yang hari ini dia alami, tak ada hal lain yang ingin Rei lakukan selain merebahkan diri di atas ranjangnya yang hangat seraya memeluk tubuhnya sendiri. Hal yang biasa gadis itu lakukan setiap kali merasa sendirian ataupun merindukan kedua orang tuanya.

“Kangen, Ma. Ternyata seberat ini," lirihnya.

Suasana sendu itu sedikit terganggu, saat ponsel yang Rei letakkan di atas nakas yang ada di samping ranjang berdenting pelan. Dengan sedikit enggan, gadis itu pun berusaha meraih benda pipih tersebut dan terpampanglah pesan Yuga dan Kinan yang berada di urutan paling atas.

Rei membuka pesan dari Yuga yang jumlahnya paling banyak dari yang lain.

Yuga:
Mine?
Kangen.
Kangen engga?
Kamu lagi apa di sana?
Jahat banget seharian ini cuekin pesanku.
Anak-anak tadi sempat bilang, Papi pasti seru ya kalau saja Mami ikut kemah sama kita.
Sebenarnya masih banyak yang mau aku ceritain, Mine.
Tapi nanti sajalah, kalau kita udah ketemu. Lebih enak cerita sambil lihat kamu soalnya. Hehe..
Selamat tidur, Mine. Jangan lupa mimpiin aku!

Begitulah isi pesan Yuga. Lengkap dengan emoji hati berderet-deret. Rei sampai geleng-geleng kepala tak habis pikir. Kenapa Yuga suka sekali mengirim emoji hati pada orang lain? Sementara di ponsel Rei, emoji itu bahkan nyaris tak pernah digunakan.

Tanpa mengirimkan balasan apa pun pada rentetan pesan yang Yuga kirimkan, Rei lalu beralih ke pesan Kinan.

Kinan:
Aku tadi lewat rumah kamu, Rei. Tapi enggak enak mau bertamu soalnya udah malam. Selamat tidur ya! Tapi kalau kamu belum tidur, bisa enggak buka jendela kamarmu sebentar?

Dengan sedikit mengernyit, Rei kemudian bangkit dari posisi berbaringnya menuju jendela kamar. Dan seketika gadis itu terpekik kaget saat melihat mobil Kinan terparkir rapi di depan pagar rumah.
Kinan yang sedari tadi sibuk menebak-nebak di mana kamar Rei berada, langsung mengangkat sebelah tangannya dengan antusias begitu menyadari Rei menyibak sedikit gorden kamarnya.

“Kinan, kamu ngapain di sana?”

Maju Duda Mundur Jejaka (MYG//JK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang