Mahen keluar dari kamarnya dengan kantuk yang masih mendera. Ia dibangunkan oleh Ibunya, diberitahu bahwa ibunya Clairy datang mencarinya.
"Halo Bu, ada apa nih ke sini sore-sore?" tanya Mahen dengan berjalan sempoyongan ke arah ibu dari sahabatnya itu.
"Mahen, maaf kalau Ibu ganggu tidurnya. Tapi Clairy gak bisa dihubungi dari tadi. Ibu cek jadwal kuliahnya, dia seharusnya sudah kelar di jam dua belas. "
Mahen memaksakan matanya untuk terbuka, otaknya untuk bekerja, dan tubuhnya untuk bangun.
"Bu, tapi kan Clairy bisa aja main kan? Lagian Clairy juga udah gede. Bukan bayi kemarin sore lagi."
Ibu dari Clairy tampak membenarkan posisi duduknya. Ia mencoba menjelaskan tentang apa yang terjadi pada Mahen. Ia menceritakan bahwa sebenarnya kemarin mereka sempat bertengkar dan Clairy maupun Juan juga sepertinya ribut karena hal itu.
"Ibu udah coba ke apartemen Clairy?" tanya Mahen masih berpikir positif.
Perempuan itu mengangguk. Hal selanjutnya yang akan dilakukan Mahen adalah meninggalkan kedua ibu-ibu itu dan pergi ke kamarnya untuk mencari ponselnya. Tapi sebelum ia beranjak, Ibu dari Clairy berkata,
"Juan juga tidak tahu Clairy dimana. Ibu sudah menghubungi dia."
Mendengar itu, Mahen menutup matanya. Napasnya tertahan. Clairy tidak pernah sekalipun mematikan ponselnya, seumur hidupnya perempuan itu akan terus mengabari kemanapun ia akan pergi. Terlebih, Clairy tidak memiliki banyak teman. Mustahil bagi Clairy untuk pergi sampai tidak mengabari seperti ini. Jika tidak ada alasan khusus, ia pasti akan menghubungi ibunya menggunakan nomor ponsel teman-temannya yang sedikit itu.
"Oke Ibu tenang. Sekarang Ibu pulang, biar Mahen yang cari Clairy, ya?"
Setelah ditenangkan oleh Ibu dari Mahen, akhirnya perempuan itu pulang dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang.
•turnintoastrangers•
"Ju, gue udah gak mau ikut campur hubungan lo berdua setelah gue tahu lo ngelarang Clairy buat ketemu sama gue. Tapi Bangsat, cewek lo ilang sekarang. Barusan ibunya dateng ke rumah gue." kata Mahen panjang lebar dengan ponsel yang menempel di telinganya.
"Gue udah dikabarin, gue juga gak bisa ngehubungin dia. Biarin dulu, dia mungkin lagi pengen sendiri."
"Anjing! Kalau dia ternyata kenapa-kenapa gimana, Tolol?! Lo pacarnya bukan sih?!"
"Terus gue bisa apa Hen? Gue gak di sana!"
Sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Mahen. Bukan itu jawaban yang ingin ia dengar dari Juan. Laki-laki itu terlampau brengsek dan sama sekali tidak terdengar khawatir.
Mahen menyambar jaket jeans miliknya, dan juga kunci motor yang digantung di tempat biasa. Dengan buru-buru ia keluar mengendarai motornya, tampak langit begitu mendung. Mahen buta dengan informasi mengenai keberadaan Clairy. Saat ini yang terpenting adalah ia berusaha terlebih dahulu, sekilas wajah Juan muncul di pikirannya.
"Bangsat!" gumam Mahen.
•turnintoastrangers•
Air di dalam kolam renang tampak tidak lagi tenang ketika hujan ikut memenuhi volume kolam. Baik Clairy maupun Ucha kini sedang mengambang menatap langit kota yang begitu kelabu.
"Setenang ini hidup gue kalau kupingnya di bawah air" celoteh Ucha yang dapat didengar oleh Clairy.
Clairy tidak bisa untuk tidak tertawa. Ucha sungguh tidak pernah terlihat sengaja membuat lelucon untuknya, tapi apapun yang keluar dari mulutnya bisa membuat Clairy tertawa.
"Apa sih lu Cha. Gak jelas banget." komentar Clairy masih di posisinya.
"Lo beneran gak mau ngehubungin keluarga lo?"
Pertanyaan Ucha membuat Clairy membuka matanya. Ia menurunkan kakinya ke bawah air, berjalan menuju tepian kolam renang.
Sebenarnya ia khawatir. Saat ini pasti ibunya sedang sibuk mencarinya. Pasti ibunya akan meminta bantuan Mahen dan Mahen akan dengan sigap mencarinya. Bukan diri Clairy menjadi manusia merepotkan.
"Cha, gue pinjem ponsel lo."
Clairy mengetikkan pesan melalui instagram miliknya. Ia akan mengirimkannya pada Mahen.
Mahen sayangku, gue baik-baik aja. Wkwk. Bilangin ibu, besok gue balik.
Begitulah kira-kira isi pesan yang Clairy kirimkan pada Mahen. Lalu Clairy melanjutkan kegiatan berenangnya atau lebih seperti menenggelamkan diri karena sebenarnya Clairy tidak bisa berenang.
Hujan turun semakin deras, tidak memberi kesempatan lagi pada Clairy dan Ucha untuk bersantai. Ditambah, ini memang sudang hampir petang. Tak lama, keduanya memilih untuk menyudahi kegiatan di dalam air mereka, menyelamatkan diri sebelum tersambar petir dan mati gosong di usia muda.
•turnintoastrangers•
Mahen membaca pesan dari Clairy saat dirinya tengah antre untuk mengisi bensin. Ia memutar bola matanya.
Benar saja, perempuan itu pasti akan menghubungi siapapun jika dia baik-baik saja. Clairy tidak akan tega untuk tidak memberi kabar pada keluarganya. Ia tahu betul sifat Clairy.
Dengan cepat ia memberikan informasi itu kepada ibunya agar dapat disampaikan pada Ibu Clairy. Mahen mengedikkan bahu, setidaknya ia tidak harus kehujanan malam ini mencari Clairy. Mahen yakin Clairy dapat menjaga dirinya.
Yang jadi pematik emosinya saat ini adalah laki-laki bernama Juan. Terkadang Mahen menyesal karena membiarkan Juan dan Clairy bertemu dan menjadi seperti saat ini. Mahen hanya tidak ingin Clairy mengalami patah hati yang lain lagi. Karena Mahen tahu, patah hati pertamanya disebabkan oleh cinta pertamanya. Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya.
Jika ada perempuan yang ingin ia lindungi saat ini selain ibunya, maka perempuan itu adalah Clairy. Karena Mahen ingat masa-masa itu, ketika seorang gadis kecil berlari dengan telapak kaki tak beralas, mengetuk pintu rumahnya sambil menangis meminta pertolongan.
"Mahen, tolong. A-ayahku nendang perut Ibu!" teriak gadis seumurannya meminta pertolongan untuk ibunya yang sedang mengandung.
Tak jarang Clairy kecil menginap di rumahnya, karena ia takut dengan suara gaduh ketika kedua orangtuanya bertengkar. Raut ketakutan Clairy masih terekam jelas di memorinya.
Hal itulah yang membuat Mahen begitu tidak rela jika Clairy disakiti. Ia akan berada di garda terdepan bagi siapapun yang berani melukai sahabatnya.
Tidak ada yang tahu juga bahwa selama empat tahun terakhir Clairy rutin konsultasi kepada seorang psikolog mengenai sakit kepalanya. Clairy terus merasakan sakit kepala namun dokter manapun mengatakan bahwa dirinya sehat. Satu yang tidak, yaitu mentalnya.
Mahen yang mengantar Clairy saat akhirnya Clairy dirujuk untuk menemui seorang psikolog. Teringat jelas raut bingung sahabatnya. Clairy bersikeras mengatakan bahwa ia normal, ia tidak merasa trauma dengan apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya. Namun jauh di dalam dirinya, perempuan itu telah menumpuk segala kekhawatiran sendirian, tanpa ia sadari.
"Gue tahu lo pasti baik-baik aja." bisik Mahen di balik helmetnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
turn into a strangers. (END)
ChickLitApakah akan berbeda jika "kita" di antara aku dan kamu tidak pernah ada? Di sinilah aku, untuk mengingatkanmu tentang bagaimana kita menjadi orang asing. Would it really make a difference if we didn't exist? Here I am, to remind you how we turn into...