TUJUHBELAS

5.5K 513 22
                                    


Tandai typo!

17. Cinta yang harus dipendam

Setelah melalui banyak penanganan medis, Rafabian memutuskan melakukan tindakan terbaik untuk pasiennya. Didalam ruangan khusus, dia bersama beberapa dokter senior lain saling bertukar pendapat. Tidak perlu waktu lama, Rafabian diberikan izin untuk melakukannya, mengingat pasiennya masih dalam keadaan koma.

"Terima kasih, dokter. Kalau begitu, saya permisi."

Begitu keluar dari ruangan, Rafabian segera menuju kamar VIP yang ada dilantai terpisah dengan pasien lain.

"Permisi."

"Keadaan Bapak saya gimana?" Tanya Rindi tanpa basa-basi.

"Pak Razak harus segera dioprasi, mengingat pendarahan yang membahayakan nyawa beliau."

"Kalau boleh tau, kenapa bisa ada pendarahan, dokter? Bukannya kemarin sudah diperiksa secara keseluruhan?" Kini Ira angkat bicara. Perempuan itu berdiri disisi brankar yang lain.

"Pendarahan diotak Pak Razak di picu dari tekanan darah tinggi, mungkin karena beliau terlalu banyak pikiran." Jawab Rafabian tanpa menatap sang lawan bicara.

"Saya perlu tanda tangan pihak keluarga untuk memberikan penanganan lanjutan untuk pasien."

Rindi yang selama beberapa hari ini selalu menggunakan kursi roda, mencoba bangkit dari duduknya. Rafabian yang semula menatap pasiennya menoleh kala suara decitan terdengar. Wajahnya yang datar tiba-tiba saja tersenyum tipis.

"Rindi, pelan-pelan, dek." Ira memberikan lengannya sebagai alat pertahanan Rindi hingga perempuan berwajah teduh itu bisa berdiri tepat di sebelah brankar ayahnya.

"Untuk apa dokter?" Tanya Rindi.

"Surat keterangan persetujuan operasi."

Tanpa basa-basi, Rindi menganggukinya. Setelah menandatangani surat yang kini ada ditangan Rafabian, dokter muda itu memberikan surat keterangan lain pada Rindi.

"Saya juga mau minta tanda tangan anda untuk operasi transplantasi mata."

"Ha?!" Pekik Rindi terkejut. "Maksud anda?" Dia paham, tapi sedikit tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Pak Razak sudah mengizinkan saya untuk melakukan yang terbaik untuk anda. Tolong jangan menolak."

"Rin! Terima, dek. Om pasti bahagia kalau kamu bisa liat lagi."

"Gak! Uang Bapak gak akan cukup untuk biaya perawatannya sendiri, dan sekarang, aku harus operasi? Biayanya gak sedikit, Mbak!"

"Saya sudah mengurus semuanya."

Sekali lagi Rindi terkejut dengan apa yang didengarnya. "Tidak! Apalagi biaya ini dari dokter. Saya menolak!"

Rafabian menggelengkan kepalanya, "pengobatannya akan gratis, dan bukan karena uang saya, tapi karena kebijakan dari pemerintah. Anda tenang saja, kalau tidak percaya, bisa tanyakan langsung pada Ilham, saya sudah berikan semua berkas pentingnya semalam."

"Rin, kamu harus sembuh, kesempatan ini satu kali sekali."

Setelah ketiganya diam beberapa menit, Rindi mengangguk, "Tapi dengan syarat, harus satu ruangan sama Bapak."

....

Didalam ruang operasi, Rafabian bersama 2 dokter lain sejak beberapa menit lalu melakukan pembedahan untuk pasien pria paruh baya yang kini terbaring lemah tak sadarkan diri. Sedangkan di ruangan sebelah, 3 dokter perempuan sedang melakukan operasi transplantasi mata untuk Rindi.

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang