"Mungkin aja komik ini bisa mengatasi rasa bosanmu selama dirumah sakit," ucap Winwin yang memberikan tatapan datar kepada adiknya.
"Komik bekas?" tanya Renjun.
"Aku masih bisa ingat kalau biasanya kau suka membaca semua komik ataupun novel yang sudah habis kubaca, jadi kupikir komik-komik milikku ini bisa membantumu selama berada disini. Tapi kalau memang kebiasaanmu itu sudah berubah, yasudah buang saja komik itu nanti!" tukas Winwin yang membuat Renjun tersenyum.
"Aku sudah lama gak pernah baca komik lagi, tapi aku maklumin kok kalau memang ingatannya Hyung hanya terpaut pada ingatan masa kecil kita." Renjun menerima komik pemberian Winwin yang langsung diletakkannya di bawah bantalnya."Nanti malam akan kubaca," ucap Renjun.
"Oke," pungkas Winwin yang berniat pergi, tetapi namanya keburu dipanggil oleh Renjun.
"Hyung, ada yang mau aku bicarakan. Aku benar-benar minta maaf soal masalah kemarin dan semua sikap burukku padamu, aku harusnya gak perlu melampiaskan semua amarahku padamu." Renjun menunduk, ia memang biasanya selalu menunduk bila benar-benar merasa bersalah dan terkadang sikapnya itu membuat Winwin sering luluh dalam sekejap.
Winwin mengusap kepala Renjun sambil tersenyum, ia sedikit bergumam pelan tetapi jelas saja gumamannya bisa didengar sekilas oleh Renjun yang hanya berpura-pura tidak mendengar.
"Kau memang adik kecilku yang manja," gumam Winwin pelan, sebelum akhirnya Winwin menarik tangannya kembali dari kepala Renjun.
"By the way, kenapa kau sendirian disini? Dimana kedua orang tuamu?" tanya Winwin.
"Mereka akan pulang kesini sebentar lagi," jawab Renjun yang juga tidak terlalu tertarik membahas kedua orangtuanya dihadapan Winwin.
Winwin cuman mengangguk saja sebagai sebuah tanggapan tanpa mengatakan apapun.
"Terus apa lagi yang mau kau tanyakan lagi padaku? Tidak ada?" tanya Renjun yang dibalas geleng-geleng kepala oleh Winwin.
Renjun menghela nafas, "Besok aku akan menjalani kemoterapi, aku mohon kau untuk datang besok ya!" lirih Renjun yang tanpa pikir panjang dibalas setuju oleh Winwin, sepertinya ia sudah terbiasa mendengarkan kata kemoterapi selama ini jadi ia tidak terlalu terkejut kalau mendengarkan adiknya akan dikemoterapi.
"Aku gak mau kedatanganku sia-sia, jadi aku harap kau harus kuat saat menjalani kemoterapi nanti!" tegas Winwin yang lebih terkesan memaksa, Renjun yang sudah terlanjur senang langsung setuju tanpa pernah membayangkan bagaimana nantinya kalau sampai Winwin ingkar dan memberikan kekecewaan yang lebih besar seperti dulu.
Renjun kini sudah menaruh harapan bahwa dirinya dan winwin akan membina kembali tali persaudaraan seperti dulu, erat dan takkan terpisahkan. Mungkin memang inilah satu-satunya harapan yang dimiliki oleh Renjun untuk tetap bertahan hidup melawan keganasan leukimia miliknya, tapi bagaimana kalau nantinya harapan itu berubah menjadi abu kepunahan? Apakah Renjun masih bisa bertahan hidup diambang kekecewaan ataukah ia mulai mengalah kepada alurnya sang takdir yang perlahan mengikis usianya.
"Kau tidak perlu khawatir, Hyung. Aku bukanlah adikmu yang lemah sekarang," pungkas Renjun yang sangat percaya diri, Winwin saja tersenyum tanpa sadar dibuatnya.
Dan disaat yang bersamaan pula, suara handphone Renjun kembali berdering lagi tetapi seenaknya saja Renjun mengacuhkan panggilan tersebut.
Jelas saja Winwin menjadi penasaran, " Siapa?"
"Telepon dari teman-temanku," jawabnya.
"Lalu, kenapa gak diangkat? Ada keraguan dihatimu atau kau malu berterus-terang kalau kau sakit?" tanya Winwin lagi yang mana pertanyaan langsung menusuk ke hati.
"Kau benar, Hyung. Selain karena malu, aku juga takut jadi beban buat mereka atau bisa saja mereka malah mengucilkanku yang penyakitan. Aku bingung mau senang mempunyai teman atau -" Renjun berhenti, ia melirik pada Winwin yang memberikan tatapan mata tak setuju padanya.
"Kau salah besar, kau malah seperti orang lemah yang takut mengambil resiko sama sekali." Winwin langsung merampas handphone Renjun dan menjawab panggilan tersebut, ia berjalan sedikit menjauh dari Renjun yang duduk di ranjang.
Mereka berbicara terlihat santai, Renjun yang tak bisa mendengarkan panggilan tersebut sampai dibuat penasaran sekali apa yang sedang dibicarakan oleh Abangnya saat ini dengan temannya. Mungkin ia memang bisa mendengarkan sekilas bagaimana Winwin memanggil nama Heechan dan Jaemin beberapa kali, selebihnya ia hanya bisa mengira saja dan berharap kalau teman-temannya tidak mengasihaninya setelah ini.
Selang tak beberapa lama, panggilan telepon itu berakhir dan Winwin menyerahkan handphone tersebut kembali kepada sang pemiliknya tanpa rasa bersalah.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Renjun.
"Tidak ada, aku hanya menyuruh mereka untuk datang menjengukmu hari ini dan mereka setuju akan datang nanti malam."
"Kau bilang kalau aku sakit?" tanya Renjun.
"Leukimia maksudnya? Jelas saja aku tidak mengatakan apapun, itu hakmu yang nantinya menyampaikan sama mereka dan aku gak ada urusan jadi juru bicaramu!" Winwin memukul pelan kepala adiknya, Renjun hanya bisa buang muka saja dan menggerutu kesal.
"Kau seharusnya gak perlu menasehatiku, Hyung! Aku cuman mau dimanja sebagai seorang adik olehmu, bukannya mendengarkan omelan pedasmu itu," ketus Renjun.
Winwin yang mendengarkan keluhannya Renjun hanya bisa menghela nafas saja, "Kau mau jalan sore sekarang denganku?"
"Boleh," jawab Renjun yang tampak sangat bersemangat.
"Ya sudah, aku bantu kau berdiri ya!" Winwin langsung membantu Renjun berdiri sambil memegangkan infusnya Renjun.
"Tapi kalau kau mulai kelelahan, beritahu aku ya! Aku bisa antar kau balik lagi ke sini," beritahu Winwin yang dibalas anggukan oleh Renjun.
"Pelan-pelan jalannya!" nasihat Winwin yang bersabar membantu Renjun melangkahkan kaki perlahan-lahan, ia tahu kalau tubuh Renjun masih lemas tetapi ia juga tahu kalau adiknya pastilah bosan sudah seharian berada diruangan ini.
"Hyung, tidak usah membantuku berjalan karena aku bisa jalan sendiri!" tegas Renjun yang langsung menyingkirkan tangan Winwin dan merampas infus dari tangan Winwin juga sambil menunjukkan wajah bahagianya.
"Aku butuh kakak laki-laki, bukan pengasuh! Jadi berhenti mengasihaniku." Renjun menepuk-nepuk pelan bahu Winwin, sebelum akhirnya ia berjalan keluar ruangan yang juga disusul oleh Winwin.
Lalu keduanya pun berjalan dengan perlahan-lahan mengelilingi koridor Rumah Sakit, tak ada satupun kalimat yang keluar setelah dari ruangan itu selain keheningan diantara keduanya dan kefokusan Renjun yang sibuk menatap hiruk-pikuk rumah sakit.
Bahkan ada beberapa kali Renjun menegur sapa pasien lain yang baginya memiliki kesamaan dengan dirinya.
"Kau tahu, Hyung. Rasanya aku mulai menyadari kalau mereka dan aku yang ada dirumah sakit ini memiliki satu kesamaan yang sangat mirip."
"Apa itu?" tanya Winwin yang berusaha memelankan langkahnya agar bisa berjalan bersebelahan dengan Renjun.
Renjun menoleh kearah Winwin yang ada disebelah kirinya, "Kami adalah orang yang sama-sama berjuang untuk tetap hidup."
Winwin tertegun mendengarnya, ia tak mau mengatakan apapun selain membiarkan Renjun tetap berbicara saat ini.
"Kadang, aku berpikir apa artinya sebuah Rumah untuk orang sepertiku, tapi semenjak aku berada disini dan melihat mereka yang juga ada disini, aku jadi paham kalau Rumahku yang sebenarnya adalah Rumah Sakit ini." Renjun tersenyum, tapi matanya berair.
"Kau salah besar lagi, mungkin aja rumah sakit ini memang rumahmu tapi bukanlah Rumah sejati melainkan Rumah persinggahan." Winwin menolak keras argumen Renjun.
"Lalu, dimana rumah sejatiku?" tanya Renjun.
"Kau sudah memiliki Rumah sejatimu selama ini, Njun. Kau sudah punya," ucap Winwin.
"Tapi Rumah itu takkan sempurna kalau tidak ada Hyung. Rumah itu masih terasa sunyi, mungkin karena Rumah itu sempat roboh kali ya karena kedua orang tua kita." Renjun mengalihkan pandangannya dari Winwin sambil menenangkan dirinya yang hampir menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BROTHER (FANFICTION RENJUN)
Fanfic(UPDATE SETIAP HARI) Season 1 : Chapter 1-53 ( Season pertama hanya bagian perkenalan karakter dan hubungan antara kakak beradik ) Season 2 : Chapter 54 - selesai. ( Season 2 pada Cerita ini akan lebih mendalami mengenai kenakalan remaja akibat Ke...