get it right.

105 16 3
                                    

hi guys this is subaklovesme. before we go, i really want all of u to know that this story contains 50% fiction and 50% damn true love story. the name and visual of the characters is just for fun, don't take it too serious okay? be wise and be nice.

second, i bring the hot hot news that Clairy's ex-crush's wife just gave birth! yes, Jef's daughter are realesed. Clairy become an aunty today! ohmygod she still can't believe this day really happened, let's pray to God to protect him and his little new family. Jefri!! (dang) congrats redflag boy! pls be a good dady! wooho! okay we're done. sorry for my bad eng. let's back to the story! enjoy!

-turnintoastrangers-

Tak hanya mengantarku, Jefri bahkan menemaniku hingga kami dapat melihat Juan sedang memarkirkan mobilnya. Sesekali Jefri mengamati Juan meskipun jarak keduanya cukup jauh.

"Gebetan kamu yang baru?" tanya Jefri.

Aku menggeleng mengikuti arah pandang Jefri yang belum terputus pada Juan.

"Bukan. Kamu pulang aja sana, dia udah sampe kan."

Jefri tidak menyerah bahkan setelah aku usir, dia memilih untuk menemaniku sampai urusanku dan Juan selesai, dengan dalih ia ingin memastikan apakah Juan pantas untukku atau tidak.

"Belagu banget sih! Aku ingetin sekali lagi nih, kali aja kamu lupa. Kamu itu ngeghosting aku. Mending sekarang ngaca dulu deh sebelum menilai orang,"

Lelaki itu hanya terkekeh kemudian menyenggol bahuku saat Juan telah keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah kami. Tatapan Juan pada kami berdua sedikit aneh, apakah Juan berpikir bahwa aku membawa pacarku?

Jefri? Dia ganteng sih, tapi mohon maaf saya kapok.

"Hai, udah nunggu lama ya? Sorry tadi nyari kunci mobil dulu." sapa Juan.

"Kenapa gak naik motor aja?" tanyaku padanya setelah memberi izin untuk ikut duduk bersama kami.

"Kayanya mau hujan. Nanti lo kehujanan."

"Dia balik bareng gue." Jefri menyela kami berdua, berharap ia juga dianggap di ruangan ini, atau setidaknya di meja ini.

Ia seperti hantu yang tak dianggap bahkan baru beberapa menit saja keduanya bertemu. Juan menoleh ke arah Jefri, menaikkan sebelah alisnya, kemudian beralih ke arah Clairy.

"Ah sorry, Ju kenalin ini Jefri. Jef, kenalin ini Juan temenku."

"-ku?"

Juan menyadari bahwa aku dan Jefri menggunakan panggilan "aku-kamu". Ya, siapapun akan salah paham. Sebenarnya ini adalah imbas karena kami dulu sempat dekat, dulu Jefri selalu melarangku memakai "lo-gue" dan hal itu mengalir hingga kini. Lidahku sepertinya sudah tersetting untuk memakai "aku-kamu" jika dengan Jefri.

"Lo mau pesen apa? Kebetulan kita juga belum pesen." Jefri mencoba mengalihkan keingintahuan Juan dengan pertanyaan lain.

Bagus, terima kasih Jef. Aku juga malas menjelaskan hal yang sudah berulang kali kujelaskan pada tiap orang yang kami temui. Jefri mengabsen satu persatu menu minuman yang ditawarkan dengan jari telunjuknya.

"Gak ada yang non-coffee Ay, you okay?" Jefri menanyakan padaku.

"Aku air mineral aja. Masih kembung anjir, tadi aja kamu paksa aku buat abisin punya kamu."

Setelah mengumpulkan pesanan masing-masing, Jefri beranjak untuk menuju meja kasir. Kini Juan menatapku tajam tepat di hadapanku.

"Jadi kalian balikan?" tanya Juan tiba-tiba.

"Hah?" kataku membeo.

"Itu kalian pakai 'aku-kamu', dia juga panggil lo 'Ay'." balas Juan acuh.

Aku tak tahan menahan tawaku. Raut wajah Juan sangat lucu! Dia seperti anak kecil yang ditipu oleh orang tuanya karena mainannya tidak jadi dibeli. 

"Hahaha, lo ada-ada aja deh. Lagian, emang lo tahu dia siapa? Tahu dari mana?" tanyaku.

"Mantan gebetan lo yang ngilang pas lo lagi bucin-bucinnya. Dia kan?"

Dagunya ia arahkan ke arah punggung Jefri yang masih sibuk dengan pesanan kami. Aku tak mau menjelaskan terlalu detail mengenai bagaimana aku dan Jefri, toh lelaki di hadapanku ini juga tak perlu tahu semua hal tentangku.

Jefri membawa pesanan kami bertiga dengan kedua tangannya, ia harap aku dan Juan memiliki cukup waktu terutama ketika Jefri meninggalkan kami. Ia menurunkan satu-persatu minuman dari nampan yang dibawanya. Miliknya, milikku, kemudian terakhir milik Juan.

"Kalian kalau mau ngobrol silakan, anggap aja gue gak ada. Tugas gue di sini cuma antar Clairy dan bawa pulang dia kalau urusan kalian udah selesai." Jefri menyesap kopinya, benar-benar berusaha untuk tidak memedulikan dua manusia lain di meja ini.

Juan mulai dengan kalimat pertamanya, "Lo besuk harus ikut gue," entah kalimat ini berupa ajakan atau paksaan, laki-laki ini sangat tidak bisa ditebak. Terkadang ia muncul, tak jarang ia akan menghilang sebelum akhirnya muncul kembali.

"Kemana?" 

"Dieng, gue bakal touring sama temen-temen. Di sana ada salah satu pacar temen gue yang sahabatan sama Amel." mendengar penjelasan Juan aku hanya ber-oh ria. Aku sedang diminta untuk menjalankan tugasku.

"Sorry banget terakhir kita ketemu, gue gak ngehubungin atau nanya lo sampe rumah dengan aman atau gak. Malam itu gue kalut banget begitu dapet kabar dia kabur dari rumah."

"Sebenernya gimana perasaan lo ke dia Ju?" kini aku bertanya serius sebagai sebagai seorang teman yang ingin membuat Juan tidak bimbang dengan perasaannya sendiri. "I mean, lo bilang kalau lo muak tapi lo tetep khawatir sama kejadian kemaren."

Juan menunduk, lelaki itu tampak sedang berpikir dan kemudian aku dapat mendengar embusan napas berat lolos darinya. "Gue bingung sama perasaan gue sendiri. Ini ternyata bukan pertama kalinya dia kabur karena gak kuat sama nyokapnya. Dia butuh gue, iya kan Clair?"

Si Babi, kenapa jadi malah nanya ke gue?

"Lo gak boleh gak jelas gini Ju, kalau lo ngerasa dia butuh lo ya lo perjuangin. Jangan malah mau ajak gue ketemu sama temen-temen lo, apalagi ada sahabatnya Amel disana. Dia bakal makin sakit hati! Dia makin mikir kalau gak ada yang di pihaknya." aku menghela napas sejenak sebelum akhirnya melajutkan ucapanku,

"Pikirin baik-baik dulu apa sebenernya yang lo mau. Gue belum terima atau nolak ajakan lo. Kabarin gue kalau lo udah nemu jawaban dari kebimbangan lo."

Kami berdiam cukup lama, aku memainkan ponselku mengirimkan pesan pada Jefri yang entah kemana batang hidungnya. Aku memberitahu Jefri untuk mengantarkanku pulang, aku tidak mau diantar Juan. Lebih tepatnya, aku tidak mau jika Juan tahu aku pindah, setidaknya jangan sekarang.

"Clair," panggilnya.

Aku mendongakkan pandangan, meninggalkan ponsel yang sedari tadi kutatap.

"Gue tetep bisa jagain Amel tanpa harus jadi pacarnya, kan? Kaya Mahen yang selalu ada di samping lo, gue juga bisa kaya gitu, kan?"

turn into a strangers. (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang