TUJUH

6.2K 486 3
                                    


"Bagaimana kondisi pasien di kamar 5 kelas 2?"

Laki-laki berjas putih bersih dengan rambut terbelah dua yang sedang memerhatikan beberapa lembar kertas dokumen didepannya mendongak. Posisi yang semula duduk dikursi kebesaran kini berdiri. "Banyak perkembangan, prof. Beberapa pasien sudah diperbolehkan untuk rawat jalan,"

"Kita cuma berdua, jangan terlalu formal."

Rafabian terkekeh kecil sembari mengangguk, "gimana hari ini, prof?" Tanya Rafabian.

"Baik, semuanya berjalan sesuai keinginan."

Arkana, ayah Rafabian itu melangkah menuju kursi sang anak lalu mendudukinya, "kenapa cari, Abi?"

Rafabian yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik ayahnya ikut duduk dikursi depan Arka dengan hanya berbatasan meja, "Rafa mau bicara penting sama Abi."

"Boleh?" Lanjut Rafabian bertanya.

"Kamu mau tanya soal apa?"

"Abi bisa bantu Rafa?"

Arka mengangguk pasti.

"Rafa punya teman yang butuh donor mata. Dan Rafa baru ingat kalau Bunda juga dulu punya masalah yang sama," Rafabian menghela napas pelan, "mungkin Abi bisa bantu cari informasinya." Lanjut dokter muda itu.

"Nanti Abi bantu kamu."

....

Didalam rumah kontrakan dengan luas 5×6 meter persegi, seorang gadis muda sedang duduk bersila diatas keramik dingin sembari bersandar pada sisi ranjang. Tepat di belakangnya, pria paruh baya dengan wajah yang pucat mengikatkan rambut panjang bergelombang puteri satu-satunya.

"Pak? Besok kita ke makan Ibu, ya? Udah lama kita gak ziarah."

Sembari memasangkan pengikat rambut berwarna biru langit dirambut kuncir satu anaknya, pria itu mengangguk, "InsyaAllah. Bapak pasti bawa kamu, tapi kalau warung udah tutup."

Rindi, perempuan dengan lesung pipi di pipi kanannya itu tersenyum, "Bapak gak usah buka warung, Rindi mau Bapak istirahat dulu." Ucapnya, "Sejak kemarin, suara Bapak kayak ada beban, Bapak sakit?" Pertanyaan yang sejak beberapa hari lalu ia tahan akhirnya terucap hari ini.

"Seperti yang kamu bilang, Bapak butuh istirahat." Balas Pak Razak berusaha membaikkan suasana. Ia tidak ingin jika putrinya terlalu mengkhawatirkan dirinya.

Walaupun sedikit ragu, Rindi akhirnya mengangguk kecil. Menepis berbagai pikiran negatifnya. "Pak." Rindi mendongak, seolah menatap mata sang ayah.

Pak Razak ikut menatap mata cerah milik Rindi, manik mata itu sangat mirip dengan kepunyaan mendiang istrinya. Tak hanya itu, rambut, alis, hingga bibir Rindi, sangat mirip dengan Ibunya.

Dalam satu garis lurus, tatapan ayah dan anak itu bertahan hingga beberapa detik sebelum Rindi berucap dengan lemah, "jangan pernah tinggalin Rindi, Pak. Rindi cuman punya Bapak."

Pak Razak menutup matanya sekilas, "Bapak janji, selama Bapak masih diberi hidup sama Allah, Bapak gak akan pernah ninggalin kamu." Dekapan hangat langsung ia berikan pada putri satu-satunya, mengecup pucuk kepala Rindi yang berada didadanya, "dan selama Bapak ada sama kamu, kamu juga harus janji, untuk sembuh." Dapat Pak Razak rasakan anggukan kecil didadanya.

"Rindi janji sama Bapak, Rindi akan sembuh."

.....

Jabatan tangan antara dua orang terputus kala sapaan pertemuan baru saja selesai dilafadzkan. Keduanya adalah Rafabian dan Ilham.

"Tadi Abi kamu telpon, katanya kamu mau ketemu sama om." Ilham menjeda kalimatnya, "kenapa?" Tanyanya kemudian.

"Rafa mau minta bantuan sama om." Jawab laki-laki berkemeja hitam itu.

Ilham mengangguk dan mempersilahkan keponakannya duduk disofa ruang tamu. Setelahnya ia pamit masuk kedalam dapur dan Rafabian meng'iyakan.

Beberapa menit sejak Ilham pamit, Rafabian memilih memainkan benda pipih canggihnya, membalas pesan dari beberapa orang yang masuk kedalam daftar notifikasi salah satu aplikasi berwarna hijau.

"Assalamualaikum." Salam dari seorang gadis membuat Rafabian menoleh kearah pintu utama. Hanya melirik sebentar seraya membalas salam perempuan itu dan tersenyum sebelum kembali memandang benda ditangannya.

"Loh? Bang Rafa ada disini?" Tanya perempuan berkerudung pasmina berwarna coksu yang dililit ke lehernya.

Rafabian kembali menatap sang pembicara, "iya, ada perlu sama Papah kamu." Balasnya.

Syeira Maharani. Anak pertama dari pasangan Syeila dan Ilham. Perempuan yang lebih tua 5 bulan dari Rafabian. Sengaja perempuan itu memanggil Rafabian yang notabene nya berusia lebih muda dari dirinya dengan sebutan 'Abang' karena nyaman dengan panggilan itu.

Syeira duduk di sofa yang bersebrangan dengan Rafabian. Menatap wajah laki-laki didepannya dengan cermat, "Abang udah lama?"

Rafabian hanya menggeleng sebagai jawaban.

Syeira menganggukkan kepalanya paham, "lagi sibuk banget ya?" Entahlah, tapi ada sedikit rasa tak suka saat Rafabian lebih memilih menatap HP dibanding dirinya.

Rafabian mendongak kembali dengan alis yang dinaikkan sebelah, "ha? kenapa tadi?"

Syeira menghembuskan napas pelan, "Bang Rafa lagi sibuk banget?"

"Gak juga."

Keduanya saling diam dengan aktifitas masing-masing. Rafabian dengan benda pipih berlogo apel yang tergigit kecil, dan Syeira yang menatap Rafabian. Menurutnya, Rafabian adalah salah satu ciptaan Tuhan yang begitu sempurna dimatanya.

"Udah pulang, kak?"

Rafabian dan Syeira menoleh kompak, "udah, Pah." Ucap Syeira.

Ilham mendudukkan dirinya disofa yang sama, yang ditempati anak sulungnya, "ada perlu apa tadi, Raf?"

Rafabian memasukkan HPnya kedalam saku kemejanya terlebih dahulu, "Rafa pernah dengar cerita, kalau Om yang udah bantu Abi cari pendonor mata buat Bunda waktu dulu," ada jeda dikalimat Rafabian, "sekarang Rafa mau minta tolong hal yang sama."

Ilham yang seorang dokter ahli dibilang mata mengangguk paham, "memangnya rumah sakit yang kamu tempati sekarang tidak ada penanganan lebih lanjut?"

"Ada. Tapi hanya untuk mata palsu, untuk mata asli, tidak ada, Om."

"Perlunya kapan?"

"Secepatnya."

Ilham mengangguk-anggukan kepalanya paham. Ia memberikan satu map berisi beberapa lembar kertas penting kepada Rafabian. "Dulu, Bunda kamu Om carikan pendonor di sini, kamu bisa cari informasinya ditempat yang sama, kalau sudah dapat, kamu kabari Om. Nanti biar Om yang beresin."

Rafabian tersenyum senang dan mengucap syukur atas bantuan Ilham.

"Kamu bisa temuin Om di rumah sakit, bawa teman kamu, ada beberapa yang harus dia isi."

Percakapan keduanya terus berlangsung hingga beberapa menit. Rafabian melirik pergelangan tangannya yang dililit oleh jam tangan berwarna abu. Tepat pukul 2 siang.

"Kalau gitu, Rafa pamit, Om." Rafabian berdiri dari duduknya, diikuti oleh Ilham dan Syeira.

Ilham mengangguk, "salam sama orangtua kamu." Ucapnya mengulurkan tangan.

Rafabian menerima uluran tangan Ilham, lalu menyatupkan kedua tangannya kala berhadapan dengan Syeira. "Saya pulang dulu."

Syeira tersenyum lebar dengan anggukannya, "hati-hati, Bang. Jangan lupa main lagi kesini, tapi sama Alen."

"InsyaAllah."

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang