11 - Atensi

1K 181 7
                                    

tw / fight, harassment /

***

Sore ini, Ivy terpaksa harus meninggalkan motornya di bengkel karena tiba-tiba bannya bocor dan perlu ditambal, karena Ivy nggak suka sama sesuatu yang berbau 'nunggu', jadi Ivy lebih milih buat tinggalin motornya dan pulang ke rumah dengan jalan kaki.

Dia lewatnya jalan tikus, masuk ke gang-gang kecil yang biasanya dia lewatin kalau harus jalan kaki tiap kali mau pulang ke rumah, jadi Ivy sudah hapal di luar kepala, jalur-jalur perlewatannya, memang selalu sepi dan rawan setan-setan jelalatan, tapi karena Ivy merasa bisa melindungi dirinya sendiri, jadi ya dia ambil saja resikonya.

Sewaktu lagi berjalan santai untuk menuju rumah, tiba-tiba saja Ivy mendengar suara jeritan perempuan, buru-buru berlari dan mencari sumber suara, yang ternyata ada di gang depan sana, di mana setan jelalatan yang Ivy maksud sedang mencari mangsa.

Tanpa perintah, Ivy langsung berlari dan melayangkan tendangan mautnya, hingga membuat pria berhidung belang itu tersungkur.

"Lawan gue sini kalau berani!" tantang Ivy, bersiap badan jika lawannya menyerang balik.

Dan benar saja, Ivy mendapat balasan, namun berhasil ditangkis oleh gadis itu, sebagai gantinya, Ivy memelintir tangan pria hidung belang itu, dan menonjok wajahnya hingga pingsan.

Kekuatan tonjokannya memang nggak kaleng-kaleng, apalagi kalau sedang marah seperti ini. Tak berkata apa-apa, Ivy segera menarik gadis yang ketakutan itu untuk keluar dari sini.

Melihat gadis itu hanya diam, dengan tangan gemetar ketakutan, Ivy mengeluarkan sebuah botol air mineral yang belum ia buka segelnya dari dalam tas dan memberikannya pada gadis itu.

"Minum dulu," ujar Ivy, setelah membuka segel dan penutupnya.

Menerima pemberian Ivy, gadis itu meneguk sedikit air di dalam botol. Sedang Ivy hanya diam memperhatikan sampai gadis itu benar-benar bisa sedikit tenang. Memang wajar jika ia takut, karena hampir saja jadi korban pelecehan, untung Ivy belum terlambat.

"Udah mendingan?" tanya Ivy.

Gadis itu mengangguk pelan dengan tangannya yang masih bergetar. "M-makasih, Kak," cicitnya.

Ivy membuang napas lega. "Santai. Lain kali jangan lewat jalan kayak gini kalau sendirian, rawan banget, apalagi sore-sore begini. Lo nggak pa-pa 'kan? Belum sempet diapa-apain?" tanya Ivy.

Gadis itu menggeleng kecil.

Ivy mengangguk. "Rumah lo di mana?" tanyanya lagi.

"Dua blok dari sini."

"Deket lagi. Lo masih mau lanjut jalan?"

Gadis itu kembali menunduk dan kembali menggeleng. "Nggak tau, aku ... masih takut," cicitnya.

Ivy menghela napas. "Ayo gue anter sampe rumah. Bisa jalan, nggak?" tanya Ivy, takutnya 'kan saking tremor dan shock-nya sampai lupa cara jalan.

"Bisa ... tapi ngerepotin kalau dianter sampai rumah," ucap gadis itu merasa tidak enak.

Dengan gamblang Ivy menjawab, "Ya emang. Terus gimana? Mau diem di sini? Lagian, kenapa nggak naik ojek atau pesen grab aja daripada lewat sini sendirian. Rumah lo deket, harusnya tau 'kan kalau di sini rawan?"

"M-maaf, aku pikir tadi cari jalan yang deket, hp ku juga low batt pas mau pesan grab," ujar gadis itu pelan.

Ivy kembali menghela napas. "Pake ponsel gue nih. Bayar sendiri tapi, gue gada duit."

Bukan tak ikhlas menolong, hanya saja ia tak sebaik itu untuk membuang uang demi orang lain, stranger pula.

"Ng ... aku telepon Abang aja, deh, gapapa 'kan, Kak? Nanti aku ganti pulsanya."

Renjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang