Dua bulan berlalu setelah perjalanan kami ke Boyolali mencari kitab suci, eh jembatan suci. Mahen masih menjadi Mahen yang bucin dan aku sedang dihadapkan oleh cobaan jerawat yang meradang di wajahku. Sudah jelek, makin buruk rupa pula aku.
Dia Nita, sahabat sekaligus teman sebangkuku jika sedang tidak duduk bersama Mahen. Aku dan Nita selalu satu kelas di SMA, dia orang yang rajin, ambis, dan sedikit cerewet kalau sudah berbicara mengenai tugas sekolah. Perempuan dengan tinggi 169cm itu sedang duduk menghadap ke mejaku, sembari menyalakan sebuah kipas portabel yang baru hari ini aku lihat.
"Beli dimana? Gemes banget bisa ditaruh meja gitu Ta," tanyaku padanya.
"Tetangga rumah, mau nitip? Murah aja loh cuma dua lima." jawab Nita antusias.
Aku mengangguk kemudian mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas, mencari target bernama Mahen yang ternyata sedang berdiri di samping pintu menyeruput susu moka.
"Hen! Beli ini dong. Patungan yuk, gue ceban sisanya lo. Lumayan buat kipasan di meja." kataku mengangkat kipas milik Nita ke udara, supaya Mahen melihat.
Mahen mengamati dari jauh, dia memang menderita rabun meskipun tidak parah. Kemudian ia mengangguk.
"Oke pesen aja." jawabnya tanpa ekspresi.
"Waduh, mulai membeli peralatan rumah tangga, nih!" itu suara heboh dari teman sekalasku yang tak pernah absen mengolok-olok kami.
Aku dan Mahen sudah sangat biasa dijodoh-jodohkan seperti itu oleh teman-teman. Ya apa lagi kalau bukan karena kami yang berteman sejak kecil. Rumah kami juga masih sekampung, jadi aku sering juga nebeng Mahen untuk pulang pergi ke sekolah. Tak jarang juga beberapa kakak kelas mengira kami ini sepasang kekasih karena aku yang sering menunggu Mahen berlatih basket di lapangan seusai sekolah. Padahal aku menunggu bukan karena ingin menonton Mahen, tapi karena aku mau nebeng pulang, hehehe.
Kami tidak akan pernah saling suka, jika itu yang kalian harapkan. Aku sudah tahu semua kebusukan Mahen, tampangnya saat bangun tidur, bau bangkai kaos kakinya, berisik suara dengkurannya, kebucinannya, dan aku juga menjadi saksi bahwa dia pernah berselingkuh dari pacar sebelumnya. Begitu juga dengan Mahen yang sudah mengetahui kebusukanku, hahaha. Tidak perlu dijelaskan lah ya.
Seperti sekarang, hari ini aku tidak membawa motor dan berniat ingin nebeng Mahen. Tetapi syaratnya adalah menunggu dia selesai latihan basket. Aku tidak masalah saja, saving money for a better life. Sudah dua tahun aku jarang sekali nebeng berangkat sekolah, karena Mahen itu morning person sedangkan aku night person sehingga kami tidak berjodoh di pagi hari. Hobiku telat, sedangkan hobi Mahen menunggu satu persatu bangku di kelas terisi penuh.
Aku hampir setiap pagi selalu bermain kucing-kucingan dengan satpam sekolah kami. Hahaha, tapi aku juga akrab dengan satpam sekolahku yang bernama Pak Eri ini. Buktinya sekarang aku sedang berada di pos sambill menikmati camilan yang disediakan untuk satpam sekolah kami. Meskipun tiap pagi kami seperti Tom and Jerry, siangnya kami bersahabat seperti Spongebob dan Patrick. Obrolan kami selalu nyambung, apalagi jika anak dari Pak Eri tiba-tiba datang minta uang kepada bapaknya. Pasti aku akan menggodanya.
"Dek, kamu mau gak sama aku?" tanyaku pada siswa SMK kelas 10 itu.
Dia menggeleng kemudian pergi setelah maksud dan tujuannya tercapai.
"Pak, gimana sih anaknya gak mau sama aku!" kataku pada Pak Eri.
Pak Eri yang berkulit hitam dengan tahi lalat di dagunya tersenyum geli.
"Udah punya pacar dia." jawabnya.
Kami lanjut mengobrol tentang kehidupan, kami suka berbagi cerita mengenai kehidupan masing-masing dan saling menyemangati di tengah candaan dan kekurangajaranku. Aku menengok ke arah lapangan, tampak Mahen berjalan ke arahku. Pertanda latihannya sudah selesai.
"Ayo." kata Mahen menjinjing tasnya minta dibawakan.
Aku berpamitan kepada Pak Eri dan segera berlari membawa tas Mahen yang sama sekali tidak berat, dia memang jarang membawa buku paket. Mahen keluar dari parkiran dan aku siap naik motor Mahen yang jauh lebih tinggi dari motor Juan, agak pegal jika membonceng. Apalagi Mahen suka mengebut, ew.
"Loh, Hen kok belok. Mau kemana?" kataku dari jok belakang motornya.
"Kemarin lu minta ditraktir kan."
Waduh rezeki bidadari di siang bolong. Mahen ini salah satu orang tersullit untuk diminta traktiran. Lagi pula, tidak ada perayaan apapun aku minta ditraktir, ya mana dia mau. Tapi dia baik kok, buktinya mau aku tebengin hahaha.
"Lo apa?" tanyaku pada Mahen saat kami sudah sampai di warung bakso legendaris di kota kami.
"Bakso komplit dua, es buah satu." jawab Mahen kemudian sibuk mencari tempat duduk.
Jangan kaget dengan porsi makan Mahen ya, dia memang serakus itu. Tak lama pesanan kami datang. Kami mengobrol seadanya dan berakhir dengan Mahen yang ikut menghabiskan es buah milikku. Perut dia itu tidak ada limitnya.
"Dapet kabar dari Juan gak? Dia putus sama pacarnya."
Heh? Apa-apaan ini? Bukankah terakhir kami bertemu, dia bilang tidak bisa mengantarku pulang karena harus mengantar Nadia ke bandara? Bagaimana bisa malah putus?
"Dia ke bandara karena bisa dibilang itu kewajiban terakhir dia ke Nadia. Pisahnya baik-baik juga kok. Lo kenapa kaya kaget gitu dah, emang dia gak cerita sama lo?"
Kalau cerita pasti aku tidak terkejut dong Mahen. Aku dan Juan bahkan tidak berkirim pesan setelahnya. Pertemanan kami memang terjalin dikala ada butuhnya saja. Haha.
KAMU SEDANG MEMBACA
turn into a strangers. (END)
ChickLitApakah akan berbeda jika "kita" di antara aku dan kamu tidak pernah ada? Di sinilah aku, untuk mengingatkanmu tentang bagaimana kita menjadi orang asing. Would it really make a difference if we didn't exist? Here I am, to remind you how we turn into...