meledak.

105 14 3
                                    

"Jadi, lo pindah gak ngabarin gue?"

Ternyata Juan membuntuti kami dari belakang. Jefri dan aku yang baru saja keluar dari mobil sedikit terkejut. Lagi-lagi kami tertangkap basah.

"Lo kenapa ikut turun? Kenapa gak langsung cabut?" kini pertanyaan itu tertuju untuk Jefri.

"Barang-barang dia masih di apart gue Ju,"

Juan diam mengekori kami berdua. Sedangkan Jefri bercerita hal lain yang dengan sengaja untuk memanasi Juan di belakang.

"Besok aku ajarin nyetir deh, mumpung aku di sini."

"Males ah, palingan janji doang."

"Gak dong, kan aku masih lama di sini. Lagian juga kerjaan lagi gak rame banget. Mau gak?"

"Liat besok gimana deh,"

Kami bertiga berhenti di depan pintu lift, Juan masih mengikuti dan kini kami bertiga tampak seperti tiga sekawan yang sedang menunggu pintu lift terbuka.

"Lo kapan pindahan?"

"Tadi pagi,"

"Sendirian?"

"Dibantu Jefri"

"Kenapa gak ngehubungin gue?"

"Gue udah terlanjur nerima tawaran Jefri, lagian dari kemarin hectic banget jadi gue gak sempet pegang HP,"

"Tapi lo sempet komunikasi sama dia?"

"Kita gak sengaja ketemu Ju, lagian kenapa mesti gue jelasin semuanya ke lo sih?"

Juan terdiam tidak bisa menjawab. Jefri yang merasakan suasana panas dari dalam diriku akhirnya memisahkan posisi kami. Dia berdiri di sebelah Juan.

"Sorry kalau gue ikut campur. Tapi Juan, Clairy lagi capek banget hari ini. Bisa lo jangan bikin dia marah-marah dulu?"

Inilah hal lain yang dulu sangat aku suka dari Jefri. Dia sangat sabar dan selalu bisa memenangkanku dalam situasi apapun. Dia selalu dapat mengimbangi emosiku yang kadang tidak stabil dan seperti bocil. Meskipun dia tidak jelas dan overprotektif, tapi dia jauh lebih dewasa dibanding aku.

Pintu lift terbuka. Kami turun dan berjalan menuju unitku. Jefri membantu menekan kode pintuku. Ya, Jefri tahu karena yang membantuku mengatur kodepun dia. Tapi tenang, besok akan kuganti kodenya, dia hanya ingin membantuku.

"Bahkan dia tau passcodenya? Lo yakin kalian gak balikan? Lo inget sama kesepakatan kita Clair?"

"I do! Bisa lo jangan bersikap kaya gini? Bisa lo jangan bersikap seolah gue milik lo sepenuhnya? Kita cuma perlu pura-pura di depan orang kan Ju? Kurang ya gue? Kurang gue bantuin lo?"

Aku benar-benar meledak setelah kepergian Jefri. Kini tinggal aku dan Juan, entah kenapa perkataan Mahen berputar di kepalaku.

"Sorry, gue berlebihan. Gue salah."

"Ju, gue gak mau nyakitin siapapun di sini. Kalau memang lo suka sama Amel ya kejar. Lo gak butuh bantuan gue sama sekali kalau emang hati lo milih dia. Dan satu lagi, lo gak bisa nyamain lo sama Amel kaya gue sama Mahen. Mahen temen gue, tapi Amel? Lo suka kan sama dia?"

Setelah berdebat, aku yang sangat lelahpun mau tidak mau meminta Juan untuk pulang. Dia yang bersikeras membuatku menerima permintaannya untuk ikut dengannya besok pagi, masih saja memaksaku. Dia bilang, dia sangat ingin menjauh dari perempuan bernama Amel itu meskipun harus menentang perasaannya sendiri.

"Lo ikut gue, ya? Gue bakal ngalah sama perasaan gue. Gue bakal lepasin Amel, dan cuma lo yang bisa bantu gue Clair."

Helaan napas kasar keluar dariku,

"Oke. Tapi bisa lo sekarang pulang? Mood gue harus bagus kan buat bisa main drama di depan temen-temen lo? Jadi gue mohon lo sekarang balik."

Juan menuruti permintaanku, ia berbalik dan meninggalkanku yang sudah sangat lelah bahkan sekadar untuk membersihkan diri.

turn into a strangers. (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang