kita kan, teman?

529 35 2
                                    

Sejak perjalanan kami ke pantai, cukup lama kami tidak bertukar kabar. Akupun tak tahu apakah Juan berhasil menyelesaikan masalah percintaannya dengan jalan baik atau buruk. Rasa penasaran jelas ada, tapi aku tidak berani bertanya. Karena selain kami tidak terlalu dekat, aku sangat menghargai privasinya.

Ternyata ia mengajak kami untuk main kembali, tapi kali ini bertajuk "touring". Maklum, dia anak motor banget. Namun sedikit berbeda dengan ajakan sebelumnya, kali ini ajakannya lewat perantara—Mahen.

Siang itu aku sedang duduk di deretan bangku yang sengaja disediakan untuk siswa nongkrong di luar kelas. Oh iya,  sedikit informasi tambahan, selain dari TK sampai SMA selalu satu sekolah, aku dan Mahen juga selalu satu kelas. Kali ini kami cukup beruntung mendapat kelas yang menghadap taman sekolah, pepohonan rindang membuat teduh disaat siswa kelas lain merasa kepanasan. Kicauan burung peliharaan sekolah kami juga jadi musik menenangkan dikala pusingnya pelajaran fisika. Mahen keluar dari kelas dengan susu moka di tangannya.

"Besok ikut gak? Juan ngajak cabut lagi." kata Mahen bahkan tidak menatapku.

"Kemana?" tanyaku sedikit terkejut karena nama Juan muncul lagi ke permukaan.

"Jalan aja, cari jembatan." jawabnya singkat menunggu jawaban dariku.

Hah? Apa cuma Mahen dan Juan saja yang aneh, atau memang semua anak motor seperti itu? Jembatan di banyak sungai juga ada. Tapi karena aku suka hal aneh jadi aku sontak menjawab,

"Gas."

Hari yang dijanjikan tiba. Seperti sebelumnya, kami berkumpul di rumah Mahen dan berangkat dengan aku yang dibonceng Juan lagi. Selama perjalanan dia sama sekali tidak membahas mengenai hubungan asmaranya.   Harusnya ia masih ingat kalau ia sempat bercerita padaku. Aku juga tidak bertanya, toh itu bukan sebuah hutang yang harus dilunasi, pikirku.

Kami berkendara cukup jauh. Mereka tidak memberiku jawaban ketika aku bertanya mengenai tujuan kami, hingga akhirnya Juan yang duduk di depanku membuka helm fullfacenya "Kita udah sampai Boyolali Clair." 

Baiklah, ternyata kami di Boyolali, "Jembatannya masih jauh?" tanyaku setengah berteriak.

"Bentar lagi." balasnya ikut berteriak.

"Gue kebelet pipis!" Juan hanya mengangguk dan mengencangkan laju motornya, entah apa artinya kuharap ia sedang mencarikanku toilet terdekat.

Benar saja, tak selang lama kami berhenti di sebuah warung kelontong pinggir sawah. Mahen yang tak tahu apa-apa ikut berhenti saja.

"Kenapa?" tanya Mahen.

"Setor." jawabku kemudian lari terbirit-birit mencari bantuan selanjutnya.

Setelah mengeluarkan cairan kotor dari tubuhku, aku membeli empat minuman berasa yang menjadi favoritku, Fresh tea rasa apel, hehehe. Kok beli empat? Bukannya cuma bertiga? Ah, yang satu lagi ekstra khusus untuk Mahen. Aku tahu betul Mahen sangat suka minum, bahkan tak jarang jatah minumanku dia ambil.

Aku buka dua botol Fresh Tea, kuberikan kepada Juan dan Mahen masing-masing satu botol.

"Perhatian banget sih," kata Juan sembari menghapus peluh di dahinya.

"Ya kali numpang pipis gak beli Ju."

"Satu lagi buat siapa?" tanya Juan menunjuk botol lain yang masih bersegel.

"Mahen lah, dia mana cukup minum satu botol doang." setelah ber-oh ria, Juan memberiku kode untuk segera kembali naik motornya.

Perjalanan kami lanjutkan hingga jembatan yang digadang-gadang perlahan mulai terlihat. Di sana sudah menunggu seorang rekan Juan. Kata Juan dia anak komunitas lain. Apalah itu, yang penting perjalanan ini akhirnya sampai di tempat tujuannya.

Laki-laki itu menjabat tangan Juan dan juga Mahen bergantian, sambil sesekali menggoda Juan karena boncengannya kali ini tidak kosong.

"Saya temennya mas," sela ku berusaha meluruskan keadaan. Aku tidak mau nantinya Juan merasa tidak nyaman.

Laki-laki bermotor hitam itu mengangguk sambil tersenyum tak percaya, seolah jawabanku tidak bisa dipastikan keabsahannya. Damn. Kami kembali melaju hingga akhirnya berada di atas jembatan yang dimaksud. Jembatan besar dan panjang dengan suasana pedesaan yang indah.

"Sebenernya ini bukan jembatan utamanya Clair, tapi karena gue cuma mau ambil foto motor di jembatan makanya gue minta bantuan komunitas sini buat cari jembatan yang sepi tapi oke."

Aku hanya ber-oh ria mendengar penjelasan Juan. Kini aku duduk di pinggiran jembatan menunggu tiga orang laki-laki sibuk berfoto dengan motor mereka. Beberapa kali aku juga diminta untuk mengambil foto ketiga laki-laki tersebut bersama motor mereka yang dijejer tiga.

Kapan lagi diajak pergi jauh tujuannya jembatan, kan? Kemudian satu persatu dari mereka mencoba rasanya bermain gas di atas jembatan. Berisik sekali, Tuhan. Tapi aku diam tak berani protes karena aku tidak mau diterjunbebaskan dari jembatan yang tinggi banget ini. Alhasil aku duduk dan menurunkan kakiku sehingga kakiku dapat menggantung merasakan udara di bawah jembatan. 

"Hei, bosen ya? Maaf ya lama. Yuk, balik. Gue udahan fotonya." ajak Juan mendekatiku.

Setelah berbasa-basi dengan laki-laki yang katanya komunitas motor lain itu, akhirnya kami melakukan perjalanan pulang. Jujur aku lapar sekali. Bagaimana tidak, kami hanya berkendara tanpa mengunyah apapun sedari tadi.

"Ini gak ada acara makan?" tanyaku ketika motor Juan dan Mahen bersandingan di sebuah lampu merah.

"Ini baru mau cari Clair, ada request?" tanya Juan menoleh sedikit ke arahku.

"Padang yuk, udah super banget lapernya." jawabku lalu disepakati oleh Juan dan Mahen.

Perut kami sudah sangat aman untuk dibawa pulang sekarang. Setidaknya bisa bertahan hingga nanti malam, mungkin. Ketika sedang antre untuk membayar masing-masing pesanan kami, Juan berkata,

"Clair, sorry banget. Are you okay kalo misal harus pulang bareng Mahen lagi? Gue mau anter Nadia ke bandara. Dia hari ini mau balik."

Wait, di penghujung perjalanan panjang kami hari ini, akhirnya Juan menyebut nama pujaan hatinya. Sedikit hatiku merasa lega, bukankah artinya  hubungan mereka baik-baik saja? Selebihnya hatiku merasa ngeri, karena harus dibonceng Mahen yang kalau di jalanan kencengnya udah kayak ngejar pahala di bulan Ramadhan.

"It's okay, take your time Ju. Ngapain juga pake minta maaf, sih. Pacar mah harus lebih diutamain. Gue juga udah biasa sama Mahen, salam buat Nadia ya."

Kata-kataku barusan memang benar kan? Juan harus memperjuangkan hubungannya dengan Nadia. 

turn into a strangers. (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang