maju kena, mundur kena. mending terbang.

59 9 0
                                    

"Clair saya minta maaf,"

"Rencana lo gak asik tahu gak. Gara-gara lo gue jadi ribut sama nyokap gue!" bentak Clairy di hadapan muka Abimana.

Persetan dengan ramainya kantin fakultas di jam makan siang. Clairy tidak peduli dengan reputasinya, pandangan orang-orang terhadapnya, bahkan jika setelah ini ia dijambak Ocha karena telah membentak kekasihnya pun Clairy sungguh tidak peduli.

"Tapi bisa kamu ketemu Bima sebentar saja? Biar dia juga minta maaf ke kamu."

"Kak! Gue udah bilang gak mau. Gue udah punya pacar, lo tahu itu, kan? Semalem gue ribut sama pacar gue gara-gara Bima sialan yang bahkan gue belum pernah tahu orangnya!"

Banyak pasang mata mulai penasaran dengan apa yang terjadi. Ucha yang duduk di sebelah Clairy mulai merasakan ketidaknyamanan pun langsung angkat suara.

"Halo Kak Abim, kenalin saya Ucha temennya Clairy. Emmm, ada baiknya kita gak ribut di sini karena banyak mahasiswa lain. Saya bakal bawa Clairy pergi dari sini, jadi mungkin Kak Abim bisa stop ganggu dia dulu? Jujur dia gak lagi mood hari ini. Tolong, ya?"

Tanpa menunggu izin dari Abimana, Ucha sudah menenteng tas Clairy dan menarik lengan temannya untuk meninggalkan kantin dan membiarkan sekali lagi banyak pasang mata mengikuti arah kepergian mereka.

"Calm down, Clairy." kata Ucha keteka mereka memilih rooftop sebagai tempat untuk lari dari Abimana.

Sebenarnya rooftop fakultasnya bukanlah tempat sempurna untuk kabur. Puntung rokok dimana-mana menandakan tempat ini sebagai sarang mahasiswa lain untuk membolos. Bisa saja mereka akan bertemu mahasiswa lainnya.

"Gue benci banget. Juan juga, dia malah pasrah-pasrah aja. Emang tai tu orang!" kesal Clairy meremas botol air mineral di genggamannya.

Setelah beberapa saat, ia berhasil mengontrol emosinya. Napasnya mulai kembali teratur. Clairy menatap ke arah atas, gerumul awan kelabu menutupi cahaya matahari di siang yang seharusnya terik ini. Ia berdiri dari duduknya, berjalan menuju dinding pembatas gedung berlantai tujuh itu.

"Gue nolak salah, gak nolak juga makin salah. Maju kena, mundur juga kena. Apa terbang aja ya gue?"

"Jaga omongan lo! Gue gak mau jadi saksi mata!" teriak Ucha dari kejauhan.

Clairy terkekeh pelan, kemudian ia berbalik menatap Ucha.

"Bolos yuk?"

Sesaat ia mengerjapkan mata, tidak yakin dengan apa yang keluar dari mulut Clairy.

"Booooleh," jawab Ucha kemudian dengan diikuti gelak tawa keduanya.

•turnintoastrangers•

Hal pertama yang ia lakukan adalah mematikan ponselnya. Hal kedua yang harus ia lalukan adalah bersenang-senang.

"Lo gak balik kost malem ini, gak papa kan?" tanya Clairy yang sedang mengendarai motornya.

"Anything for you!!" teriak Ucha dari belakang menyemangati Clairy yang sedang amburadul.

Sesampainya mereka di sebuah parkiran mall, Ucha maupun Clairy melepas helmet masing-masing. Langit semakin mendung, tapi belum sampai hujan. Sangat disayangkan, padahal Clairy ingin hujan-hujanan.

"Bills on me." bisik Clairy kemudian merangkul Ucha dan mengajaknya masuk menuju pintu di ujung parkiran.

"Asik! Galau aja lu terus tiap hari. Untung juga gue," balas Ucha dengan tawa renyah di akhir katanya.

Mulai dari berbelanja, makan siang, hingga main game dan melakukan photobox telah mereka lakukan. Clairy benar-benar ingin menghempaskan beban pikirannya. Ia hanya ingin menghilang sejenak dari dunia yang banyak menuntutnya.

Ia tidak peduli jika Juan menghubunginya, mungkin saja dia tidak akan menghubungi mengingat semalam lelaki itu dengan kurang ajarnya meninggalkan dia begitu saja.

"Lo beneran gak mau ngaktifin ponsel lo? " tanya Ucha kemudian kembali menjilat ice cream di tangannya.

"Gak. Bodo amat." balas Clairy yang sekarang sedang menikmati kursi pijat yang tersedia berbayar di sudut mall.

"Kalau Bima beneran ke rumah lo, gimana?" tanya Ucha lagi.

"Biarin, ketemu sama angin." balasnya tak ambil pusing.

Setelah sepuluh menit menikmati kursi pijat, Ucha memainkan ponselnya untuk mencari hotel yang akan mereka inapi untuk malam ini.

"Bagus nih, cuma agak jauh. Tapi liat deh, viewnya langsung gunung." Ucha menunjukkan ponselnya ke arah Clairy.

Clairy memintanya mencari hotel lain yang masih di area kota, sehingga mereka tidak harus mengendarai motor cukup lama.

"Nih, ni aja deh!" Clairy menunjuk ke arah layar ponsel Ucha.

"Oke gue booking ya."

Mengapa Clairy mengajak Ucha dan bukan teman-temannya yang lain? Hal ini karena selain Ucha juga tak kalah asik, hanya Ucha lah yang belum terdeteksi oleh radar Juan dan teman-temannya yang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengapa Clairy mengajak Ucha dan bukan teman-temannya yang lain? Hal ini karena selain Ucha juga tak kalah asik, hanya Ucha lah yang belum terdeteksi oleh radar Juan dan teman-temannya yang lain. Jika kabur dengan Ucha, ia jamin akan aman dan tidak akan ada yang bisa menemukan mereka.

Keduanya kini mulai keluar dari lift yang membawa mereka turun dari lantai teratas hingga ke tempat mereka memarkirkan motor Clairy.

Ternyata hujan. Clairy yang menyadari hal itu terlebih dahulu langsung menahan tangan Ucha yang hampir mendahuluinya.

"Hujan." katanya.

"Bjir, lumayan lo bisa menangis di tengah hujan. Cuaks!" goda Ucha dengan gaya jametnya.

"Tai." balas Clairy kemudian melanjutkan langkahnya.

Ucha melarang mereka memakai jas hujan, sesuai perkataannya tadi bahwa Clairy harus menangis di tengah derasnya hujan.

Keluar dari area parkiran, peristiwa pertama yang mereka temui adalah kemacetan yang luar biasa panjang.

"Gimana bisa nangis kalau macet begini, yang ada kita masuk angin, Cil!" teriak Clairy ketika mereka terjebak macetnya jalanan.

"Iya, yang ada gue malu sih ini. Mana udah terlanjur basah kuyup."

Baik Clairy maupun Ucha menertawakan kebodohan mereka berdua. Dari belakang, Ucha tersenyum ketika dapat mendengar tawa Clairy meskipun ia tahu beban pikiran perempuan itu tidak sepenuhnya hilang, hanya sejenak terlupakan.

turn into a strangers. (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang