"Clair, ke kota sebelah yuk cari makan malem. Mau?"
Orang gila! Jauh-jauh just for a dinner? Adrenalinku benar-benar dipermainkan jika dekat dengan manusia bernama Juan. Tahan Clair, tahan.
"Hobi banget ngajakin gue keluar malem sih," jawabku tampak masih menimbang.
"Lo pernah diajak night riding gak sama mantan lo? Cobain dulu, kalo ketagihan gue bakal tanggung jawab." ajaknya tak pantang mundur.
"Ngapain jadi nyebut mantan, sih"
"Kata Amanda mantan lo lebih cakep dari gue. Iri dong gue?"
"Lah, repot-repot si."
Aku mengiyakan ajakan Juan (lagi). Tapi dengan syarat ia harus membiarkanku bersiap-siap terlebih dahulu. At least mengambil jaket dan sepatu supaya tidak masuk angin. Laki-laki itu setuju dan kami undur diri dari rumah Mahen menuju rumahku.
Aku melepas sandal dan menatanya kembali di rak dengan rapih, ibuku akan marah jika sandal tidak tertata dengan rapih. Juan tampak mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Mahen sering ke sini ya Clair?" tanya Juan duduk di salah satu kursi.
"Gak sih, tapi tadi dia habis kesini. Makanya tuh jaketnya dia tinggal, kode nyuruh gue nyuciin. Babi emang." jawabku kesal memungut jaket Mahen dari lantai.
"Kalian deket banget, emang gak sering dikira pacaran?" tanya Juan lagi.
"Sering, tapi gue mah bodo amat. Gue sama dia anti banget sama begituan." jawabku kemudian meninggalkan Juan sendiri di ruang tamu.
Aku memoleskan sedikit pewarna bibir dan juga lotion pada kulitku. Berganti pakaian dan tak butuh waktu lama aku sudah keluar kamar dengan menjinjing jaket di tanganku.
Juan mencoba memasangkan helm ke kepalaku, aku sontak menggagalkan aksinya dengan mengambil alih helm dari tangannya.
"Gue masih punya tangan Ju, bisa sendiri kali." kataku kemudian memakai helm.
"Terlalu mandiri, efek kelamaan jomblo ya, Neng?"
"Sialan," balasku.
Motor Juan melaju, sore menjelang malam memiliki kehangatan tersendiri yang tak bisa digambarkan olehku yang kini tanpa sadar beberapa detik memejamkan mata. Bukan tidur, aku hanya sedang bersyukur aku masih bisa menikmati sore hari ini. Perjalanan kami memakan waktu dua jam, tapi karena sedikit macet— Juan mengambil jalan utama— membuat kedatangan kami sedikit terlambat, namun tepat untuk jam makan malam.
Juan mengedarkan pandangannya sejenak ketika motorny terhenti. Ia tampak kebingungan.
"Ada apa Ju?" tanyaku dari belakang.
"Gak papa, di depan ada banyak banget yang jual. Mau pilih yang mana?"
Tepat di hadapan kami sudah berjejer warung tenda yang menawarkan satu jenis menu : nasi liwet. Aku tak mau tertipu, mengeluarkan ponselku dan mencari rating dari masing-masing warung tenda. Aku hanya akan memilih rating bintang lima!
Kami akhirnya memilih salah satu warung yang tidak memiliki terlalu banyak pengunjung. Alasannya simpel, karena aku kurang suka jika ramai pembeli. Membuatku kesulitan mengobrol dengan lawan bicaraku.
Juan memarkirkan motornya dengan rapih dibantu seorang tukang parkir dengan rompi oren. Begitu aku turun, tangan Juan terulur untuk meminta helmku. Kali ini ia akan mengamankan helmku supaya tidak jatuh dari atas motornya.
Ini bukan pertama kalinya aku pergi ke kota ini, tapi untuk menyantap nasi liwet jelas ini perdana bagiku. Aku melihat ke arah penjual yang duduk dengan dihadapkan beberapa pilihan lauk dan menu yang dijual.
"Ini namanya nasi liwet, kalau gue suka pakai lauk ayam. Lo suka apa?" tanya Juan antusias.
"Samain aja deh."
"Jawab 'suka gue' dong harusnya, ah elah!"
Bercanda terus hidupnya.
Juan menyelesaikan pesanannya sedang aku memilih untuk menempati salah satu tikar yang disediakan di tempat itu. Aku baru sadar ternyata jalanan di depanku basah, pertanda beberapa waktu lalu hujan mengguyur. Beruntung aku sampai sedikit terlambat.
Lelaki itu berjalan ke arahku, mengangkat dua piring yang aku yakin itu pesanan kami berdua dengan senyum mengembang. Aku tak kuasa untuk tidak tertular oleh senyumannya!
"Coba dulu, gue pingin denger review jujurnya." katanya dengan terus memandangiku.
Kuambil sesuap penuh dan kumasukkan ke dalam mulutku, butuh sepersekian detik untuk lidahku mencerna apa yang yang aku makan barusan. Setelah mengetahui rasa yang dimaksud Juan, aku tersenyum mengangguk.
"Enak. Thanks udah diajak ke sini." kataku kemudian.
Baru sepekan aku dan Juan akhirnya kembali bersua setelah hampir enam tahun berpisah, hingga akhirnya sepakat menjalani hubungan absurd ini, tapi sesingkat ini juga sudah banyak tempat yang ia tunjukkan kepadaku. Juan dengan segala rencana tiba-tibanya. Tiba-tiba mencari sunset di pantai, tiba-tiba mencari jembatan sampai Boyolali, dan tiba-tiba juga mencari makan malam sampai ke Solo. Apakah demi terlihat benar-benar dekat, kami harus bertindak sejauh ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
turn into a strangers. (END)
ChickLitApakah akan berbeda jika "kita" di antara aku dan kamu tidak pernah ada? Di sinilah aku, untuk mengingatkanmu tentang bagaimana kita menjadi orang asing. Would it really make a difference if we didn't exist? Here I am, to remind you how we turn into...