EMPAT PULUH LIMA

5.2K 450 17
                                    


45. Gara-gara Bian.


"Ganteng banget, Ya Allah."

"Namanya Bian, sama seperti nama belakang ayahnya, Rafa'bian'."

"Kasian banget masih kecil sudah tinggal di jalanan."

Satu persatu pujian, rasa iba, dan upaya perkenalan keluarga Rafabian tujukan pada Bian. Tidak jarang juga ada beberapa penolakan dari keluarga Alhara yang sama sekali tidak setuju perihal anak adopsi itu.

"Warisan keluarga Alfarabi untuk Rafa nanti dibagi sama Bian juga?"

"Kamu mau Bian saat besar nanti malah memoroti kamu?!"

"Sudah tahu kamu lagi hamil, malah ambil anak orang lain! Atau ini anak kamu sama laki-laki lain di masa lalu? Jadi kalau Rafa sudah tidak mampu lagi kamu kasi semua asset Rafa ke Bian lalu kalian pergi meninggalkan Rafa. Apa begitu?"

Jelas Rindi menggeleng keras. Dia sama sekali tidak pernah berpacaran dengan laki-laki lain di masa lalu selain dengan Andra. Dan perihal itu, hanya pada Rafabian saja. Bagaimana caranya dia bisa punya anak dari orang lain?

"Tidak, Oma. Saya sama sekali tidak pernah punya hubungan spesial di masa lalu." Rindi mencoba membela diri dengan sangat sopan. Matanya menyiratkan kesungguhan.

"Tante, Rindi itu menantu saya. Kenapa ditanya seperti itu? Keluarga saya tahu semua tentang Rindi. Dan kami bisa memastikan kalau Rindi adalah perempuan baik-baik."

Wanita tua yang disebut Rindi sebagai oma itu menatap Alhara tidak habis pikir. "Lhara! Kamu kenapa bela-in dia? Dari awal saya sudah menentang hubungan cucu saya dengan perempuan ini, karena saya tahu, perempuan yang kamu angkat jadi menantu ini pasti sudah melakukan apa-apa ke Rafa!" 

Bian yang duduk tidak jauh dari Rindi langsung menoleh kala bentakan itu. Dengan wajah yang memerah menahan emosi ia turun dari kursinya. Melangkah menuju Rindi dan berdiri membelakangi sang mommy. 

"Turunkan telunjuk Anda dari Mommy Bian!" tegas anak itu dengan suara yang lantang.

Oma Tati, menatap marah pada Bian. "Kamu lihat Alhara! Ini cucu pungut yang kamu gadang-gadang adalah anak baik, tapi lihat sikapnya! Sangat kurang ajar!"

Rindi memeluk puteranya. Membisikkannya sesuatu, "Bian, jangan, ya, Nak."

Bian tidak peduli dengan apa yang diucapkan Rindi. Masih di dalam pelukan mommy-nya ia berucap kembali, "Bian tidak kurang ajar. Daddy sama Mommy selalu bilang untuk menghormati orang yang lebih tua. Tapi kalau orang tua kayak Anda tidak berbuat sopan dan menghina Mommy dan Nenek, tidak ada lagi 'hormat' yang perlu di apresiasi."

Beberapa orang yang sedari tadi menyanjung Bian semakin terpesona dengan anak kecil itu. 

"Diam kamu! Anak kecil sudah bisa bicara seperti ini. Kalau besar kamu mau berbuat apa lagi? Mau bunuh ayah kamu?"

Bian menggertakkan giginya. Tangan yang mengepal dan deru napas yang tidak beraturan. "Daddy adalah orang yang baik. Sekalipun saat Bian besar nanti, dan akan menjadi pembunuh, mungkin Anda orang pertama yang menjadi korban saya."

Alhara dan Rindi tercengang. Apa ini Bian? Kenapa sifatnya berbeda?

"Bian! Jaga bicara kamu, ya! Mommy gak pernah ajarin kamu bicara seperti itu!" Rindi berdiri dari duduknya, kedua tangan yang tadi memeluk pinggang Bian kini sudah terlepas. Kedua mata mereka saling menatap, Rindi dengan kecewanya dan Bian dengan mata teduh yang masih sedikit membara.

"Mommy kenapa? Mommy marah sama Bian karena bela Mommy?" kini Bian balik bertanya.

"Kamu lihat! Anak pungut ini bahkan ngelawan kamu yang ibunya!" Oma Tati kembali memperkeruh suasana.

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang