PERTIKAIAN KECIL

278 36 0
                                    

"Seenaknya aja dia pulang, ada apa sih?" tanya Jeno sambil tersenyum kecut, ia melirik sekilas pada Heechan dan Chenle yang memiliki hubungan dekat dengan Mark.

"Udahlah Jeno, mungkin aja dia ada urusan makanya buru-buru gitu." Renjun menepuk bahu Jeno, ia memang tidak tahu alasan Mark seperti ini tapi apapun alasannya pastilah suatu kabar buruk yang tidak sanggup untuk diceritakan Mark pada mereka.

Jeno menoleh ke arah Renjun, "Apapun alasannya, tapi harusnya dia lebih utamakan tugas kelompok dong!"

"Diamlah, Jeno!" bentak Heechan yang mulai kesal, sampai memukul meja dan menimbulkan sedikit kebisingan.

"Apaan sih Heechan," ucap Chenle yang langsung berdiri dan meminta maaf pada pengunjung kafe yang menatap tajam pada mereka.

Renjun yang menyadari ada sedikit ketegangan dalam meja tersebut, ia langsung meneguk jusnya untuk beberapa saat.

"Kalau kau ingin membela Mark, kau bisa saja cerita apa yang terjadi sama Mark. Mungkin, kita semua bisa memahami Mark lain kali." Renjun memberikan usul , matanya berusaha memberikan harapan kepada Heechan dan Chenle.

Heechan menghela nafas, "Mark itu sebenarnya orang yang sangat rapuh, ia selalu menyembunyikan semua kesedihannya melalui senyuman palsu yang sering kita lihat."

"Lalu?" tanya Renjun yang mulai antusias, ia memajukan duduknya dan memasang wajah serius.

"Sejak kecil, Mark harus menanggung tanggungjawab untuk mengurusi ibunya yang Depresi dan Ayahnya yang suka bawa perempuan ke Rumah. Dan mungkin saja, hari ini ibunya hampid bunuh diri lagi makanya Mark buru-buru balik."

"Terus kalau gitu, kenapa orang tuanya gak cerai aja? " tanya Jeno yang bukannya memperlihatkan wajah Kasihan, malahan senyuman merendahkan yang tampak jelas di wajahnya yang tampan.

"Mana mungkin itu terjadi, alasan ibunya Mark tetap bertahan pastinya karena gak mau Mark jadi kehilangan sosok Ayah di hidupnya. Jadi, kau gak berhak mengkritik apapun tentang mereka!" Heechan melemparkan tatapan amarah pada Jeno.

Chenle yang biasanya jadi penengah , malah ikutan tidak senang pada Jeno. Mungkin, hanya Renjunlah yang masih berpikiran tenang karena kebetulan saja ia tidak mengenal keduanya.

"Kau hanyalah orang asing yang tidak seharusnya mengkritik kehidupannya, tanpa tahu tahu apapun tentang kebenarannya!" Heechan menunjuk tangannya kepada Jeno.

"Tolong tenanglah! Jangan semakin menambah masalah," keluh Renjun yang menatap Heechan dan Jeno secara bergantian.

"Dan Heechan, kau bisa meneruskan lagi semua yang kau ketahui tentang Mark."

Heechan sepertinya setuju dan hanya mengangguk.

"Cuman itu aja yang kamj ketahui tentang Mark, ia juga gak banyak cerita sama kami tetapi ia bilang kalau dirinya gak bakal bisa hidup lagi bila ibunya berhasil mengakhiri hidup, makanya sampai detik ini ia bersikeras menghentikan upaya bunuh diri itu."

Jeno tersenyum, tetapi matanya masih tertuju pada layar laptop.

"Malangnya Mark, ia harus terlahir dari ibu yang bodoh dan Ayah yang suka bermain perempuan."

"Sialan, kau!" Heechan berdiri dan bersiap memukul Jeno, tetapi Chenle berusaha menahannya. Sebenarnya Chenle juga terlihat marah, tetapi percuma saja bila memukul Jeno yang malah bisa membuat keributan di sini.

Dan sama halnya Renjun, ia juga tidak hanya berdiam diri saja dan ikut merelai kedua cowok tersebut.

"Kalian bisa menggangu ketenangan orang lain yang ada disini, tolong diamlah!"

"Benar yang dibilang Renjun," ucap Chenle yang setuju pada perkataan Renjun barusan.

"Kamu juga Jeno, harusnya kamu gak berhak menghina keluarga Mark!" Renjun melirik kepada Jeno yang ada disebelahnya, saat ini cengkraman tangannya berusaha merelai Jeno.

Lalu ia melirik kepada Heechan yang ada didepannya, " Kamu juga, jangan mudah terpancing emosi!"

Heechan dan Mark yang mendengarkan celotehan Renjun barusan, hanya terdiam dan saling memandang saja. Entah kenapa, perkataan Renjun barusan langsung membungkam kedua pria itu.

"Sekarang, lebih baik kalian berdua duduk dulu deh!"

Jeno menoleh kearah Renjun , kali ini wajahnya kesal tetapi mulutnya hanya bisa terbungkam saat ia melihat raut wajah Renjun yang kesal berbanding terbalik dengan nada suaranya yang tenang.

"Oke," ucap Jeno, ia langsat duduk begitu saja.

"Kau juga duduk, Heechan!" perintah Renjun.

"Kenapa juga aku harus tenang? Dia udah menghina Mark seenaknya," tolak Heechan.

"Jangan diperpanjang lagi deh, Heechan." Chenle berusaha menenangkan Heechan.

"Heechan, kalau kau bertingkah gini. Nantinya tugas kita gak bakal selesai," ucap Renjun setengah berbisik agar mereka tidak menjadi pusat perhatian orang lain.

"Emangnya kau mau Mark kecewa, kalau tugasnya gak selesai?" tanya Chenle yang lebih seperti menghasut Heechan.

Cukup lama Heechan termenung dalam ucapan Chenle dan Renjun barusan, sampai akhirnya ia setuju dan mengalah untuk kembali duduk.

"Yaudah , kalau gitu kita bisa lanjutkan tugas ini deh!" perintah Renjun, yang hanya dituruti oleh ketiganya.

Singkat cerita , setelah beberapa jam berada disana. Akhirnya mereka selesai juga mengerjakan tugas kelompok itu. Ketiganya pun langsung bersiap-siap untuk pulang ke Rumah masing-masing.

Berbeda dengan ketiganya, Renjun harus pulang sendirian lagi karena memang arah jalan rumahnya yang tidak searah dengan yang lain.

"Pokoknya tugas kelompok kita , jangan sampai rusak ya Chenle." Renjun menepuk bahu Chenle, ia bisa melihat kedua tangan pria itu sudah penuh.

"Tenang aja, Njun."

"Oh iya, makasih ya jeno. Kalau kau gak bawa laptop tiap hari, pasti kita bakal repot nantinya." Renjun menepuk bahu Jeno beberapa kali, lalu melirik Heechan .

"Makasih juga ya, Heechan." Heechan hanya mengangguk kegirangan aja, ia memang sangat aneh dengan mood swing yang berubah-ubah.

"Yaudah, kalau gitu kami pulang ya." Chenle tersenyum sejenak, lalu berjalan pergi dengan Heechan sambil melambaikan tangan perpisahan pada Renjun.

Sementara itu, Jeno masih berdiri dihadapan Renjun seperti orang yang kelupaan sesuatu tetapi terlalu malu untuk mengatakannya.

"Kau ketinggalan sesuatu, Jeno?" tanya Renjun.

"Ah, soal itu-" ia menunduk selama beberapa saat, lalu ia menghela nafas untuk merilekskan kecanggungannya.

"Kayaknya, aku pikir-pikir lagi deh buat jadi temanmu." Jeno memasang wajah datarnya.

"Tapi jangan harap aku bakal mau jadi teman mereka, ya." Jeno langsung berjalan pergi tanpa menunggu jawaban apapun dari Renjun, gerak-geriknya terlihat canggung sampai membuat Renjun cuman bisa tersenyum geli saja dan menyaksikan punggung Jeno yang semakin lama menjauh dari pandangannya.

Begitu Jeno telah pergi, barulah Renjun berjalan pulang ke arah yang berlawanan sembari mengurut lehernya yang sedikit pegal .

MY BROTHER (FANFICTION RENJUN) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang