how hurt is that?

99 11 0
                                    

Mahen sama sekali tidak membiarkan Clairy memainkan peran perempuan yang baru saja dipatahkan hatinya. Ia tidak mau sahabatnya memikirkan Juan yang belum tentu memikirkan keadannya saat ini. Kalaupun Mahen harus menjadi badut malam ini, ia siap lahir batin.

Contohnya saat ini, di dalam mobilnya ia memutar lagu anak-anak yang membuat Clairy sedikit kesal namun tak henti-hentinya ia tertawa karena Mahen ikut mengikuti lagu yang sedang berputar.

"Abang tukang bakso marilah kemari, Mahen mau beli!"

Kemudian keduanya tertawa lagi. Clairy memegang perutnya tak tahan.

"Tidak pakai saus, tidak pakai sambal. Juga tidak pakai KOL! Hahahah! Can you just stop making me laugh?"

Gelak tawa keduanya perlahan sirna setelah tetesan air hujan membasahi kaca mobil Mahen. Fokus Clairy teralihkan, dibukanya kaca mobil yang sebelumnya menjadi sandaran kepalanya. Ia mengeluarkan telapak tangannya menghadap ke arah langit.

"Jangan macem-macem, nanti tangan lo kecomot mobil orang." kata Mahen memperingatkan.

"Iya," balas Clairy kemudian menutup kaca mobil dan hanya memberikan sedikit ruang agar udara segar masuk.

Tak lama, mereka akhirnya sampai di lokasi yang sangat Clairy ingin kunjungi. Hanya saja, ia sangat ingin berkunjung bersama Juan kala itu, namun laki-laki itu tidak pernah sempat dan sekarang mereka tidak akan pernah memiliki kesempatan.

Sebuah pameran lampion yang terletak di kaki gunung dekat kota mereka. Pameran itu dibuka tiap akhir tahun dan selalu ramai pengunjung.

"Pake jaketnya. Gue bilang juga apa, dingin."

Malam ini kabut sedang turun, mungkin itu juga kenapa mereka bertemu gerimis di jalan tadi. Sebenarnya tidak terlalu dingin, hanya saja mereka terbiasa dengan suhu panas di kota.

"Makasih udah ajak gue kesini."

Mata Clairy berbinar karena ia ingin sekali datang ke pameran lampion. Mahen memberikan satu tiket padanya, tiket yang ia pesan langsung dari orang dalam. Karena jika tidak, mereka tidak akan mendapatkan tiket yang selalu habis terjual tiap malamnya.

Keduanya mulai masuk ke gerbang besar berwarna putih dengan lampion cantik yang mengelilingi sekitarnya. Clairy tak pernah melepas senyumnya sedetikpun. Bahkan hari ini spesial karena ada pertunjukan air mancur yang akan digelar. Mereka datang di waktu yang tepat.

"Kalau gue gak putus hari ini, mana bisa gue lihat lampion sama air mancur. Ya kan Hen?"

Mahen tertawa geli mendengar perkataan Clairy. Putus atau tidak, Mahen tetap akan memberikan tiket itu pada Clairy entah dengan siapa ia datang.

"Foto di sana yuk!" Clairy menunjuk ke arah jembatan yang berada cukup jauh dari mereka. Selain sepi, tempat itu juga agak ngeri.

"Gue nanti dikira cabul kalau ngajak lo ke sana. Sepi begitu tempatnya."

"Lah tapi kan itu tetep area taman. Lihat, ada lampionnya juga. Ayo!" bantah Clairy dengan penuh semangat.

Tangannya ditarik begitu saja oleh Clairy. Diajaknya berlari menuju lokasi yang ingin ia datangi. Clairy sebenarnya bukan tipe perempuan yang suka difoto, bahkan ia sangat jarang berselfie seperti teman-temannya yang lain.

Mahen berhenti ketika Clairy juga telah menghentikan langkah kakinya. Meskipun Mahen kurang jago dalam mengambil gambar, tapi Clairy hanya memilikinya untuk ia jadikan sebagai juru kamera.

"Berdiri di sana."

"Hadap depan aja"

"Nah noleh lu, noleh"

"Noleh ke kanan lah bego, ke kiri mana dapet cahaya."

"Nih lihat dulu."

Setelah diberi arahan berbagai pilihan gaya oleh Mahen, ia berjalan mendekati temannya yang tampak sudah lelah diminta untuk memfotonya.

"Bagus bagus."

Clairy melihat jam di tangannya, sudah saatnya pertunjukan air mancur dimulai.
Kembalu ditariknya Mahen namun kali ini ujung jaketnya yang menjadi sasaran.
Berbondong-bondong pengunjung yang semula menyebar di seluruh taman kini menuju ke area kolam yang disekelilingnya terdapat tempat duduk berundak yang disiapkan untuk para pengunjung yang telah membeli tiket pertunjukan.

Clairy memilih tempat duduk paling belakang yang berarti paling tinggi diantara yang lain. Sempurna, pikirnya. Pertunjukan hanya berlangsung selama dua puluh menit dengan alunan musik, dan permainan lampu yang menambahkan kesan menakjubkan membuat Clairy tak hentinya tersenyum.

"Woahh" matanya memandang ke atas, mengikuti arah air itu dimainkan.

Mahen mengikuti binar mata perempuan di sampingnya,

"How hurt is that? Sampai lo sebegitu pengennya buat kelihatan baik-baik aja?" gumam Mahen kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tahu Clairy tak mungkin tak mendengar apa yang baru saja ia katakan.

"Gue udah nangis selama perjalanan pulang dari rumah dia sampe lo tadi ngetuk pintu kamar mandi gue. Gue rasa udah cukup untuk menangisi semuanya, udah cukup buat gue kasih kesempatan hati gue untuk sedih. Gue bukan orang yang betah buat sedih, lo tahu kan?"

turn into a strangers. (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang