Tandai typo, teman-teman!
Enjoy my writing And Happy reading.
....
"Kemarin aku gak pakai sabun itu." Bian menunjuk sabun yang ada di tangan Rafabian. Kondisi tubuh Bian sudah tidak mengenakan baju hanya boxer bergambar doraemon, dan sudah basah kuyup.
Rafabian mengangguk. "Tadi pagi Daddy beli ini untuk kamu."
Bian tersenyum. Perhatian kecil ayahnya sudah cukup membuat dirinya bahagia dan merasakan menjadi seorang anak yang sesungguhnya. "Terima kasih, Daddy, karena sudah angkat aku jadi anak," ujar anak itu penuh ketulusan.
Rafabian yang juga sudah sedikit basah membalas senyuman Bian. "Sama-sama, anak Daddy."
Keduanya kembali menghabiskan waktu hingga beberapa saat. Sampai Bian selesai mandi, Rafabian segera membawa bocah tujuh tahun itu ke dalam gendongan dan membawanya keluar dari kamar mandi.
"Rin?"
Rindi yang berdiri di depan lemari membalas panggilan suaminya dengan deheman.
"Kamu kenapa?" tanya Rafabian yang mendapat balasan gelengan. Naluri kepekaan dokter itu tidak bisa diremehkan. Bahkan hanya melihat tinggi bahu istrinya yang sedikit menyusut, dapat dipastikan ada sesuatu yang dirasakan oleh Rindi.
Bian diturunkan di atas kasur. Kaki jenjangnya melangkah menuju tempat istrinya berdiri. Tanpa bertanya lebih, Rafabian memeluk tubuh Rindi. Dan benar saja, Rindi tidak merespon apapun. Hanya ritme napasnya semakin cepat juga tangannya tidak bergerak untuk membalas pelukan sang suami.
"Mommy? Mommy kenapa?" kini Bian bertanya. Bocah yang berselimutkan handuk dan hanya memperlihatkan kepalanya saja mencoba turun dari kasur. Tapi dengan cepat Rafabian menggeleng memperingatkan untuk tidak melakukan apapun.
"Mommy kenapa, Daddy?" Hanya bertanya pada Rafabian adalah pilihan terakhir.
"Mommy mengantuk. Tidak apa-apa, kok."
Bian hanya mengangguk percaya. Karena Rindi tidak juga merespon, Rafabian memutuskan membawa Bian ke lantai bawah untuk dibantu oleh Bibi, asisten rumah tangga mereka.
"Kamu kenapa?" Dipegangnya kedua pundak Rindi.
Rindi yang menunduk menggeleng kecil, "Aku gak apa-apa, Bi."
Rafabian menuntun perempuannya hingga duduk di sisi kasur. Sedangkan Rafabian bersimpuh di depan kaki Rindi dengan tujuan bisa lebih mudah menatap wajahnya yang tetap saja masih tertunduk. Dengan sabar Rafabian menyingkirkan rambut panjang Rindi agar tidak menghalangi wajah cantik itu.
"Kamu kenapa? Aku ada salah sama kamu?"
Rindi menggeleng. Masih mencoba bertahan untuk tidak mengeluarkan air matanya kembali. Jelas tidak ingin Rafabian jadi kepikiran.
"Sayang, aku suami kamu, lho! Gak mau cerita?"
Mendengar nada bicara Rafabian yang seolah kecewa, Rindi akhirnya mengalah. Kedua tangannya saling bertautan. "M-mau," ucapnya lirih.
Rafabian tersenyum. Menangkup pipi gembul Rindi. "Kenapa? Rindu bapak?"
Rindi seketika menatap wajah laki-laki di depannya. "K-kok tau?"
"Aku bisa baca pikiran kamu." Jawabannya adalah karena Rafabian melihat bingkai foto sudah tidak berdiri seperti sebelumnya. Letak foto itu berjarak beberapa senti dari tempat biasa Rafabian letakkan.
"Kamu rindu bapak?"
Rindi menggeleng, lalu kemudian mengangguk. Menjadikan kening suaminya berkerut. "Aku selalu rindu sama bapak tiap hari, Bi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Muda Rafabian (SELESAI)
RomanceMenyukai perempuan yang trauma dengan laki-laki adalah sebuah kesalahan bagi Rafabian. Tapi mau bagaimana? Ini bukan salahnya kan? Ini ia anggap sebagai tantangan. Dengan jalur langit dan dukungan semesta. "Mencintainya adalah anugrah terbesar. Da...