Chapter 35: Spaces

2.5K 294 287
                                        

Beberapa saat setelah kedatangannya, aku mengamati kembali keadaan di sekelilingku. Semuanya seakan kembali seperti saat awal kedatangannya. Duduknya aku di bagian belakang sendiri seakan tak ada yang peduli keberadaanku. Sementara ia berada dalam keramaian penuh dengan kegembiraan dan gelak tawa yang pernah bisa kurasakan.

Hanya saja situasinya sangat berbeda. Dahulu aku sangat risih dengan keberadaannya di sekitarku. Aku menganggapnya sebagai sebuah ancaman bagi kebahagiaanku. Aku ingin lelaki itu untuk pergi dari kehidupanku. Bahkan, jika perlu lelaki itu tak pernah ada sama sekali. Mudah bagiku untuk menghindarinya, karena tanpa disuruh pun aku akan melakukannya.

Sekarang...

Aku mencintainya, aku menyayanginya dan aku menginginkannya untuk selalu bersamaku. Ia bukanlah lagi sebuah ancaman bagi kebahagiaanku, tetapi ia adalah alasan daripadanya. Aku ingin lelaki itu selalu ada di dalam kehidupanku. Selalu dan sampai kehidupanku berakhir. Namun, sekarang aku malah harus menjauh darinya.

Aku benar-benar berada dalam sebuah perangkap kehidupan. Dimana sesuatu yang paling diinginkan tak bisa selalu didapatkan, tetapi masih pula kuharapkan.

"Harry, kamu keren di film barusan!" puji Melati sambil berlari ke arah tempat duduk Harry, lalu menepuk-nepuk bahunya.

"Terima kasih!" senyumnya.

Pun Melati menatapnya dengan tatapan gemas, "Ya ampun, lucu banget sih Harry!"

"Coba dong ngomong-"

Resty yang datang menghampiri memotong ucapan Melati dengan topik berbeda, "Harry, besok kita main yuk sekelas ke Kotu!"

Harry mengerutkan keningnya, "Kotu? Kotu itu apa?"

"Kotu itu Kota Tua, Harry. Kita naik kereta! Udah pernah belum naik kereta di Indonesia?"

"Belum pernah." ia menggelengkan kepalanya.

"Eh lu!" Melati menepuk Resty dengan tenaga yang agak keras. "Nanti dong nanyanya! Gue kan lagi mau nyuruh dia ngomong tadi! Harry coba ngomong 'kamu cantik'."

"Kamu cantik."

"Astaga gue meleleh!"

"Cantik means beautiful, right?"

"Iya-iya!" Renata mengangguk semangat. "Seratus buat Harry!"

Mendengarnya setiap kata dalam bahasa Indonesia yang meluncur dari mulutnya membuatku tersenyum tipis di tempat duduk. Aku masih ingat saat ia memintaku untuk mengajari bahasa Indonesia di rumahnya. Saat ia mencoba menghafal beberapa bagian tubuh. Saat pertama kalinya aku mendengarnya mengucapkan kata dalam bahasa yang menjadi bahasa keseharianku. Saat ia terdiam, berusaha mengingat sebuah kata yang terlupakan. Saat wajahnya mendekat dan jantungku berdetak kencang.

Rasanya cukup mendalam saat ia semakin pandai berbahasa dan aku bukan salah satu yang terlibat.

"Harry, Harry!"

"Harry!"

"Harry..."

Namanya terus disebut. Setiap pertanyaan maupun permintaan selalu terjawab dan terpenuhi. Sementara itu aku hanya berusaha sebisaku untuk berpura-pura tak peduli, padahal hatiku panas. Padahal aku ingin sekali bisa menjadi bagian dari orang-orang yang memanggil namanya dan memintanya melakukan sesuatu.

Mungkin memintanya bernyanyi untuk ku. Oh, aku menyukai suara merdu nya. Terkadang sebelum aku pergi tidur, terngiang di telingaku lantunan lagu yang pernah ia nyanyikan. Bagiku itu adalah pengantar tidur terbaik yang pernah ada. Ah, sayangnya aku belum pernah memintanya bernyanyi untuk ku seorang. Sekarang kemungkinannya sudah kecil, malah mungkin tidak ada.

The NewComerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang