"Gue tadi habis motoran sama Juan."
Kepala yang sebelumnya menunduk dan menempel di atas meja, berhasil terangkat oleh sebuah kalimat yang Mahen lontarkan.
"Maksud lo?" balas Clairy dengan raut wajah yang dapat dibaca jelas oleh Mahen. Terkejut, marah, dan.. kecewa?
Baik Mahen maupun Clairy saat ini sama-sama mengerutkan keningnya.
"Wait, lo gak tahu kalau dia balik?!"
Bukan hanya Clairy, tapi Mahen juga tampak marah kali ini. Bukan pada Clairy, tapi pada bajingan bernama Juan.
"Dia sama sekali gak ngabarin gue semingguan ini."
"Dan lo gak nyariin dia?"
"Lo pikir gue diem aja selama ini? What the f-. Dia anggep gue apa sih sebenernya?"
"Oke tenang, lo makan dulu. Habis itu lo boleh marah-marah."
Clairy menggeleng. Ia mencoba mengambil ponselnya di saku jaket yang masih ia pakai.
"Stop, Clairy. Lo harus makan dulu, okay? Setelah ini, lo gue temenin kalau mau nonjok muka si Juan."
Bersamaan dengan permintaan Mahen, pesanan Clairy datang. Meskipun nafsu makannya telah hilang tergantikan dengan nafsu ingin mencaci maki lelaki yang masih berstatus pacarnya itu, ia terpaksa menelan sesuap demi sesuap nasi yang tersedia di hadapannya.
"Dia cerita kalau bokapnya besok pagi terbang ke Singapore, mau operasi something. That's why dia balik buat anter ke bandara, karena dia gak bisa ikut."
Clairy memejamkan matanya, telinganya sungguh sudah panas menahan emosi yang memuncak. Bahkan ia tidak tahu menahu dengan berita sepenting itu.
Clairy tetaplah Clairy. Jika marah, ia akan mengeluarkan air matanya.
Mahen menarik sehelai tisu dari wadahnya, kemudian mengusapkan pada pipi Clairy yang basah. Perempuan itu masih berusaha menelan makanannya, meski rahangnya telah mengeras dan kepalan tangannya pada sendok dan garpu sudah sangat kencang.
"Lo juga gak tahu kalau bokapnya sakit?" tanya Mahen lirih, mencoba mencari mata Clairy yang tertutup oleh rambutnya yang turun karena perempuan itu berusaha menahan tangisnya.
Setelah separuh lebih isi piring habis, Clairy menekan nomor Juan dan Mahen tak menghalanginya.
"Kita cari tempat yang sepi. Di belakang ada taman, kita ke sana." bisik Mahen mengajak Clairy untuk menyingkir dari keramaian teman-temannya yang lain.
Clairy berjalan dengan ponsel yang ia tempelkan di telinganya. Sedang Mahen mengikutinya dari belakang serta merta membawa tas ransel milik Clairy.
"Jawab, Brengsek!" gerutu Clairy ketika sambungan teleponnya tidak juga diterima.
Tepat setelah ia memanggil kekasihnya dengan sebutan kasar, lelaki di ujung telepon itu menerima panggilan.
"Halo?"
"Mau kamu apa sebenernya?"
"Pasti Mahenmu itu cerita, kan?"
"Gak usah bawa-bawa Mahen. It's all about you and me."
"Aku pulang karena Ayah mau operasi. Aku buru-buru, jadi aku gak ngabarin siapapun."
"Tapi kamu punya waktu buat ketemu Mahen dan bukan aku? Sebegitu gak maunya kamu ketemu aku lagi?"
"Clairy, like I've said it before. I need a space. Kenapa kamu gak ngerti juga?"
"Bagian mana yang aku gak ngerti, Juan? Aku udah kasih kamu ruang buat gak perlu ngabarin aku selama seminggu ini. Sekarang, aku mau kita ketemu. Kita selesaikan apa yang jadi permasalahan kita."
Hening. Tidak ada balasan dari Juan dan Clairy masih menunggu suara Juan kembali terdengar.
Mahen yang duduk di samping Clairy tampak tidak tahan dengan sikap Juan yang semena-mena dengan sahabatnya. Meskipun ia ingin ikut memaki Juan, tapi ia tahu bahwa Clairy akan menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Gak bisa. Besok dari bandara aku langsung pulang ke Surabaya."
Clairy terkekeh mendengar jawaban dari Juan. Apa lagi ini? Lelaki itu ingin menggantungnya lagi?
"Juan, Juan. Kamu gak capek sama situasi ini? Berapa lama lagi kamu mau menghindar kaya gini? Let's just talk. If you wanna end all this, I'll give you a chance."
"Jaga omongan kamu, Clairy." balas Juan dengan nada sedikit meninggi.
"Whatever. Aku bakal ikutin kamu maunya gimana. Let's see, siapa yang benar-benar mau bertahan dan siapa yang sebenarnya pecundang di cerita ini."
Ketika sambungan itu terputus, Clairy semakin pasrah dengan apapun ujung cerita mereka.
Clairy berdiri dari duduknya. Moodnya sudah hancur, ia tidak lagi mau kembali ke teman-temannya. Ia hanya ingin pulang.
Mahen mengindahkan keinginan Clairy dengan mengirim pesan pada ketua angkatannya bahwa mereka akan pulang terlebih dahulu karena Clairy lelah. Tidak bohong, sahabatnya itu memang sudah sangat lelah.
"Lo yakin mau naik motor? Gue bisa suruh temen buat anter motor lo nanti, dan lo bareng gue."
Clairy memasang helm di kepalanya, ia menganggukkan kepala.
"Hen, gue butuh waktu sendiri. Lo jangan nekat ngelakuin apapun. Gue tahu lo marah, tapi gue gak mau lo ikut campur terlalu dalam. Gimanapun ini urusan gue sama Juan."
Seperti tahu isi otak Mahen, Clairy melarang sahabatnya untuk melakukan tindakan yang tidak akan berbuah baik. Bagaimanapun, Clairy tidak mau Mahen terkena masalah.
"I know. Tapi gue bakal ngikutin lo dari belakang. Cuma sampai apart, oke?"
Kembali Clairy mengangguk, dan Mahen bergegas menyalakan mesin motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
turn into a strangers. (END)
ChickLitApakah akan berbeda jika "kita" di antara aku dan kamu tidak pernah ada? Di sinilah aku, untuk mengingatkanmu tentang bagaimana kita menjadi orang asing. Would it really make a difference if we didn't exist? Here I am, to remind you how we turn into...