Akhirnya Juan mendatangi rumahku. Ya, bukan lagi membuat janji temu di rumah Mahen.
Siang ini dia memintaku menemaninya menukar sejumlah uang ringgitnya menjadi rupiah. Aku yang tak punya giat apapun mengiyakan ajakannya.
Aku sangat penasaran sebenarnya. Apa yang membuat Juan akhirnya menghubungiku lagi? Apa yang dia lalui selama ini? Apa dia baik-baik saja? Karena sebagai teman aku sedikit kepo dan jujur khawatir.
Deru motornya terdengar tepat saat aku sisa memilih alas kaki yang harus kupakai. Kali ini aku memilih flatshoes.
Lambaian tanganku membuat fokusnya pada ponsel teralihkan, ia ikut tersenyum membalasku.
"Lama banget gak kasih kabar!" kataku memukul pundaknya bercanda.
"Hehe, kangen ya?" balasnya menyengir kuda.
"Dih, kagak lah!" aku menaiki motornya dan tak lama kami meninggalkan halaman rumah.
Setelah urusan penukaran uang selesai, Juan dan aku keluar dari gedung itu dengan langkah santai. Sore sudah menyapa.
"Cari sunset, yuk?" ajaknya sembari memasang helm di kepalanya.
Karena aku tahu pasti jika sunset identik dengan pantai,
"Gue gak bawa jaket anjir! Mana pake flatshoes lagi!"
Kembali dia tertawa, lalu mengatakan beberapa kalimat yang intinya tidak masalah dengan penampilanku.
"Ajak Mahen coba, kali aja dia bisa."
Aku mengangguk kemudian memainkan ponselku mengetik pesan pada Mahen. Tak lama ia membalas bahwa ia akan menyusul.
Setelah pesan Mahen sampai pada Juan, kami memilih berangkat terlebih dahulu.
"Kita makan dulu, sambil nunggu Mahen dateng. Gak papa kan?"
Aku mengangguk. Ya tidak apa-apa, lagi pula kami terlanjur berhenti di warung mie ayam.
Menunggu penjual menyiapkan pesanan kami, raut Juan tampak gelisah. Seperti bersiap akan sesuatu tapi ia ragu. Aku yang peka akan gerak-geriknya lantas bertanya,
"Ju? Gimana beberapa bulan ini? Ada yang mau lo ceritain gak sama gue?"
Perkataanku tepat sasaran. Ia bercerita banyak hal, mulai dari hari terakhir kita bertemu dan ajakan tak masuk akalnya kali ini.
"Gue udah gak kuat Clair. Please, lo cuma perlu jadi cewek pura-pura gue doang. Gak perlu jadi pacar juga, let's say HTS. Lo mau kan nolongin gue?"
Tidak masuk akal, kepalaku pening bahkan saat semangkuk mie ayam di hadapanku sama sekali belum tersentuh.
Tapi di sisi lain aku tidak tega mendengar ceritanya. Juan tampak sangat membutuhkan bantuanku.
Aku membuang napas kasar, benci dengan hatiku yang tak tega-an ini.
"Ya udah, gue bantu. Tapi cuma sampai dia lepas dari lo."
Juan tersenyum dan beberapa kali ucapan terima kasih keluar dari mulutnya.
"Udah, stop terima kasihnya! Dapet bedah rumah lo? Makasih mulu,"
Tak butuh waktu lama setelah mie ayam kami habis dan beberapa kesepakatan terjadi, suara klakson motor milik Mahen terdengar. Oh, ternyata kali ini Siska ikut bersama sang pujaan hati. Maklum saja, dia itu masuk ke dalam tim cheerleaders di sekolahnya. Sibuk.
Dalam beberapa kesepakatan tadi, ada hal yang harus aku tanamkan sejak awal : let's not fall for him. Jika boleh jujur, aku takut apa yang aku perankan nantinya justru akan menjerumuskanku ke dalam hubungan asmara yang memuakkan. Kenapa memuakkan? Ya, karena susah payah lima tahun aku menghindari segala hal yang berhubungan dengan asmara. Menurutku hal itu hanya membuat lelah hati dan fisik. Asmara membuat diriku menjadi gila tak tertolong.
KAMU SEDANG MEMBACA
turn into a strangers. (END)
ChickLitApakah akan berbeda jika "kita" di antara aku dan kamu tidak pernah ada? Di sinilah aku, untuk mengingatkanmu tentang bagaimana kita menjadi orang asing. Would it really make a difference if we didn't exist? Here I am, to remind you how we turn into...