[33]

432 40 2
                                    

"Bangun!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Bangun!"

"Kamu sekolah atau gak sih? Udah jam berapa ini? Anak cewek kok bangunnya siang."

Sebenarnya Seren sudah bangun daritadi, namun karena mama tirinya masuk ke dalam kamarnya membuatnya hilang mood untuk bangun dari ranjangnya.

Seren mencengkram kan genggamannya ke selimut yang saat ini membalut tubuhnya. Dia menggigit bibir bawahnya berusaha menahan emosi di balik selimut.

"Bangun! Mama mau ke kantor. Udah ayah kamu nyusahin, kamu jangan ikut-ikutan juga."

Seren melemparkan selimutnya ke sembarang arah. Dia terbangun dengan nafasnya menggebu-gebu. Tangannya mengepal kuat saat melihat Amira yang sedang membuka tirai jendelanya.

"Gue gak minta lo jadi nyokap gue. Kalo lo gak mau disusahin lo pergi dari sini dan tinggalin perusahaan ayah gue," ucap Seren dengan tatapan yang tajam.

Mendengar ucapan dari anak tirinya itu membuat Amira melirik gadis yang sudah berdiri menghadap ke arahnya. Lalu dia terkekeh kecil terdengar seperti sedang meremehkan gadis tersebut.

"Kamu mau ngancam saya? Kamu tau kan ayah kamu sudah gak bisa apa-apa? Kamu mau perusahaan sebesar itu bangkrut?" tanya Amira dengan nada yang meremehkan.

"Gue gak peduli. Mau bangkrut atau enggak. Justru gue malah seneng, karena gak ada orang yang semena-mena sama kehidupan gue."

"Emang lo bisa hidup tanpa bantuan gue, Hm? Makan darimana kalo gue gak pegang perusahaan ayah lo?" tanya Amira yang membuat Seren semakin geram.

"Percuma, gak ada untungnya lo di kehidupan gue. Gue masih tetep kelaparan, masih tetep harus bayar apa-apa sendiri. Jadi kalo lo pergi dari sini pun gue gak ngerasa ada perbedaan. Gue bisa rawat ayah gue sendiri," jawab Seren.

Karena pergaduhan yang terdengar sangat jelas membuat Danu  penasaran. Begitu terkejutnya, saat dia memasuki kamar putrinya dan mendapati Amira dan Seren sedang beradu mulut. Laki-laki itu dengan sekuat tenaga mendorong kursi rodanya memasuki kamar Seren.

"Stop! Apa-apaan ini?" Danu berusaha meleraikan dua orang wanita yang ada di depannya.

Danu melirik putrinya yang masih memakai baju tidur dengan tatapan sinis.

"Seren, kamu ini..."

"Kenapa? Papi mau nyalahin Seren lagi? Bukannya Seren emang selalu telat? Yang jalani hukuman kan Seren bukan Papi," potong Seren.

"Dia juga selalu bilang kalo Seren nyusahin. Its oke, Seren emang nyusahin. Tapi dia bilang Papi nyusahin. Seren gak terima Pi, kalo dia gak mau disusahin seharusnya dia menolak pernikahan ini." Seren berteriak karena saking emosinya. Gadis itu tak kuasa menahan air matanya.

Alby yang sedari tadi menunggu di teras rumah Seren untuk menjemput gadis itu merasa ada yang aneh. Pelan-pelan dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah gadis tersebut.

Dia mengerutkan keningnya saat mendengar suara Seren yang terdengar sangat keras dan seperti sedang menangis. Laki-laki itu mempercepat jalannya menuju ke lantai dua, tepatnya dimana kamar temannya itu berada.

Dia melihat ada kedua orang tua Seren yang sedang berhadapan dengan Seren yang sudah mengeluarkan air mata. Ini bukan kali pertamanya dia melihat Seren seperti ini. Sudah berkali-kali dia mencoba untuk menenangkan amarah gadis itu. Namun, biasanya gadis itu tidak pernah mengeluarkan air matanya saat bertengkar dengan orang tuanya. Namun kali ini ia mengeluarkan air matanya yang mampu membuatnya mematung.

"Maaf Om, Tante... Saya izin menjemput Seren." Alby berusaha meleraikan mereka dengan cara membawa Seren pergi dari sana. Mereka semua mengalihkan pandangannya ke arahnya, kecuali Seren yang masih menatap mama tirinya dengan tajam.

"Denger ya! Walaupun lo udah jadi mama gue. Kalo lo masih seenaknya sama bokap gue, gue gak bakal diem aja."

"Seren!" tegas Danu ke Seren.

Alby yang merasa diabaikan langsung segera menarik pergelangan tangan Seren untuk keluar dari kamarnya. Gadis itu menarik tangannya saat mereka sudah berada di luar rumah.

"Apaan sih lo? Gue belum puas ngomong," ucap Seren dengan tatapan yang tajam ke arah teman laki-lakinya itu.

"Kita udah telat bege, jam berapa ini?"  Alby menunjuk jam tangannya yang menunjukkan pukul 07.05 WIB

"Gue gak mau sekolah, gue mau bolos."

Seren meninggalkan Alby di depan rumahnya. Gadis itu berlari ke luar, ia merasa tak ingin diganggu untuk hari ini.

"Seren!"

Seren mengabaikan teriakan Alby yang masih terus memanggilnya. Dia bisa merasakan bahwa Alby sedang mengejarnya. Untuk kedua kalinya pergelangannya di tarik oleh cowok itu.

"Seren! Lo gak seharusnya bicara kayak gitu. Biar begitu, dia juga nyokap tiri lo," ucapnya yang membuat Seren langsung menoleh menatap mata cowok itu dengan tajam.

"Kapan gue pernah nganggep? Gue gak pernah nganggep dia ada di keluarga gue. Karena gue tau sifat asli dia. Lo gak tau kan? Yaudah mending lo diem. Gak usah ngurusin hidup gue."

Seren menghempaskan tangannya supaya tangan Alby terlepas. Gadis itu berlari lagi. Kali ini Alby tidak mengejarnya.

Gadis itu menuju ke sebuah danau yang berada tidak jauh dari rumahnya. Gadis itu menangis di sana. Karena ini sangat pagi, danau ini terlihat sepi. Mungkin, kalau sudah agak siangan banyak sekali orang yang menikmati pemandangan disana untuk sekedar menenangkan diri.

"Apa apaan sih orang-orang? Kenapa gak ada yang bisa ngertiin perasaan gue?" Gadis itu melemparkan bebatuan ke danau untuk melampiaskan kekesalannya.

"Saya bisa kok ngertiin perasaan kamu."

Seren terpelonjak kaget saat mendengar balasan untuknya. Dia menoleh penasaran. Seorang laki-laki  berkaos hitam mendudukkan dirinya di sampingnya. Laki-laki itu memeluk kedua lututnya. Matanya masih memandang keindahan danau yang ada di depannya.

"Wafa?"

Angin pagi yang berhembus ini membuat Seren merasa dingin. Ah, bukan dingin lagi. Ini mah sudah serasa masuk fizer. Udah suasana dingin, ditambah ada Wafa disampingnya.

"Kam-kamu ngapain ada disini?" tanya Seren gugup.

"Gak sengaja aja lewat," jawab Wafa masih tidak mengalihkan pandangannya kearah danau.

"Ee... Maaf menganggu pemandanganmu," ucap Seren yang membuat Wafa tertawa kecil.

"Enggak kok, saya emang biasanya kesini sama Azizah waktu pulang bagi-bagiin makanan buat Jumat Berkah," jawabnya.

"Aku juga sering kesini, bedanya aku sendiri." Gadis itu menatap lurus ke arah danau.

"La tahzan innallaha ma'ana, Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." Seren sedikit menoleh ke arah Wafa yang masih lurus memandangi air danau yang tenang.

"Jika kamu merasa sendiri, ingat Allah selalu bersamamu," lanjutnya sambil menoleh ke arah Seren. Terjadi kontak mata diantara mereka berdua.

"Aku tau." Seren tampak menahan air matanya yang membuat Wafa tersenyum tipis.

"Jika masalahmu terasa berat, menangislah!"

"Tapi kamu harus janji, setelah itu kamu harus tersenyum, ceria seperti waktu saya bertemu kamu pertama kali.

Setelah mengucapkan itu Seren akhirnya menangis histeris, dia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya yang mulai ramai. Wafa tersenyum tipis melihat isakan gadis di sampingnya yang terdengar sangat keras.

Bersambung...

Alwafa [END✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang