48 - Can It Be Us?

1.4K 217 43
                                    

Pada umumnya, pertanyaan klasik yang menanyakan tentang warna favorit, makanan favorit, dan habbit adalah sesuatu yang dihindari oleh Ivy. Sebab selain tidak kreatif topik juga sangat garing, sama sekali tidak menyenangkan, tapi lagi-lagi Ivy putar selera 360° karena ternyata pertanyaan klasik itu menjadi berbeda ketika Elkano lah yang menanyakannya.

Untuk seorang convokiller seperti Elkano, memulai sebuah topik pembicaraan itu butuh effort yang besar, maka dari itu, Ivy menghargainya, walaupun tanpa berusaha menghargai pun Ivy memang senang saja ditanya seperti itu. Buktinya, sepanjang bertelepon dengan Elkano, Ivy tak henti-henti tersenyum dan tertawa, sampai pipinya terasa sakit.

Faktanya memang benar, ketika seseorang jatuh cinta, apapun menyangkut orang yang dicintainya akan terasa lebih indah dan menyenangkan. Hal yang semula terlihat klasik dan biasa, menjadi bermakna jika dilakukan oleh orang yang kita suka.

"MOGD nanti, lo nggak ikut?"

"Enggak. Bukan ranah OSIS, itu udah jadi urusan Ambalan. Kenapa?"

"Nggak pa-pa sih, nanya aja. Kalau ikut 'kan berarti otomatis juga ikut nginep di sekolah, terus baru bisa pulang siang."

"Mau ngajak jalan?"

"Huh? Enggaaakk!! Tapi kalau lo ngajak, gue juga nggak nolak sih, hehe."

"Dilihat dulu waktunya. Nanti kalau bisa kita keluar."

"Hmm," sahut Ivy, termenung sejenak, membuat konversasi mereka menjadi hening.

Sebetulnya Ivy ingin bertanya tentang hal ini, tetapi entah kenapa Ivy malah merasa sungkan, padahal dulu dia ngotot dan ngebet sekali mengajak Elkano jadian, sekarang giliran Elkano betulan dekat sama dia, Ivy malah nggak berani buat menyinggung soal jadian.

Mungkin saja pemuda itu ingin pendekatan dengannya lebih dulu 'kan? Jadi Ivy tidak perlu terburu-buru, meskipun sebetulnya pengin langsung jadi, agar ia bisa mengakui jika Elkano miliknya, dengan begitu, para fungus-fungus itu tidak mendekati atau cari perhatian ke Elkano lagi.

"Gue mau nanya," ujar Ivy.

"Hm, tanya aja."

Ivy terdiam sejenak sebelum bertanya, "Lo sama Jingga gimana?"

"Apanya?" Elkano bertanya kembali.

"Ya ... hubungannya."

"Baik."

"Bukan, bukan itu maksud gue. Maksudnya, perasaan lo ke dia itu gimana??" tanya Ivy, walau sebetulnya sedikit segan bertanya tentang ini, tapi Ivy ingin tahu.

"Biasa," jawab Elkano sekenanya.

Tetapi Ivy masih belum puas dengan jawaban itu. "Even dari kelas sepuluh kalian udah deket, lo beneran nggak pernah punya rasa suka dikit aja gitu ke dia? She's pretty, popular, talented, and smart."

"Enggak. Kenapa nanyain itu?"

"Nggak pa-pa, pengen nanya aja. Emangnya lo nggak tau kalau lo sama Jingga itu dijadiin couple goals di sekolah? Sering dijodoh-jodohin, hampir satu sekolah dukung lo buat pacaran sama Jingga."

"Kita cuma temen," balas Elkano seadanya. Sebab memang kenyataannya ia dan Jingga hanya berteman dekat.

"Kenapa iman lo bisa setebel itu sih?" Ivy bertanya heran. Masalahnya, jika laki-laki normal, pasti akan memiliki rasa tertarik meskipun sedikit, apalagi jika sering bersama. Ivy bingung, tipenya Elkano itu kayak gimana sih sebetulnya?

"Lo mau gue suka sama Jingga?" tanya Elkano, membuat Ivy membelalak.

"Hah? Ya enggak lah! Eh, maksud gue, bukan gituu!! gue cuma pengen nanya aja," sanggah gadis itu.

Renjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang