EMPAT

7.1K 552 13
                                    

Vote, komen, dan tandai typo.

4. Kehidupan Rindi

"Pak, jadwal terapi Rindi setengah jam lagi,"

Ucapan seorang perempuan membuat Rafabian dan Pak Razak menoleh kompak. Perempuan dengan kursi roda itu diantar oleh seorang wanita paruh baya.

"Iya, nak. Bapak tutup warung dulu."

Pak Razak mengucapkan terima kasih pada wanita yang diperkirakan berusia tidak beda jauh darinya karena telah mengantar sang puteri untuk yang kesekian kali.

"Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Pak, Rindi."

"Iya, Bu. Terima kasih lagi karena udah anter Rindi." Senyuman manis Rindi tujukan untuk wanita itu.

Rafabian yang sedari tadi memperhatikan interaksi ketiganya sedikit tersenyum saat tidak sengaja mendapati Rindi mengangguk serta tersenyum hingga gigi ginsulnya terlihat. Sangat manis.

Rafabian teringat akan beberapa pertanyaan di kepalanya, ia menatap pak Razak, "pak, sebelumnya mohon maaf," Pak Razak menoleh, menatap Rafabian yang lebih dulu menatapnya, "kalau boleh tau, bapak asli orang sini?"

"Bukan, saya bukan asli disini."

Rafabian mengangguk, "saya lupa memperkenalkan diri, Pak." Ucapnya sembari mengulurkan tangan, "perkenalkan sebelumnya, saya Rafabian," Pak Razak menerima uluran tangan laki-laki didepannya.

Begitu jabatan tangan keduanya terurai, Rindi menimpali. "Pak, jadwal terapi Rindi tinggal beberapa menit." Peringatnya sembari menutupi rasa kesal.

"Maaf, kalau boleh tau, kamu terapi di rumah sakit mana?"

"RS Pelita."

Rafabian terdiam sejenak sebelum kembali mengajukan pertanyaan, "apa yang menangani kamu dokter Zahra?"

Pak Razak mengangguk, "benar, den. Kok aden tau?"

"Saya juga dokter, Pak. Kebetulan saya kenal beberapa dokter terapi. Untuk hari ini, dokter Zahra tidak ada di RS, beliau mengalami kecelakaan kemarin."

"Kecelakaan? Innalillah...,"

"Apa tidak ada kabar dari pihak rumah sakit?"

Rindi menggeleng, "tidak ada."

"Terakhir terapi 3 minggu kemarin, dan dokter Zahra juga sudah nentuin hari ini untuk terapi karena kemajuan kaki saya sudah lebih baik, dan telat sehari saja penyembuhannya bisa lebih lama lagi." Jelas Rindi kalang kabut.

"Saya punya teman yang kebetulan tidak ada jadwal hari ini. Kamu mau?"

Rindi diam, bukannya tidak mau, tapi ia tidak bisa percaya lebih kepada orang lain, apalagi seorang laki-laki.

"Dokternya laki-laki atau-"

"Perempuan, Pak. Namanya dokter Bunga. Kalau misalnya mau, nanti saya kabari sekarang."

"Gimana, nak?"

Rindi sedikit menoleh kearah sumber suara, "tapi Bapak temani Rindi, ya?"

"Iya, nak. Bapak tekankan."

Rafabian tersenyum, pertanyaan yang sedari kemarin bersarang di otaknya kini terjawab secara tidak langsung. "Saya telepon dokternya dulu."

....

Didalam mobil pajero sport berwarna hitam, Rindi, Rafabian, dan Pak Razak menuju rumah sakit Pelita dimana Rindi akan diterapi. Sedari tadi, Rafabian terus teleponan dengan beberapa orang.

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang