Hari-hari Clairy berlalu seperti biasa. Ia hanya memenuhi kewajibannya hadir di kelas-kelas yang ada di daftar KRS-nya kemudian di lain waktu ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar.
Ia mengusap matanya sedikit kasar, memaksakan mereka untuk dapat terbuka karena ia sudah tidak punya banyak waktu untuk bersiap. Semalam ia mengerjakan laporan praktikumnya hingga pukul tiga dini hari. Kemudian pagi ini ia memiliki kelas pukul tujuh.
Rasa kantuk luar biasa sebisa mungkin ia redam dengan guyuran air dingin dari ujung kepala sampai kaki. Clairy tidak boleh terlambat, karena jika terlambat maka apa yang dikerjakannya semalam akan sia-sia.
Secepat kilat ia keluar dari kamar mandi dengan tangan yang sibuk menggosokkan handuk ke rambutnya. Tidak ada waktu untuk mengeringkan rambut sialan ini, pikirnya.
Ia melirik ke arah jam dinding, sepuluh menit lagi batas waktu agar ia tidak terlambat sampai ke kampus.
Kali ini ia memoleskan pewarna ke bibir tebalnya. Ombre lips menjadi varian wajib bagi bibir Clairy. Jarinya menelusuri lingkaran hitam di sekitar matanya. Kurang tidur.
Tidak hanya lingkaran hitam yang menjadi bukti, tapi juga siklus bulanannya yang berantakan menandakan pola hidupnya tak beraturan akhir-akhir ini.
Bagaimana tidak, dalam satu minggu ia bisa saja mendapat jadwal praktikum hingga empat kali. Selain itu, ia juga dibebankan laporan ditulis tangan yang harus dikumpulkan pada tiap pertemuan selanjutnya.
Otaknya terlalu sibuk untuk sekadar memikirkan hal lain selain pulang dan pergi dari kampusnya. Sesaat ia akan menyusuri deretan buku-buku di perpustakaan lantai empat milik kampusnya untuk mencari referensi sumber dari masing-masing praktikumnya.
Clairy yang sudah memakai sepatu melupakan kunci motornya. Dengan langkah berjinjit seperti maling karena ia tidak mau mengotori lantainya, Clairy meraih kunci motornya.
Telinganya terpasang dengan TWS miliknya, menyambungkan telepon ke Ucha yang semalam memintanya untuk menelepon jika saka ia belum mengiriminya pesan. Artinya mereka akan sama-sama terlambat.
Jalanan penuh dengan orang yang sama-sama memiliki kebutuhan "berangkat pagi". Untung saja Juan pernah memberikan informasi jalan tikus yang dapat ia ambil agar terhindar dari kemacetan dan sampai ke kampusnya dengan cepat.
Ah, Juan, ya. Semakin ke sini laki-laki itu semakin tidak jelas. Begitu pula hubungan mereka. Kerap kali Clairy menangis di ujung telepon, meminta Juan untuk berhenti memikirkan perkataan ibunya. Karena suatu kebohongan besar ketika Juan selalu mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
Sampai saat ini, hampir dua purnama berlalu ia tidak juga kunjung pulang dan memperbaiki hubungan mereka. Beruntung Clairy disibukkan oleh kegiatan perkuliahannya, karena dengan itu ia akan bisa mengesampingkan urusan percintaannya yang tidak jelas.
Pernah satu malam, ketika Clairy berkunjung ke rumah Mahen atas perintah ibunya, dan ketika Mahen menyinggung mengenai hubungan Clairy dan Juan, perempuan itu tampak pasrah dengan keadaan.
"Gue bakal ikutin alurnya. Gue udah capek."
"Lo tahu Hen? Semua keluarga gue setuju kalau gue dijodohin sama Bima. Semuanya. Cuma gue yang mempertahankan Juan, gue belain dia kayak orang kesetanan. Tapi apa? Apa yang gue dapet? Dia selalu mikir kalau gak akan ada jalan lain."
Kala itu Mahen hanya menganggukkan kepalanya. Ia sudah mendengar itu dari ibunya, bagaimana Clairy di hadapan seluruh keluarganya menolak mentah-mentah ide perjodohan itu hanya karena ia begitu mencintai Juan.
"Ayolah, cuma kumpul doang."
"Lo tahu gue paling males kumpul-kumpul."
"Mahen juga ikut. Lo bisa nebeng dia kalau mau."
"Hmm, lihat nanti deh. Kalau gue mau, gue dateng."
Panggilan terputus. Ajakan dari ketua angkatan SMA-nya untuk reuni malam ini, tidak diindahkan oleh Clairy. Bagaimana tidak, ia jelas akan memilih untuk memejamkan matanya jika saja ia memiliki waktu senggang, atau setidaknya memakai masker untuk meredakan otot-otot wajahnya yang selalu kaku ketika otaknya sedang berpikir keras menyelesaikan tugas-tugasnya.
•turnintoastrangers•
"Lihat tuh siapa yang dateng!" seru salah satu dari kerumunan yang sudah memenuhi kursi di ruang itu.
Clairy mengangkat tangannya dengan wajah datar. Ia malas sekali, tapi ketua angkatannya itu tak henti-hentinya menelepon dan memaksanya untuk datang.
"Sehat Clair?" tanya beberapa temannya yang dibalas anggukan oleh Clairy.
Ia mengedarkan pandangan, kemudian lambaian tangan Mahen tertangkap oleh netranya. Lelaki itu memberinya isyarat untuk duduk di kursi yang telah ia siapkan untuk Clairy, tepat di sampingnya.
"Sini!" katanya tanpa bersuara.
Clairy yang datang masih dengan pakaian yang sama yang ia pakai untuk pergi ke kampus, beserta tas besar yang berisi laptop serta buku laporan praktikumnya yang super berat itu berjalan menuju arah dimana Mahen duduk.
"Sini, gue bantu." kata Mahen berdiri dan membantu Clairy melepaskan tas ranselnya.
"Berat banget bawa nama baik orang tua, lo?"
Clairy tidak membalas, karena jujur ia sangat sangat lelah.
"Lo mau minum apa? Lechy tea? Makan ya, chicken katsu mau?"
Clairy lagi-lagi hanya memberikan anggukan. Selain lelah, ia juga lapar. Mahen mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan cafe itu mendekat. Setelah pesanan milik Clairy tercatat dan pelayan itu meninggalkan mereka, fokus Mahen kembali pada Clairy.
Sambil menyeruput air dalam gelas pesanannya, Mahen berkata "Gue tadi habis motoran sama Juan."
KAMU SEDANG MEMBACA
turn into a strangers. (END)
ChickLitApakah akan berbeda jika "kita" di antara aku dan kamu tidak pernah ada? Di sinilah aku, untuk mengingatkanmu tentang bagaimana kita menjadi orang asing. Would it really make a difference if we didn't exist? Here I am, to remind you how we turn into...