EMPAT PULUH EMPAT

5.2K 526 9
                                    



44. ADEK BAYI.

"Ini rumah Mommy sama Daddy?" 

Rindi yang sedari tadi tidak melepaskan jemari Bian dari genggamannya menjawab, "Iya, sayang. Kenapa?"

"Bagus banget, Mommy!" anak itu berteriak. Memekikkan telinga Rindi dan Rafabian hingga keduanya sontak menutup mata sejenak.

"Ups! Maaf, Mom, Dad."

Rafabian terkekeh kecil. Melihat wajah senang Rindi sudah cukup membuatnya bahagia. Sama sekali tidak menyangka akan memiliki anak yang bukan keturunannya. Tapi tidak apa, Bian anak yang baik. Dia pasti mampu menjaga Rindi dan calon anaknya lebih dari Rafabian sendiri.

"Bian," panggil Rafabian yang mampu mengalihkan perhatian Bian kepadanya. "Kamu tidur sama Mommy dan Daddy dulu, ya?"

Bian mengangguk beberapa kali. Anak itu sangat bersemangat sepertinya. "Hu-uh."

"Sayang, kamu naik ke atas dulu, bersih-bersih," ujar Rafabian pada Rindi.

"Iya, Bi." Rindi melepas tautan tangannya pada Bian, "Bian, Mommy naik dulu, ya? Kamu di sini sama Daddy. Coba-in baju baru kamu."

Rindi segera naik ke atas kamarnya dan membersihkan diri. Sepuluh menit di dalam kamar mandi, perempuan hamil itu keluar hanya menggunakan handuk yang melilit rambut dan badannya sebatas paha.

Saat mencari baju untuk di gunakan, sebuah tangan besar tiba-tiba melingkar di pinggangnya bersamaan dengan sebuah kecupan di leher jenjang miliknya. "Geli, Bi." 

Rafabian tidak peduli, ia semakin mengecup lama leher putih mulus istrinya. "Kamu harum banget, Rin," bisiknya membuat sekujur tubuh Rindi meremang. Rindi segera berbalik dengan baju yang menutupi bagian dadanya, membuat pelukan Rafabian mengendur.

"Kenapa berbalik? Kamu mau?" pertanyaan yang ambigu itu segera dijawab dengan gelengan. 

"Bian kenapa ditinggal?" Akhirnya Rindi mengubah alur pembahasan yang jika tidak dilakukan akan menjadi sebuah kejadian besar.

"Lucu, ya? Nama panggilan kamu ke aku itu, 'Bian'. Eh! Malah dapat anak yang namanya juga 'Bian'". Suara tawa berat terdengar di akhir kalimat.

"Dunia ada-ada aja, ya?" 

Rindi tidak mengatakan apapun, hanya memandangi wajah tampan di depannya dengan senyum yang begitu tulus. Betapa wajah itu akan ia rindukan saat tidak bertemu sehari saja. Tangan Rindi terangkat menangkup wajah suaminya. Mengecup bibir itu sangat lama. Sepertinya sebentar lagi perempuan itu akan malu sendiri.

Rafabian membeku kala suara tawanya diredam oleh bibir Rindi. Kedua tangan yang menempel di pipinya menciptakan hawa dingin di sekujur tubuh. Detak jantung yang tidak beraturan. Rafabian tidak merespon, terlalu syok dengan apa yang didapatinya hari ini. Mengingat selama ini dia yang selalu memulai apapun terlebih dahulu, tapi sekarang, perempuannya yang melakukan itu.

Rindi menjauhkan wajahnya, membuka mata yang sempat terpejam. "Buka mata kamu, Bi," perintahnya sedikit terkekeh.

Menurut, Rafabian membuka matanya. Dua detik menatap wajah Rindi, laki-laki itu menunduk. Mencoba menyembunyikan raut merona yang bisa saja muncul di wajahnya. Karena detak jantungnya tak kunjung berubah normal, Rafabian melepas pelukannya di pinggang Rindi lalu berbalik.

"Rin ... itu kamu, 'kan?" cicit Rafabian yang mampu menggelitik pinggang Rindi.

"Ini aku, Bi ... kenapa? Memangnya aku gak bisa cium kamu duluan?" 

Rafabian menggeleng keras. "Jangan, Rin. Jantung aku gak aman kalau yang main duluan itu, kamu."

Lagi-lagi Rindi tergelak, ia berjalan dan berdiri di depan Rafabian. "Mau peluk." Dengan nada manja.

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang