"Anjir kumat nih gue," keluh Clairy saat ia merasakan perutnya seperti ditarik hingga ke kerongkongan.
Ya, GERD. Penyakit yang sedang ramai digandrungi anak muda. Telat makan, suka begadang, tidak sadar dengan kesehatannya. Begitulah kira-kira penjelasan seorang dokter ketika Clairy memeriksakan dirinya beberapa bulan lalu.
"Obat abis lagi ya ampun Tuhan."
Ia meringis kesakitan, dadanya terasa panas. Ia menjatuhkan diri ke lantai, ketika ia seharusnya sudah bersiap untuk pergi ke kampus.
Tak bisa beranjak, satu hal lain yang ia sadari adalah obatnya habis. Biasanya Clairy akan selalu menyimpan stock tetapi sudah beberapa hari ini ia lupa untuk membelinya ditambah sudah cukup lama ia tidak kambuh, jadi aman, pikirnya. Tapi ternyata tidak.
Satu nama yang langsung terlintas di otaknya adalah Mahen. Buru-buru ia mencari ponselnya dan menelepon sahabatnya.
Dua kali panggilannya tidak ditanggapi, khawatir Clairy lelaki itu sedang ada perkuliahan.
Percobaan ketiga, akhirnya panggilan itu diterima oleh sahabatnya.
Di lain tempat, Mahen sedang serius mendengarkan dosennya dalam sebuah perkuliahan umum. Ada sekitar enam puluh mahasiswa di ruang dengan tempat duduk yang berundak.
Ponselnya yang memang ia letakkan di atas meja tiba-tiba layarnya menyala. Ada nama sahabatnya di sana. Mungkin tidak penting, pikir Mahen. Lagi pula ia sedang di kelas.
Namun ketika ia mendapati Clairy mencoba menghubunginya sampai tiga kali, itu artinya sesuatu hal sedang terjadi.
"Gue nitip tas yak, lo bawa dulu."
bisik Mahen pada teman di sampingnya.Dengan berjalan mengendap-endap supaya tidak ketahuan oleh dosen yang sedang berdiri di bawah, Mahen keluar dari ruangan dengan membawa ponsel, dompet, dan kunci mobilnya.
"Halo, lo kenapa?" tanya Mahen panik.
"Beliin gue obat. Sucralfate, Omeprazole, sama Isosorbid Dinitrat, buruan. Gue kambuh,"
"Anjir, lo dimana?!"
"Apart"
"Gue kesana. Atur napasnya, tetep tenang. Oke?" yang diseberang tidak menyahut, "Clairy lo dengerin gue kan?!"
"Buruan,"
Mahen dapat mendengar bisikan yang diucap Clairy, perempuan itu memang suka sekali merepotkannya. Tapi kali ini, Mahen akan benar-benar mengomelinya bukan karena ia direpotkan, tapi karena lagi-lagi Clairy lalai dengan penyakitnya.
Penyakit yang kadang dianggap remeh oleh sebagian orang, tapi Mahen tahu Clairy amat sangat kesakitan tiap kali penyakitnya kambuh.
Dengan cepat ia melajukan mobilnya langsung ke gedung tempat tinggal Clairy, tidak, ia tidak akan mampir ke apotek. Ia akan langsung membawa perempuan itu ke rumah sakit.
•turnintoastrangers•
"Astaga Tuhan." kata Mahen panik ketika ia mendapati sahabatnya terkulai lemas di lantai dengan keringat dingin yang membuat rambut panjangnya basah.
"Mana obatnya njir," bisik Clairy yang merasakan tubuhnya melayang karena kedua tangan Mahen berusaha menggendongnya.
"Kita ke IGD. Lo gak bisa terus-terusan minum si obat jantung sialan itu—Isosorbid dinitrat, lo ketergantungan."
"Dada gue panas." napas Clairy tersenggal merasakan betapa tidak nyamannya tubuhnya saat ini.
"Atur napasnya. Lo merem aja udah, jangan mikir apapun."
Setelah sampai di pintu IGD, hal pertama yang Mahen lakukan adalah kembali membopong Clairy untuk menuju ke ruangan serba putih dengan beberapa ranjang pasien yang tampak kosong.
"Dok, temen saya GERD-nya kambuh." kata Mahen saat ia menemukan keberadaan dokter jaga di sudut ruangan.
Seorang perawat datang kemudian membuka salah satu tirai sebelum kemudian menutupnya kembali ketika Clairy sudah terbaring.
Mahen tidak hanya diam, ia merapihkan rambut yang menutupi wajah Clairy yang berkeringat dengan sesekali mengelusnya memberikan ketenangan pada sahabatnya.
"Suntik ya," kata dokter ketika ia menyuntikkan obat ke dalam tubuh Clairy.
Dasarnya Clairy memang phobia dengan benda tajam dan darah, ia akan merasa mual dan pusing ketika melihat sebuah benda tajam mengenai tubuhnya, atau melihat tubuhnya yang kesakitan dan mengeluarkan darah.
Mahen tahu, jadi ia segera menutup mata Clairy dengan salah satu tangannya.
"I'ts okay," bisik Mahen.
Setelah obat yang disuntikkan berhasil masuk ke dalam tubuh Clairy, Mahen membiarkan Clairy istirahat sedang dirinya diminta oleh perawat untuk mendaftarkan Clairy di ruang administrasi.
Setelah selesai dengan urusan administrasi, Mahen kembali ke bilik ranjang tempat Clairy dirawat.
Tampak perempuan itu sudah kembali tersenyum menyebalkan dengan memamerken sederetan giginya.
"Panggil sono pacar lo, lagi susah juga tetep nelfonnya ke gue!" ingin sekali Mahen menoyor kepala Clairy seperti biasa jika saja ia tidak ingat bahwa beberapa menit yang lalu perempuan ini seperti sedang dijemput oleh ajalnya.
"My lovely honey bunny sweety, gomawo." kata Clairy dengan nada manjanya yang dibuat-buat.
Mahen menarik pelan rambut Clairy karena ia tidak tahan dengan tingkahnya saat ini.
"Nyesel gue nolongin lo. Ayo balik, gue anter lo balik kerumah Ibu. Gak ada penolakan."
Clairy memejamkan matanya, sebelum kedua tangannya juga turut menutup telinganya. Clairy sudah paham, ia pasti akan diceramahi sepanjang jalan menuju rumah. Dan sesampainya di rumah, ia akan mendapat dua penasehat sekaligus yaitu Ibunya dan Mahen yang akan bertugas menjadi kompor.
"Mampus gue," batinnya pada kesialan hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
turn into a strangers. (END)
ChickLitApakah akan berbeda jika "kita" di antara aku dan kamu tidak pernah ada? Di sinilah aku, untuk mengingatkanmu tentang bagaimana kita menjadi orang asing. Would it really make a difference if we didn't exist? Here I am, to remind you how we turn into...