prioritas.

132 17 2
                                    

Acara malam ini berjalan dengan lancar dan dipenuhi kegembiraan dari teman-temanku. Juan dan diriku mengucap salam pamit sebelum benar-benar turun dari panggung. Sorak riuh puluhan teman-teman di hadapan kami membuatku tersenyum lebar. Kulirik lelaki yang berdiri tepat di sebelahku, setelah sekian lama baru kulihat lagi senyumnya.

Berada di backstage, tampak Mahen berlari ke arahku.

"Good job! Nih minum dulu." kata Mahen menyodorkan botol air padaku.

Kami berbincang cukup lama, terlebih ketika beberapa teman kami menghampiri backstage dan menyapa dengan hangat.

Di sebelahku Juan tampak memainkan ponselnya, lelaki itu tak banyak bicara sejak tadi. Bahkan kami belum sempat mengobrol—selain di atas panggung.

Aku menyenggol bahunya pelan, ia menoleh padaku dengan kedua alisnya terangkat.

"Apa?" katanya bingung.

"You okay?" tanyaku.

Ia menjawab dengan anggukan, namun setelahnya ada helaan napas berat yang membuatku mengerutkan kening.

"Kenapa? Lo ada masalah?" tanyaku lagi, sungguh kali ini aku sangat penasaran.

Ia menyodorkan ponselnya di atas pangkuanku, supaya aku dapat melihat apa yang ada di sana.

Ternyata, rentetan pesan dengan bahasa yang kurang enak dibaca dari kontak bernama "Ibu Amel" berhasil menyita waktu Juan hingga lelaki itu tampak diam dari tadi. Lelaki itu tampak gusar, baru kali ini kulihat raut itu di wajahnya. Aku mengelus bahunya lembut, menatap matanya berusaha menenangkan tanpa membuatnya lebih panik.

Juan menatapku, "Gue harus cari dia."

"Iya. Lo butuh ditemenin?" tanyaku menawarkan bantuan.

Dia menggeleng, namun tangannya bergerak menggenggam tanganku erat.

"Lo langsung pulang bareng Mahen, ya? Jangan mampir kemana-mana. Sorry, gue gak bisa anter lo pulang."

"Gue harus cepet temuin dia, gue takut banget dia kenapa-kenapa." sambungnya dengan terburu-buru melepas jas untuk diganti dengan jaket kulitnya.

Aku mengangguk, ternyata bantuanku tak banyak merubah keadaan Juan.

•turnintoastrangers•

Aku duduk di kursi penumpang sedang Mahen sibuk menyetir di sampingku. Selain Juan, manusia satu ini juga tampak aneh hari ini. Ia terlihat tidak bersahabat dengan Juan dan keduanya tampak saling menghindar malam ini.

"Lo kenapa sih? Gue ada salah?" tanyaku sudah tak tahan lagi.

"Gue tadi sempet ngobrol sama Juan waktu lo lagi ganti baju. Meskipun dia temen gue, tapi dia anjing Clair!"

Aku terkejut dengan umpatan yang diberikan Mahen untuk Juan. Mahen memang sudah sering mengumpat tapi kali ini mengapa umpatannya ditujukan untuk Juan? Kenapa?

"Dia cuma mau manfaatin lo, kan?" lanjutnya kini menatapku tajam.

Aku menelan ludah. Apakah Mahen tahu? Tidak, tidak mungkin Juan mengungkapkan secepat ini pada Mahen.

"Gue tanya ke dia tentang hubungan dia sama lo, tapi dia jawab kalau dia cuma mau nikmatin masa muda? Si anjing!"

Mahen memukul kemudi dengan cukup keras, membuatku memejamkan mata. Disaat seperti ini aku memilih untuk memadamkan emosiku secepat mungkin agar jangan sampai beradu dengan milik Mahen. Lelaki ini jika sudah marah akan sangat mengerikan.

"Terakhir kali lo deket sama Jefri lo dibohongin abis-abisan. Lo sakit hati berbulan-bulan bahkan sampai ganggu hidup gue banget! Tapi dengan gobloknya lo baikan sama dia dan gue pikir itu kegoblokan lo yang terakhir. Sekarang lo mau sama Juan? Dia sama anjingnya kaya Jefri! You deserve better!"

Mahen tampak puas memarahiku sepanjang jalan tanpa henti. Aku menundukkan pandanganku tanpa berani sedikitpun melirik ke arah Mahen yang masih dikuasai emosi.

"Maaf," kataku pelan.

"Ngapain lo minta maaf sama gue sih?! Lo harus minta maaf ke diri lo sendiri." jawab Mahen ketus.

"Gue lagi bantu Juan. Mungkin buat sekarang gue belum bisa cerita ke elo tentang kesepakatan apa yang gue bikin sama Juan , tapi gue janji gue akan cerita, maybe oneday."

"Kata maaf yang tadi itu emang buat lo, maaf kalau selama ini gue ganggu hidup lo." lanjutku tak tahan menahan tangis yang tak seharusnya keluar. 

Selama belasan tahun berteman dengan Mahen, baru kali ini ia benar-benar dapat membuatku terdiam karena ucapannya. Bahkan ucapannya dapat dengan tepat menembus jantungku. Aku tidak marah, karena sepenuhnya perkataan Mahen benar. Entah, mungkin hatiku saja yang malam ini tidak bisa diajak berkompromi.

•turnintoastrangers•

Keluar dari mobil Mahen, lelaki itu mengekoriku bahkan sampai ke dalam kamar. Aku membiarkannya mengikutiku, sedang aku kini sudabmh terduduk dan tak bisa menahan tangis. Bayangan mengenai bagaimana masa lalu yang seharusnya dapat menjadi pembelajaran bagiku ternyata belum dapat sepenuhnya menyadarkanku.

Mahen menatapku sendu, ia tak berucap sedikitpun. Ia tahu apa yang harus ia lakukan jika aku seperti ini. Dia hanya harus duduk dan menemaniku hingga aku selesai menangis.

Sepuluh menit berlalu, aku masih mencoba mengatur napasku yang tersenggal akibat tangisan sialan ini. Mahen kini ikut duduk di lantai dan menepuk bahuku pelan, mencoba menenangkanku dengan caranya.

"Udah?" tanyanya setelah tahu aku lebih tenang.

Aku mengangguk, merapihkan poniku yang pasti sangat berantakan kali ini. 

"Gue balik dulu, Siska minta jemput. Jangan buka HP malem ini, langsung istirahat aja. Oke?"

Lagi-lagi aku menurut pada lelaki yang tampak akan bergegas dari posisinya. Sialan, hari ini aku harus kalah oleh Mahen.

BONUS

/mahen nungguin clairy nangis/

/mahen nungguin clairy nangis/

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
turn into a strangers. (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang