TIGA PULUH DELAPAN

5.7K 435 6
                                    

Aku yakin tulisan aku kali ini banyak tponya. Jangan lupa tandain ya!

So, enjoy my writing><


38. (Bukan) Pembunuhan.

Rindi terus melangkah perlahan. Tarikan napas berulang-ulang perempuan ber--abaya hitam dengan perpaduan kerudung syai'r berwarna coksu itu lakukan. Melawan rasa takut. Kunci agar ia bisa terbebas dari segala trauma.

"Terima kasih, Raf."

Rafabian menoleh, menatap Anton yang justru memandang Rindi.

"Terima kasih karena lo secinta itu sama bocil," Anton ikut menoleh, "Dari dulu, langit itu impiannya. Tapi dia sadar, sayapnya cuma satu. Satu lagi sudah diambil Tuhan."

Rafabian tersenyum. "Rindi sudah kehilangan dua sayapnya. Tapi jangan khawatir, saya yang akan membawa dia menuju langit."

Dari belakang, Rifki merangkul bahu Anton dan Rafabian sembari duduk ditengah keduanya, "Habis ini kita mau kemana?" Tanya Rifki berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kita ke rumah Om Zak dulu." Om Zak, sebutan gaul Anton dan Rifki untuk Pak Razak.

Rifki mengangguki jawaban Anton, ketiganya kembali memandang Rindi yang sudah duduk diatas dermaga kayu kecil dengan kaki menjuntai. Perempuan itu sudah nampak lebih tenang.

Rifki berdiri terlebih dulu. "Kita susulin Dinda yuk," Ia berbalik, "sorry, Raf. Maksud gue Rindi."

Ketiga laki-laki berbeda generasi itu sedikit berlari menuju Rindi. Tibanya di dermaga, Rafabian langsung memposisikan dirinya tepat di samping Rindi, Anton dan Rifki berbaris di samping Rafabian.

"Bi, kamu kenapa baik banget?" Tanya Rindi tiba-tiba.

Rafabian menggenggam jemari Rindi lalu mengecupnya, "alhamdulillah kalau kamu rasa aku laki-laki yang baik."

"Rin! Gimana perasaan lo sekarang?" Rindi melirik Anton yang duduk di bagian ujung lainnya. "Lebih baik."

"Kamu pernah sebut danau, hitam, sama Andra waktu mimpi buruk. Kamu bisa cerita sekarang?" Yang Rafabian tahu, seorang pasien tetap psikiater tidak akan bisa bercerita lebih jauh tentang hal yang berkaitan dengan ketakutannya. Tapi inilah yang ingin laki-laki itu buktikan, apakah Rindi sudah lebih baik, atau tetap sama.

Rindi tidak langsung menjawab. Dia lebih dulu tersenyum dan memalingkan pandangan dari Rafabian, menatap luasnya danau ber-air bening yang sejak 3 tahun terakhir tidak di datanginya. "Kamu tenang aja, Bi. Aku jauh lebih baik kok."

"Tapi kalau kamu tetap mau tahu, aku akan cerita," dengan sangat tenang, Rindi menceritakan semuanya. Tentang danau yang sudah menjadi tempat favorit, tentang kata "hitam" yang di maksud sang suami, hingga kenapa nama "Andra" ada di dalam mimpinya.

"Sorry, Rin. Tapi lo sama sekali belum cerita tentang trauma lo ke kita," celutuk Rifki yang di angguki Anton.

"Hm..."

"Masih takut?" pertanyaan Rafabian di balas gelengan ragu oleh Rindi. "Jangan di bahas kalau masih membekas,"

"Tidak. Kata kamu, ketakutan akan mengambil kontrol sepenuhnya diri manusia kalau kadarnya sudah melebihi batas. Dan aku gak mau itu terjadi, aku tetap akan cerita." Sungguh, jika Rafabian dan Rindi hanya berdua saja, Rafabian akan memeluk istrinya itu dengan sangat erat. Perjuangannya untuk sembuh hampir sampai di tahap terakhir.

"Eh... An-Andra," Rindi menutup matanya, menghirup udara segar di sekitarnya lalu menghembuskannya perlahan. "Malam itu, Andra mabuk. Dan kebetulan kita juga ada masalah."

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang