11. Biaya Rumah Sakit"saya minta bantuan anda sekali lagi."
"Apa?"
"Beritahu saya dimana letak kursinya, saya, mau duduk." Ungkap Rindi sedikit terbata.
Senyum kecil Rafabian kembali muncul, "anda cukup berbalik, dan berjalan lurus. Kalau begitu, saya keluar." Rafabian berjalan mendekat kearah Rindi dengan perlahan, tidak mungkin ia akan meninggalkan perempuan itu sendirian saat ini. Hanya saja ia tidak menawarkan bantuan karena ia tahu Rindi pasti akan menolaknya.
Dan benar saja, tongkat yang ada dilengan kiri Rindi menabrak nakas yang ada disisi brankar. Membuatnya terhuyung kedepan karena ketidaksiapan kakinya untuk menahan beban.
"Aah!"
Rafabian segera menangkap pinggang perempuan itu secara refleks. Dirinya sendiri sadar bahwa saat ini perlakuannya terbilang tidak pantas untuk seorang yang bukan mahram baginya, tapi kejadian beberapa detik tadi adalah kecelakaan, dan tidak mungkin ia membiarkan Rindi terjatuh begitu saja.
"Kamu gak apa-apa?" Keterkejutan Rafabian berhasil mengubah tata bicaranya.
Rindi yang juga reflkes memeluk lengan kekar yang menolongnya segera mengangguk, "gak apa-apa." Kata Rindi sedikit berbisik.
"Kita duduk, pelan-pelan." Rafabian menuntun Rindi menuju sofa didepan sana.
Perempuan cantik itu terus memeluk lengan Rafabian yang masih melingkar apik dipinggangnya sebagai tumpuan berjalan. Untung saja kulit keduanya tidak bersentuhan karena lengan panjang kemeja abu-abu Rafabian.
Begitu Rindi duduk disofa, Rafabian segera menjauhkan lengannya dan mengambilkan Rindi air mineral botol yang ada diatas nakas.
"Kamu minum dulu." Rindi menerima dan segera meminumnya.
Rafabian masih berdiri didepan Rindi dengan jarak sembari beristigfar didalam hati atas perlakuannya tadi. "Maaf karena sudah lancang."
Rindi menghentikan aktivitasnya lalu menggeleng pelan, "aku yang seharusnya berterima kasih, dan minta maaf karena, udah pe-peluk ta-tangan kamu." Entahlah, tapi Rindi sedikit gugup mengakui kesalahannya tadi.
"Terima kasih kembali, kalau gitu, aku keluar dulu, nanti Ilham masuk temenin kamu." Berdua dengan Rindi jelas membuat detak jantungnya berpacu lebih cepat, ditambah kejadian tadi.
"Iya."
Rafabian berbalik, memegangi dada kirinya sembari tersenyum malu namun akhirnya kembali beristigfar. Begitu keluar dari ruangan, ia menghampiri Ilham yang duduk dikursi khusus tepat didepan ruang rawat inap milik Pak Razak.
"Anda silahkan kembali masuk, maaf merepotkan."
Ilham berdiri dari duduknya, mengangguki ucapan Rafabian, "tidak apa-apa, dokter."
"Kalau begitu, saya pergi dulu, saya kembali sekitar," Rafabian melirik jam tangannya sekilas lalu kembali memandang lawan bicaranya, "2 jam lagi."
Setelahnya, ia berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit untuk kembali bergabung dengan para dokter lain. Tapi jangan lupakan lafadz istigfar yang senantiasa ia ucapkan walaupun dibalik itu ada senyum kecil yang ia sembunyikan.
...
Didalam kamar rawat inap, Rindi masih termenung mengingat kejadian tadi, detak jantungnya berpacu tidak karuan sejak beberapa menit lalu.
Aku tadi peluk tangan dia, kan? Tanya Rindi membatin.
Ya Allah, Rindi minta maaf.
Mendengar suara knop pintu berdecit pelan, Rindi berusaha menetralkan detak jantungnya, berusaha bersikap biasa saja. "Ilham?"
"Iya, ini aku, kamu butuh sesuatu?" Tanya Ilham sembari berjalan mendekat kearah Rindi.
"Gak, aku gak butuh apa-apa. Hm, kamu bisa ke resepsionis, gak?"
Ilham paham maksud dari pertanyaan Rindi, ia juga tidak begitu percaya dengan ucapan Rafabian tadi perihal kamar rawat yang terbilang mewah ini. "Bisa, kamu tunggu disini, aku ke bawah dulu. Kamu jangan keluar-keluar, kamu duduk disitu aja."
Rindi mengangguk patuh. "Iya"
Hanya beberapa detik, derap langkah Ilham semakin menjauh dan ditutup oleh suara knop pintu yang berdecit. Rindi tidak bisa membayangkan keadaaannya saat ini kalau saja Ilham tidak ada. Laki-laki itu sangat banyak membantu sejak dulu. Dan bisa dibilang, Ilham adalah laki-laki baik setelah ayahnya. Tapi walaupun begitu, rasa trauma yang dialaminya masih sering menciptakan imajinasi buruk tentang laki-laki asing.
Rindi diam beberapa saat, memikirkan biaya perawatan Ayahnya yang dijamin tidak akan murah, dan kalau saja ucapan Dokter muda tadi benar, bahwa kamar perawatan ini masih mampu ditanggung kartu kesehatan, tetap saja biaya obat untuk sang Ayah dan makan untuk dirinya dan Ilham masih masuk dalam pengeluaran untuk beberapa hari kedepan, mengingat kondisi Ayahnya yang masih belum sadarkan diri.
Rindi menunduk, menengadah, lalu menolehkan kepalanya. Air matanya luruh begitu saja, kegelapan yang ia rasakan saat ini sangat menyiksa. Jika ia bisa memilih, ia lebih baik tidak bisa berjalan dari pada tidak bisa melihat, setidaknya ia bisa membantu Ayahnya disaat seperti ini.
"Ibu Jangan jemput Bapak ya, Bu. Rindi masih mau sama Bapak." Ditengah perasaannya yang kacau, ia terus mengeluarkan semua yang ia pendam selama ini. Air mata yang selalu ia tutupi dari Sang Ayah kali ini kembali luruh.
Rindi meraba kakinya, memukulnya berkali-kali tanpa suara. Ia benci hidupnya yang begitu malang. Cacat fisik yang ia miliki terasa begitu berat untuk ia tanggung. "kalau Bapak pergi, bawa Rindi ya, Pak."
Rindi menghirup udara dengan rakus, mengisi kekosongan oksigen didalam paru-parunya. Ia mencoba untuk kembali tenang, walaupun nyatanya tetap tak mudah.
Tik
Tik
Tik
Suara dari monitor EKG yang terhubung langsung dengan detak jantung Ayahnya terus berbunyi nyaring. Mengusik gendang telinga Rindi, seolah tidak mengizinkan untuk tenang dari semua pikiran buruknya.
Perempuan itu menggeleng keras, "Bapak pasti sembuh, aku percaya Bapak kuat." Ucapan dimulutnya berbanding terbalik dengan apa yang ada didalam hati. Cairan bening dari pelupuk matanya masih terus turun. Rindi yang mulai lelah memilih untuk bersandar pada punggung sofa yang didudukinya. Memejamkan matanya hingga tertidur dalam posisi duduk.
....
"Permisi, saya mau urus adminitrasi atas nama Pak Razak."
Perempuan dengan jas putih yang bertugas dibagian adminitrasi itu mendongak. Segera berdiri dari duduknya dan mengotak atik layer computer didepannya. "Pasien kamar berapa, Mas?"
"VIP kamar 3."
"Pak Razak pasien VIP kamar 3 dilantai dua. Adminitrasinya sudah terbayarkan, Mas."
"terbayarkan?" Sudah Ilham duga masalah ini.
"Pembayaran sebesar 2 juta, kamar perawatan sebelumnya, biaya makan dan termasuk obat sudah ditanggung oleh kartu kesehatan." Ucap sang resepsionis.
"Untuk kamar yang sekarang, biaya permalamnya berapa?"
"Karena pemindahan pasien atas perintah dari salah satu Profesor, kamar yang digunakan sudah ditanggung lunas kartu kesehatan."
Ilham menaikkan alisnya tak percaya, apa benar yang dikatakan perempuan didepannya ini?
"Dan kalau Mas tidak percaya dan sekiranya menganggap saya berbohong, silahkan tulis tanggapan anda dibagian sana. Pihak rumah sakit akan langsung menanganinya." Ucap perempuan itu dengan senyum tulus.
Ilham merasa tak enak hati, "saya percaya, kalau begitu, terima kasih."
...
Maaf ya, minggu kemarin sempat publish, tapi tiba-tiba di unpublish lagi. Yang kemarin gak sengaja kepencet. Heheh
Mau bilang apa ke Rindi? Ada pesan gak?
Rafabian?
Ilham? Siapa tau ada yang minat minta penjelasan dari dia gitu?
Votenya jangan lupa!! Syukron! 😸🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Muda Rafabian (SELESAI)
RomanceMenyukai perempuan yang trauma dengan laki-laki adalah sebuah kesalahan bagi Rafabian. Tapi mau bagaimana? Ini bukan salahnya kan? Ini ia anggap sebagai tantangan. Dengan jalur langit dan dukungan semesta. "Mencintainya adalah anugrah terbesar. Da...