Winwin mengangguk, "Karena semenjak hari itu, aku menganggap kalau kau sudah pergi selamanya dari hidupku. Lagipula alasan aku masih menyimpan koin ini supaya aku masih tetap mengingat jelas rasa sakit dan perasaan kecewa yang kurasakan waktu itu, makanya sampai detik ini aku selalu membencimu." Winwin mengantongi kembali koin itu dan mengalihkan pandangannya dari Renjun.
"Rupanya kau memang masih membenciku, aku pikir kau cuman berpura-pura selama ini." Renjun juga berhenti menoleh kearah Winwin dan hanya menatap lurus kedepan saja.
"Kau benar, kadang aku bertanya-tanya kenapa Mami lebih memilih membawamu daripada aku? Kenapa cuman aku yang dibiarin menderita didalam Rumah itu sendirian?" ketus Winwin yang sama sekali tidak memperdulikan perasaan Renjun saat ini.
"Aku tidak mengerti maksudmu, apa rupanya yang terjadi denganmu selama ini? Bukannya kau memiliki Papa yang menyayangimu daripada aku," pungkas Renjun.
"Kalau memang itu yang selama ini kau pikirkan, ya sudahlah... Aku juga gak punya alasan untuk memberitahumu tentang semua yang kualami," cetus Winwin.
"Kalau aku memintamu menceritakan segalanya sebagai permintaan terakhirku, apa itu bisa menjadi alasan untukmu menceritakan semuanya?" tanya Renjun.
Winwin tersenyum, ia gak habis pikir pada pemikir Renjun yang sedang mengancamnya.
"Jangan salahkan aku kalau kau malah merasa tambah bersalah," ucap Winwin yang masih tidak berhenti tertawa menyindir.
Lalu ia mulai bersikap serius, sorotan mata kebencian yang mulai membinari kedua matanya.
"Papa memang lebih menyayangiku dulu karena ia bosan dengamu yang penyakitan, ia merasa semua perhatian Mami cuman tertuju padamu saja. Makanya ia melampiaskan hasratnya dengan bermain-main dengan wanita lain, tapi sayangnya perbuatan itu ketahuan sama Mami dan membuat pertengkaran hebat diantara mereka." Winwin menghentikan perkataannya sejenak, ia berusaha menenangkan perasaan amarahnya yang menggebu-gebu bila mengingat kejadian waktu itu.
"Aku tidak tahu soal itu," ucap Renjun.
Winwin menoleh geram pada Renjun, "Jelas saja kau gak tahu apapun tentang itu, kau menghabiskan semua waktu di atas ranjang Rumah Sakit dan membuat keuangan kita mulai menipis. Kau tahu rasanya melihat kedua orang tuamu selalu bertengkar setiap hari dan hampir membunuh satu sama lain, apalagi melihat wajah Mami yang selalu babak belur karena di pukulin oleh Papa ditambah lagi semua makian Papa yang menyalakanmu atas retaknya Rumah Tangga mereka," geram Winwin.
Renjun yang masih mendengarkan setengah kenyataan itu sudah mulai tidak tahan, ia tak bisa menyembunyikan perasaan takutnya dan raut wajah tegangnya.
"Aku tidak mau mendengarkan lagi," hentinya yang sudah tidak sanggup lagi mendengarkan cerita Winwin.
"Kenapa? Apa kau takut mendengarkan kenyataan yang sebenarnya atau kau takut perasaan bersalahmu semakin besar?" tanya Winwin seraya memperlihatkan tatapan yang merendahkan adiknya itu.
"Aku tahu ini semua salahku," pilu Renjun yang mulai menundukkan kepalanya, bola matanya tak berhenti bergerak kesana-kemari saking paniknya.
Winwin cuman menghela nafas saja, lalu mengacak-acak kembali Rambut Renjun.
"Ini bukan salahmu seutuhnya, kau juga menderita saat itu dan aku bersyukur kau tidak menyerah untuk tetap bertahan hidup sampai detik ini!" ucap Winwin yang sengaja meredam emosinya saat mengetahui adiknya sedang tidak baik-baik saja saat ini.
"Lalu kenapa Hyung membenciku?"
"Karena membenci itu jauh lebih mudah daripada merindukanmu dan Mami setiap hari," jawab Winwin yang membuat Renjun menoleh kaget.
"Maafkan aku, aku bisa mengerti kok apa yang selama ini kau alami." Rasa takut Renjun mulai mereda, begitu juga halnya Winwin yang langsung menarik tangannya kembali dan berkali-kali menghela nafas untuk menghilangkan rasa sakit di dadanya yang terasa sesak setiap kali menyadari kenyataan kalau adiknya benar-benar ada di hadapannya saat ini.
"Jadi, apa kita bisa baikan lagi mulai sekarang atau kau akan memusuhiki lagi setelah hari ini?" tanya Renjun.
"Aku tidak punya alasan untuk berbaikan denganmu, lagipula kulihat kau baik-baik saja tanpaku dan kau juga sudah punya teman yang baik seperti mereka." Winwin mengatakannya dengan terus-terang seolah ia memang berniat menolak keinginan Renjun untuk baikan.
"Kalau aku punya alasan lagi, apa kau akan mempertimbangkannya kembali?" tanya Renjun.
"Mungkin," jawab Winwin yang tampak acuh saja, walau tanpa diketahui oleh Renjun kalau ia sedang menyembunyikan perasaan takutnya.
"Aku takut mati! Aku takut membiarkanmu masih terus membenciku, disaat tembok perpisahan diantara kita semakin menebal. Apa kau tidak menyadari itu?" tanya Renjun yang membuat Winwin melotot tajam, kini ia mulai semakin merasakan takut yang selama ini disembunyikannya rapat-rapat.
"Apa kau gak takut kehilanganku lagi? Apa kau gak mau menemaniku melewati rasa sakit ini bersama-sama? Apa kau akan membiarkanku sendirian lagi dan membiarkan Mami menangisiku seperti waktu itu?" tanya Renjun yang suaranya mulai terdengar gemetaran.
"Tidak ada yang akan mengambilmu lagi dari kami, kau harus ingat itu! Lagian belum tentu juga kau kena leukimia lagi atau apapun penyakit sialan itu," bantah Winwin yang tak bisa menyembunyikan kedua matanya yang sudah gentar.
Renjun tersenyum, " Aku bukan adikmu yang polos lagi, Hyung. Siapapun tahu kalau leukimia itu kembali menyerangku, bahkan gejalanya saja sudah kelihatan dan kau masih mau terus membohongiku."
Renjun menyingkirkan semua benda yang menutupi kakinya, lalu ia meraih seragam putih yang terkena darah itu.
"Mimisan yang terjadi secara berulang-ulang, rasa sakit dikepala yang terasa menyiksa dan perasaan letih yang tak karuan sampai membuat kakiku gemetaran. Selain itu kau juga mendadak bersikap baik padaku dan bertindak bodoh setelah menerima telepon dari Om Chanyeol sampai membuat wajahmu lebam dan handphoneku rusak, apa itu belum cukup jadi bukti?" tanya Renjun seraya tersenyum, lalu ia berusaha berdiri kembali dan memasukkan seragam putihnya Winwin kedalam tasnya sambil menghendaki tas tersebut.
"Aku akan mencuci bajumu supaya bersih kembali dan kau juga bisa mempertimbangkan keinginanku lagi, Hyung!" pukas Renjun yang langsung berjalan pergi dan membiarkan Winwin masih tertegun kamu di taman dengan air mata yang langsung jatuh saat langkah kaki Renjun telah benar-benar jauh darinya.
Winwin merebahkan dirinya diatas rumput taman, seraya memejamkan kedua matanya dan membiarkan air mata itu masih terus menetas deras.
Dalam kesunyian siang itu dan terik matahari yang semakin menjauh oleh desakan awan yang perlahan menghitam.
Winwin bergumam pelan sambil tertawa dibuat-buat, ia menghabiskan beberapa jam untuk terus menangis disana dan membiarkan tetesan air hujan mulai menetes satu-persatu di wajahnya. Mungkin saja ada sekitaran lima jam lamanya Winwin menetap disana, menenangkan hatinya yang tak berhenti menjerit ketakutan dan membayangkan kemungkinan semua yang akan terjadi bila sang takdir benar-benar membawa Renjun pergi untuk selama-lamanya dari Dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BROTHER (FANFICTION RENJUN)
Fanfiction(UPDATE SETIAP HARI) Season 1 : Chapter 1-53 ( Season pertama hanya bagian perkenalan karakter dan hubungan antara kakak beradik ) Season 2 : Chapter 54 - selesai. ( Season 2 pada Cerita ini akan lebih mendalami mengenai kenakalan remaja akibat Ke...