selamat membaca. cerita ini memang tdk dipungut biaya, kalian bisa scroll, setidaknya bisa juga buat pencet bintang, sebagai bentuk menghargai, apa yang sudah kalian nikmati, terimakasih 💟
***
Kegiatan Elkano berhari-hari ini rasanya seperti padat sekali, padahal hanya belajar untuk persiapan cerdas cermat dan mengurusi OSIS, tapi sudah seperti mengambil banyak waktunya, ia juga seolah terseret, yang dari sini, ke sana, lalu ke sini lagi. Beruntung Elkano bisa membagi waktu dan tidak mengikis jam istirahatnya, walaupun memang agak pusing.
"Minum air putih yang banyak. Lo akhir-akhir ini keliatan sibuk banget, pasti gampang capek." Suara Elvano yang menginterupsi membuat Elkano menoleh setelah menandaskan satu gelas air putih.
Pemuda itu mengangguk. "Iya," jawabnya, sembari memperhatikan Elvano yang tengah membuka kulkas dan mengambil sekaleng susu beruang serta satu bungkus snack.
"Jangan suka tidur malem-malem, nanti sakit," ujar Elvano lagi, seraya membuka pengait kaleng susu beruangnya.
Elkano kembali mengangguk. "Iya."
Elvano tersenyum tipis, hendak berbalik namun terurungkan karena teringat sesuatu. "Oh ya, gue boleh bilang sesuatu, nggak?" tanyanya, mengurungkan niat untuk pergi.
"Apa?"
Mengulum bibir, Elvano menggosok tengkuknya. "Soal OSIS sih ..."
"Karena lo ketuanya, jadi gue bilang aja sama lo. Menurut gue, kalau bisa ya ... tiap negur anak-anak tuh, jangan bawa-bawa soal duit, karena kita 'kan nggak tau kondisi ekonomi keluarganya lagi kayak gimana. Gue kemarin denger anak OSIS negur atribut sampe bilang nggak punya duit lah, nggak mampu beli lah, gue yang denger aja sakit hati, apalagi yang ditegur," tutur Elvano, yang didengarkan dengan seksama oleh Elkano.
"Negur 'kan juga punya aturan, jadi kalimatnya yang baik lah, jangan sampe nyakitin, karena dalamnya hati manusia itu nggak ada yang tau," imbuh Elvano.
"Siapa yang negur?" tanya Elkano, tanpa basa-basi langsung menanyakan nama.
"Ah, lo mah! Masa gue sebut merk! Nggak etis lah. Lo bilangin aja semuanya," tukas Elvano, mengayunkan lengan kirinya yang kosong untuk merangkul pundak Elkano.
"Gini ya, Adikku, kalian itu bakal lebih dihargai kalau kalian juga menghargai orang lain. Daripada menciptakan batas, lebih baik merangkul. Asli deh, itu anak-anak pentolan sekolah, kalau lo rangkul secara temen, pasti nurut dibilangin," ujar pemuda itu, yang kalau lagi mode 'anak pertama' gini emang nggak kaleng-kaleng.
"Apa gue bisa begitu?" tanya Elkano, membuat Elvano melonggarkan rangkulannya dan menatap sang adik.
"Bisa dong! Kembaran gue ini 'kan multitalenta, apa aja bisa, emang nggak semudah ngomong doang sih, tapi kalau berusaha, pasti bisa kok, kalian semua 'kan satu tim, tunjukin kalau OSIS itu nggak jual nama aja buat ngatur-ngatur tapi juga ramah temen. Bisa pasti bisa, bisa apa? Bisa gilaa, ehehehe," kelakar Elvano tertawa sendiri.
Dia yang ngomong, dia juga yang ketawa. Memang receh banget.
"Ngobrol di dalem aja, yuk, masa di dapur gini," ajak Elvano, menggiring kembarannya untuk ikut masuk ke dalam, lalu keduanya melanjutkan topik obrolan yang sempat tertunda.
"Kenapa ya, Bang?" Pertanyaan Elkano mengudara, terdengar ambigu, membuat Elvano yang sedang melipat sisa bungkus snack-nya pun mendongak.
"Hm? Kenapa apanya?"
"Kenapa sifat kita nggak sama aja?" Elkano memperjelas pertanyaannya, membuat Elvano mengerjap lalu tertawa.
"Sama kayak yang mana dulu nih? Gue sama kayak lo? Itu sih mending ya, tapi kalau lo sama kayak gue, kayaknya Mama sama Papa bakalan pusing berat, satu yang begini aja udah bikin pusing, apalagi kalau dua," ujar Elvano sadar diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana
Teen FictionCOMPLETED. [ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] SEQUEL IT CALLED LOVE - SPIN OF ELVANO ──────────────── Kata orang, Elkano itu cuek, saking cueknya kalau ada orang tenggelam yang minta tolong, bukannya nolongin, dia cuma diam sambil nonton. Padahal nyatanya...