Mahen membawa mobilnya menuju rumah Clairy dan sangat jarang hal ini terjadi. Terlebih ia menjemput Clairy, biasanya ia meminta Clairy yang menghampirinya.
Laki-laki itu menyunggingkan senyumnya dan membuka tangannya lebar-lebar.
"Congrats ya..." katanya ketika Clairy sudah masuk ke dalam pelukannya.
"Lo hebat deh,"
Berbeda dengan Clairy, Mahen sudah masuk kampus unggulan di kota ini melalui jalur lain. Sehingga, Mahen sangat paham perasaan Clairy ketika perempuan itu belum juga diterima sedangkan teman-temannya yang lain sudah.
"Mau ajak gue kemana? Males dandan."
kata Clairy membenarkan hoodienya."Beli Mekdi aja, muka kaya begitu malu juga gue ngajak ke tempat fancy"
"Sianying."
Keduanya sudah berada di dalam mobil milik Mahen, lengkap dengan playlist khusus yang memang Clairy ciptakan.
"Udah bilang ke Juan?"
"Gak diangkat telfonnya."
"Kerja kali."
"Maybe."
"Kenapa malah sedih?"
Clairy memainkan ponselnya. Tidak tahu sedang membuka apa, hanya saja ia malas menjawab pertanyaan Mahen. Ia malu untuk mengakui bahwa ia ingin Juan tahu bahwa ia berhasil.
"Lo kan yang bilang gue gak boleh cuek jadi perempuan."
"Betul, terus?" tanya Mahen meminta kelanjutan.
"Gue nyoba, tapi ketika gue berharap lebih malah jatuhnya sakit sendiri Hen."
"Lo sedih Juan gak bisa jadi orang pertama yang lo kabarin?"
"Iya, apalagi orang selanjutnya malah elo. Makin sedih kan gue, kaya anjrit kenapa babi ini nyelametin gue?"
Mahen menyikut kepala Clairy kesal.
"Untung gue tuh baik, gue inget apapun tentang lo. Lo berak aja gue tahu jadwalnya."
Clairy mendengus mendengar fakta yang tak dapat ia hindari.
Sesampainya di restoran cepat saji, Mahen memberikan kupon bebas memilih apapun yang Clairy mau dengan syarat harus dihabiskan—meskipun jika tidak habis pun ada Mahen yang siap menghabiskan.
Keduanya memilih duduk di pojokan demi mendapat tempat paling nyaman untuk sekadar adu mulut.
Dunia seperti tidak ada tantangan jika Mahen dan Clairy tidak ribut.
"Sausnya?"
"Ambil sendiri lah. Udah gue jemput, gue bayarin, masih aja nyuruh gue yang ambilin saus. Ratu Elizabeth lu?"
Kan? Lihat sendiri.
Mahen menyantap kentang gorengnya dan nugget. Dia akhir-akhir ini menjaga pola makan. Biasanya ia akan memesan ayam dan es krim juga.
"Diet lu?"
"Hmm. Kemaren basket berat banget napas gue."
"Ngerokok kan lu?!"
"Sembarangan."
Sebenarnya pertanyaan Clairy hanya gurauan karena ia tahu Mahen tidak seperti itu. Ia tidak merokok, mabuk, dan sex bebas. Mahen laki-laki baik, hanya saja memang sering selingkuh dan sering mengajaknya ribut.
•turnintoastrangers•
Di lain kota, Juan sedang disibukkan dengan pekerjaannya. Terlebih, kantor yang ia tempati sekarang belum sepenuhnya jadi sehingga banyak hal yang masih perlu perhatiannya.
Selesai dengan semua urusannya, Juan berniat membuka ponselnya yang ternyata mati kehabisan baterai.
Menggeser kursi, ia menancapkan kabel charger dan menunggu sampai ponselnya dapat dinyalakan.
Hal pertama yang ia cek setelah ponselnya menyala ada beberapa panggilan dari kekasihnya.
Yang kedua, pesan dari Mahen yang mengatakan bahwa Juan harus segera memberi kabar pada Clairy.
Belum jadi ia membuka pesan, ia terusikkan dengan update story milik Mahen. Maklum, kontak yang tidak ia sembunyikan hanyalah Mahen, Clairy, dan keluarganya. Makanya jika ada update-an milik kontak itu ia akan langsung melihatnya.
Juan menarik napas berat. Melihat Mahen sedang bersama dengan kekasihnya. Terlebih dengan keterangan di bawah sana, Juan lagi-lagi meninggalkan satu momen penting dalam hidup kekasihnya.
"Mas Juan, armada tiga bannya pecah. Mas Indra minta diganti armada karena lokasinya gak memungkinkan buat cari bengkel."
Kembali ponselnya ia letakkan di meja. Ia segera bergegas menghampiri karyawannya di luar ruangan untuk dapat berbicara langsung via telepon dengan lelaki bernama Indra.
"Mas Juan, makan belum? Saya beliin makan di depan ya?" tanya Parmadi seraya memberikan ponselnya pada Juan.
Juan mengangguk menyetujui ide Parmadi. Jika diingat-ingat lagi, dia hanya makan tadi pagi sedangkan saat ini hari sudah hampir gelap.
Juan memeriksa deretan nama drivernya yang tidak ada jadwal dan nihil, semua memiliki jadwal perjalanan.
"Semua full. Tinggal gue sama Parmadi. Dia gak bisa bawa mini bus. Yaudah, gue yang ke sana. Penumpang aman kan? Gak ada yang luka?"
"Tidak Bang, semua aman cuma ya ini ada yang kebelet ke toilet tapi gimana ya, kita deket hutan begini."
"Pikirin jalan keluarnya, gue berangkat."
Dengan pundak yang sudah sangat berat dan mata yang lelah ia mengambil kunci dan bersiap untuk menyusul Indra ke antah berantah.
"Par, gue berangkat!" teriak Juan pada Parmadi yang sedang berdiri di dekat gerobak nasi goreng yang memang biasa membuka lapak di seberang kantornya.
"Mas, makan dulu lah!"
"Gak ada waktu, lo jangan lupa kunci kantor ya!"
Parmadi mendengar balasan bosnya hanya mendesah pelan.
"Kerja mulu tu anak muda, gak pernah inget makan." gumamnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
turn into a strangers. (END)
ChickLitApakah akan berbeda jika "kita" di antara aku dan kamu tidak pernah ada? Di sinilah aku, untuk mengingatkanmu tentang bagaimana kita menjadi orang asing. Would it really make a difference if we didn't exist? Here I am, to remind you how we turn into...