Begitu keluar dari dalam rumah, Rafabian segera menuju garasi. Dengan terburu-buru, dokter muda dengan rambut belah dua itu mengeluarkan mobil dari area halaman rumah dan melaju cepat menuju rumah sakit.
Selama diperjalanan ia tak jarang melihat jam biru gelap yang melingkar apik dipergelangan tangan kekar miliknya.
Ditengah perjalanan, panggilan telepon mengalihkan perhatiannya pada jalan besar nan ramai didepan sana. Dengan kecepatan tangan, Rafabian menyambungkan airpods dengan android mahalnya lalu memakainya sebelah.
"5 menit lagi saya sampai disana." Ujar Rafabian dua detik sebelum panggilan terputus.Jalanan yang cukup ramai tidak membuat kecepatan mobil hitam berplat nomor RFBN itu berkurang.
Hanya butuh 15 menit untuk sampai di rumah sakit. Rafabian segera mempercepat langkah menuju ruangan UGD dimana salah satu pasiennya menunggu.
"Bagaimana kondisinya?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Rafabian begitu seorang suster berhadapan dengannya dipintu masuk ruangan.
"Dokter Bilal baru saja menangani pasien, dokter. Untuk sementara, kondisinya kembali normal." Jawab suster berkulit gelap itu.
Rafabian mengangguk lalu masuk kedalam ruangan. Menemui rekan kerja yang berada beberapa tahun diatasnya. "Terima kasih atas bantuan anda, dokter."
Dokter Bilal yang sedang berkutat dengan selang infus pasien mendongak, tersenyum kecil kemudian, "sama-sama. Lain kali jangan telat."
Rafabian terkekeh kecil sembari menunduk sejenak, lalu kembali memandang lurus pada wajah tegas didepan sana, "siap dokter."
Dokter Bilal berjalan kearah Rafabian, merangkulnya lalu mengajaknya keluar dari ruangan ber-AC tinggi itu. Sebelum keduanya benar-benar keluar, Rafabian dan Bilal kompak berbalik, memastikan kondisi pasien tadi apakah sudah pantas untuk ditinggalkan atau tidak.
"Pendamping pasien dikamar ini mana?" Tanya Rafabian pada Bilal.
Bilal mengajak juniornya duduk lebih dulu dikursi khusus yang ada dikoridor kemudian menjawab, "orangtuanya lagi keluar, dititipin sama suster Hilwa." Rafabian mengangguk begitu pertanyaannya terjawab.
"Lo gak balik?"
"Baru dateng, gak mungkin kalau langsung balik lagi."
Bilal mengiyakan ucapan Rafabian didalam benaknya, "lo tidur di ruang jaga aja, cuma berdua ama gue," usulnya.
"Sorry, bukannya nolak, tapi besok jadwal gue untuk shif malam, so, you know lah,"
Bilal hanya mengangguk kecil, dokter dengan kaca mata itu menepuk punggung tegap laki-laki disampingnya lalu berdiri dari duduknya, "Kalau gitu, gue titip pasien tadi bentar, ada jadwal di lorong sebelah," Begitu di angguki oleh lawan bicara, Bilal pergi dari hadapan Rafabian.
Sekitar 10 menit menunggu, seorang wanita berusia lanjut sedikit tergesa-gesa menghampiri Rafabian, menepuk pundaknya hingga dokter muda itu mendongak.
"Bagaimana kondisi anak saya dokter?" Tanyanya khawatir.
Rafabian berdiri, memperhatikan beberapa kantong plastik yang ada ditangan wanita itu, "Ibu tenang aja. Anak ibu mengalami kejang karena suhu badannya yang tinggi. Tapi kondisinya sudah kembali normal." Ucapnya sopan, "itu obatkan? Ibu bisa minta bantuan sama salah satu perawat disana, dan usahakan setiap satu jam sekali, Ibu ukur suhu tubuh anak Ibu dan informasikan ke perawat atau dokter yang shif hari ini." Lanjutnya lagi.
Wanita berusia lanjut itu tersenyum, "terima kasih, dokter, sudah datang kesini untuk liat anak saya."
"Oh, bukan, Bu. Dokter lain yang sudah membantu anak Ibu, dan saya hanya bantu menjaga saja."
"Sekali lagi terima kasih. Kalau begitu, saya panggil suster dulu."
...
Diperjalanan pulang, Rafabian sengaja melewati warung makan kecil tempat dimana tiga hari lalu ia datangi. Jika biasanya warung makan itu akan tetap buka hingga pukul 10 malam, kini berbeda. Bahkan jarum jam masih setia berada disekitar angka 8, warung didepan sana sudah tutup.
Rafabian memarkirkan kendaraan roda empatnya dipinggir jalan, sebelum benar-benar keluar dari mobil pribadinya, ia lebih dulu melepas jas putih bersihnya.
"Permisi, Mang." Ucap Rafabian setelah berdiri tepat disebelah gerobak rujak milik pedagang kaki lima yang sedari tadi ada disekitar warung milik Pak Razak.
Ditengah kesibukan melayani para pembeli, pria paruh baya itu sempatkan untuk menatap seseorang yang baru saja menyapanya dan bertanya, "iya, Mas?"
"Saya mau tanya, Mang. Warung ini udah tutup dari tadi?" Tanya Rafabian sembari menunjuk warung yang dimaksud.
"Oh, itu, Mas. Pemilik warungnya tadi tiba-tiba pingsan, udah dibawa ke rumah sakit. Warungnya juga baru tutup kok, sekitar sejam yang lalu."
Rafabian sedikit terkejut dengan pengakuan pedagang kaki lima tadi. "Oh." Hanya satu kata yang dapat ia ucapkan saat ini, walaupun didalam lubuk hatinya ia merasa khawatir, "saya pesan rujaknya 2 bungkus ya, Mang."
"Siap, mas!"
Rafabian sedikit menjauh dari gerobak rujak tadi, melangkah mendekati rumah makan 'sejuta kasih' dan memandanginya cukup lama.Rafabian menelpon salah satu penghuni rumah, tidak perlu waktu lama, panggilannya diterima,
"Halo, Bang. Kenapa?"
"Alen, Abang mungkin pulangnya agak telat, jadi kalau Bunda atau Abi tanya, tolong sampaikan, ya?"
Diseberang sana, Alenia mengangguk, "oke Abang!"
"Abang tutup teleponnya, assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Panggilan berakhir, Rafabian kembali mendekat kearah gerobak rujak untuk mengambil pesanannya.
"Mang, tau rumah pemilik warung tadi, nggak?"
"Kurang tau, Mas. Tapi katanya ada dijalan putih. Kalau nomor rumahnya saya mah gak tau."
Dengan keyakinan, Rafabian segera kembali ke mobil kala pesanannya sudah ia ambil. Mencari rumah Pak Razak dan Rindi adalah tujuannya saat ini.
Sesuai dengan petunjuk yang didapatnya. Jalan Putih, satu hal yang begitu berarti untuk orang asing yang merasa harus menjadi pelindung untuk dua manusia lain selain keluarganya.
Tepat pukul 10 malam, nyatanya, untuk mencari satu rumah dibalik luasnya jangkauan petunjuk adalah hal yang tak mudah ia pecahkan, sudah beberapa kali pula ia turun dari mobil dan mendatangi satu demi satu rumah yang sekiranya dapat memberinya petunjuk lain. Tapi sayang, rata-rata dari warga kompleks Putih tidak mengenal siapa yang Rafabian cari.
Rafabian menghela napas sebelum kembali turun dari kendaraannya setelah memarkirkan mobilnya ditepi jalan. Dokter muda dengan kacamata itu mengekspedisikan kaki jenjang yang menuju gang kecil yang gelap dan sedikit kumuh.
"Permisi, Pak. Tau rumahnya pak Razak?" Tanya Rafabian pada sengkumpulan bapak-bapak yang bisa ditebak sedang melakukan ronda malam di kompleks itu.
"Pak Razak yang pemilik warung depan?" Tanya salah satu dari mereka yang diangguki Rafabian.
"Rumahnya yang diujung, Mas. Tapi lagi kosong, Pak Razak nya dari tadi sudah dirumah sakit."
"Kalau boleh tau, Pak Razak sakit apa ya, Pak?"
Keenamnya saling pandang satu sama lain, "Kalau soal itu, kita kurang tau, Mas."
Rafabian mengangguk kembali, "Kalau begitu, terima kasih ya, Pak. Oh iya, saya punya ini, mohon maaf kalau misalnya kurang," ia mengulurkan tangan memberi dua buah plastik yang berisikan rujak, "mohon diterima, Pak."
Salah satu dari mereka menerimanya lalu mengucapkan terima kasih. Rafabian kemudian pamit, tapi sebelum itu, ia juga menitipkan satu buah amplop putih besar yang berisikan beberapa lembar uang untuk diberikan kepada keluarga Pak Razak.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Muda Rafabian (SELESAI)
Любовные романыMenyukai perempuan yang trauma dengan laki-laki adalah sebuah kesalahan bagi Rafabian. Tapi mau bagaimana? Ini bukan salahnya kan? Ini ia anggap sebagai tantangan. Dengan jalur langit dan dukungan semesta. "Mencintainya adalah anugrah terbesar. Da...