ENAM

6.4K 512 2
                                    

Tandai typo.

Selamat membaca, semoga suka. Aamiin

6. SEMUA DEMI RINDI

Waktu berlalu begitu cepat. Setelah kurang lebih seminggu lamanya Rafabian tidak pernah terlihat di warung kecil yang berdiri kokoh ditengah kota Jakarta. Pak Razak, pria tua dengan sejuta senyum itu setiap hari hanya bisa melirik sesekali kearah depan warungnya, menanti kedatangan seseorang yang akhir-akhir ini sangat dibutuhkannya.

"Pak, saya pesen 5 bakso tadi, jadi semuanya berapa?"

Pak Razak yang sedang berdiri mematung sembari menatap keramaian luar dari balik kaca gerobak seketika tersentak kaget. "Iya, neng? Kenapa?"

"Tadi saya pesen 5 bakso, Pak. Jadi berapa?" Tanya ulang perempuan dengan rambut panjang yang dikuncir satu.

"25 ribu, neng."

Begitu memberikan beberapa lembar uang kertas, perempuan tadi pergi dari sana. Pak Razak hanya bisa menghela napas pelan seraya menatap uang kertas lusuh digenggamannya.

Bukan karena tak bersyukur, hanya saja beberapa hari ini pikirannya dipenuhi oleh keributan.

Dari arah belakang, Rindi berjalan pelan kearah sang ayah dengan satu tangan yang memakai tongkat sebagai penopang, dan satu tangan lagi meraba  sekitar agar tidak menabrak.

"Pak. Bapak." Panggil Rindi saat merasa langkahnya sudah cukup jauh dari tempatnya berdiri.

Pak Razak berbalik, menyimpan uang tadi kedalam laci gerobaknya lalu menghampiri sang puteri. "Kenapa, nak? Ada yang perlu bapak bantu?"

Rindi menggeleng sembari tersenyum kecil, "tidak, Pak. Bapak sudah makan?"

"Bentar lagi, tunggu warung kita tutup baru Bapak makan."

Rindi menggeleng, "jangan, Pak. Bapak harus makan sekarang. Nih, liat nih." Rindi meraba lengan Pak Razak yang memegang bahunya, "Bapak jadi tambah kurus akhir-akhir ini." Ujarnya.

"Iya-iya, bapak makan, tapi kamu duduk disini dulu." Pak Razak menuntun Rindi untuk duduk dikursi yang tak jauh dari gerobak. "Bapak ambil nasi dulu." Anggukan ia terima dari anak gadisnya.

Beberapa saat menunggu, seorang perempuan tiba-tiba menyapa Rindi. Membuatnya sedikit kaget.

"Hai! Kamu Rindi, kan?"

Rindi yang terlonjak kaget segera menetralkan detak jantungnya sembari mengangguk kecil, "iya, saya Rindi. Kamu...?"

Perempuan disamping Rindi mengulurkan tangan, ia mengambil tangan kanan Rindi untuk disatukan dengan jabatan tangannya. "Aku Alenia."

Uluran tangan keduanya terputus, Alenia mengamati beberapa hal berbeda dari Rindi hari ini. "Kamu..., udah bisa jalan?" Tanyanya hati-hati.

Pertanyaan Alenia disambut senyum teduh milik perempuan bergamis ungu didepannya. "Alhamdulillah." Ucap Rindi.

Alenia ikut tersenyum, "alhamdulillah. Oh iya, kamu tau gak, aku siapa?"

Teka teki yang sedari tadi bersarang diotak kecil Rindi kini akan menemukan jawabannya, "siapa?"

"Aku dokter yang beberapa tahun lalu menangani kamu."

Rindi menaikkan satu alisnya, dengan pandangan yang tetap lurus kedepan, ia terus mencari tahu siapa orang yang dimaksud oleh Alenia.

"Psikiater yang juga punya kekurangan."

Rindi masih berfikir keras, sedikit terkejut saat teringat siapa perempuan itu. "Kamu..., dokter Alenia?" Tanya Rindi pada Alenia, dokter psikologi yang menanganinya tiga tahun lalu.

Setelah pulang bersama Rafabian malam itu, Alenia kembali datang karena kondisi Rindi yang kembali memburuk, bahkan keesokan harinya ia kembali ke rumah sakit lagi untuk menangani Rindi yang terakhir kali. Total ia menangani Rindi sebanyak tiga kali.

Alenia mengangguk cepat, walaupun Rindi tidak dapat melihatnya. "Benar!" Ucapnya senang.

"Dokter, apa kabar?"

"Semakin baik sejak 5 menit terakhir."

"Loh. Kok?"

"Karena liat kamu udah bisa jalan."

....

Pak Razak yang melihat putri semata wayangnya sedang berbincang dengan seseorang mengurungkan niat untuk bergabung, ia memilih duduk dikursi miliknya, menyantap nasi goreng buatannya sendiri.

Dengan jarak, Pak Razak terus memperhatikan perempuan berkursi roda disana. Begitu menyadari orang itu adalah adik dari laki-laki yang selama seminggu ini dicarinya, Pak Razak langsung tersenyum bahagia. Ia segera menghabiskan nasi gorengnya.

"Dek."

Panggilan lembut serta tepukan di bahunya membuat Alenia mendongak, sedangkan Rindi hanya diam. "Abang?"

"Kenapa masih disini? Abi tadi suruh kamu apa?"

Alenia memperlihatkan deretan gigi rapihnya, "Aku lagi cerita, abang aja yang pesen nasgornya."

Rafabian, laki-laki itu mengangguk lesuh. Ia berjalan kearah Pak Razak yang sedang minum. "Permisi, Pak. Saya pesan nasi gorengnya 8 bungkus."

Pak Razak mendongak begitu selesai minum. "Loh, aden?" Beonya sedikit kaget.

Rafabian tersenyum, "iya, Pak. Saya"

"Saya bikin dulu nasi gorengnya."

Rafabian memperhatikan perubahan fisik pria paruh baya itu, badan yang semakin kurus dan wajahnya yang juga pucat."Bapak sakit?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Rafabian membuat Pak Razak menoleh sebentar lalu tersenyum. "Ah, tidak, den."

Rafabian tidak langsung percaya  dengan ucapan Pak Razak, dia adalah seorang dokter, tidak bisa di bohongi dalam urusan seperti ini. "Bapak jangan bohong, bapak sakit, kan?"

Pak Razak menatap puterinya disebelah sana, memandang wajah cantik Rindi yang selalu menjadi penyemangatnya. "Memangnya saya bisa sakit?" Kekehan kecil ia perlihatkan.

Begitu pesannya selesai, Rafabian segera memberikan 5 lembar uang merah pada sang penjual. "Jaga kesehatan Bapak, Rindi masih butuh Bapak untuk hidupnya." Ujar Rafabian.

Pak Razak menatap lembaran uang merah digenggamannya, "saya tidak butuh uang." Ucapnya tersenyum getir.

"Pak. Anggap saja ini sebagai bantuan saya untuk Bapak. Gunakan uang ini untuk berobat, Pak."

"Saya hanya perlu bantuan kamu, tapi tidak dengan uang kamu."

Alis Rafabian terangkat sebelah, "bantuan?"

Samar-samar Pak Razak mengangguk, "bantu saya mencarikan Rindi donor mata."

Rafabian berfikir sejenak sebelum mengangguk, "InsyaAllah saya bantu Bapak. Tapi Bapak harus sehat dulu."

Pak Razak tersenyum, "apapun untuk anak saya."

....

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang