Tandai typo!
Happy reading♡
...Rafabian dan Pak Razak menunggu kurang lebih 50 menit lamanya. Hingga Rindi dan dokter Bunga keluar dari ruang pribadi milik dokter Bunga.
Lengkungan bulan sabit tercipta jelas dibibir merah muda seorang Rindi. "Pak, katanya bentar lagi Rindi bakalan bisa jalan." Pekiknya bahagia.
Tanpa sadar, Rafabian ikut tersenyum. Pak Razak bangkit dari duduknya, menghampiri sang puteri yang duduk diatas kursi roda, lalu berlutut, "alhamdulillah. Sebentar lagi bapak bisa liat kamu jalan lagi." Kecupan syukur pria paruh baya itu daratkan diatas lutut Rindi.
Rindi meraba wajah ayahnya. Menangkup kedua pipi sang ayah, lalu mendekatkan wajahnya, dan mengecup dahi yang terasa sedikit dingin itu, "tunggu Rindi bisa jalan ya, Pak." Ujarnya kemudian.
Pak Razak mengangguk cepat. "Pasti, nak."
Rafabian menatap dokter Bunga. Memerintahkannya mendekat dengan menggunakan anggukan. Paham dengan isyarat Rafabian, dokter Bunga melangkah mendekat. Memberikan ruang untuk anak dan ayah disana.
Setelah berjalan beberapa langkah dan sedikit menjauh dari Rindi dan Pak Razak, Rafabian berhenti. Dokter Bunga yang memang sedari dulu cukup mengenal kepribadian Rafabian ikut berhenti dengan jarak satu meter.
"Ada apa dokter?" Tanya dokter Bunga to the point.
"Sebelumnya terima kasih karena sudah mau membantu pasien tadi, dan mohon maaf atas waktunya." Jawab Rafabian yang diangguki dokter Bunga, "saya tau ini privacy, tapi saya mau tau bagaimana kondisi pasien tadi?"
Dokter Bunga mengangguk terlebih dahulu lalu menjawab, "pasien atas nama Rindi harus terapi fisik satu kali lagi sebelum belajar berjalan."
"Apa dimulai dari awal lagi?"
"Tergantung kekuatan fisiknya. Tapi bisa jadi prosesnya dimulai dari awal, mengingat pasien sudah tidak berjalan sekitar 3 tahun."
....
"Bapak sudah mau pulang?"
Rindi dan Pak Razak menoleh kompak kearah sumber suara. "Tidak perlu repot-repot pak dokter, saya sama bapak bisa pulang naik angkot." Sela Rindi sebelum sang ayah menyaut.
"Tidak. Saya yang sudah antar kalian ke sini, dan saya juga yang harus antar kalian pulang." Tolak Rafabian.
"Tidak perlu, terima kasih dan mohon maaf telah merepotkan." Kata Rindi lagi.
Pak Razak yang sedari tadi berdiri di samping Rindi menatap Rafabian tak enak hati. Ia menggeleng pelan, "tidak perlu pak dokter. Saya sama Rindi bisa naik angkot. Terima kasih sebelumnya."
"Tidak, Pak. Saya sama sekali tidak direpotkan."
"Sekali lagi terima kasih pak dokter." Ucap Rindi dengan wajah datarnya. Ia menggenggam tangan Pak Razak yang sedari tadi di pundaknya. "Pak, ayok pulang."
Pak Razak mengangguk pada Rafabian dan dokter Bunga yang ada dibelakang Rafabian. "Terima kasih dokter, saya pamit."
Dokter Bunga mengangguk, sedangkan Rafabian tidak merespon. Ia terus memandangi punggung pria paruh baya itu hingga menghilang di balik tembok.
"Apa dia keluarga, dokter?" Dokter Bunga buka suara.
"Bukan. Tapi mereka tanggung jawab saya."
...
Disepanjang koridor rumah sakit, Rindi terus berceloteh, menceritakan kejadian tadi saat didalam ruang pribadi milik Dokter Bunga. Pak Razak hanya bisa menanggapi dengan seadanya. Didalam lubuk hatinya hanya ada rasa tak enak hati pada dokter Rafabian. Laki-laki baik yang sudah ia direpotkan sedari tadi.
"Katanya Dokter tadi, Rindi cuman butuh satu kali terapi lagi, baru bisa latihan jalan."
"Alhamdulillah."
Begitu langkah Pak Razak terhenti di trotoar jalan, sebuah mobil berwarna biru dengan papan nama diatasnya juga ikut terhenti didepan Rindi dan Pak Razak.
Sang sopir yang berseragam biru keluar dari kursi kemudinya. Pak Razak sedikit bingung saat supir itu mendekatinya lalu membisikkan sesuatu.
"Rindi, kita naik taksi aja ya, nak?" Tanya Pak Razak sedikit keras agar puteri semata wayangnya bisa mendengar ditengah-tengah keramaian jalan raya.
"Memangnya uang bapak cukup?" Bukannya mengapa, tapi taksi adalah kendaraan roda empat dengan bayaran yang tidak sedikit. Berbanding terbalik dengan naik angkot yang biayanya lebih terjangkau.
"Ada, bapak punya uang lebih. Kita naik taksi saja, ya."
Rindi akhirnya mengangguk, "iya, Pak."
Selang beberapa detik, supir taksi tadi pun bersuara. "Mari saya bantu."
Rindi sedikit terkejut, pasalnya, sedari tadi ia tidak mendengar adanya mobil yang berhenti dan suara pintu mobil yang tertutup. "Loh? Supirnya sudah ada, Pak?"
Pak Razak sedikit terkekeh, "sudah, nak."
Rindi yang masih bingung hanya mengangguk kecil. Pak Razak membawa Rindi kedalam gendongan ala brydal style untuk mendudukkannya didalam mobil. Sedangkan supir tadi, ia mengambil alih kursi roda Rindi.
Dikejauhan, Rafabian terus mengamati interaksi disebelah sana hingga mobil yang ditumpangi Pak Razak dan Rindi menghilang dari keramaian jalan.
"Astagfirullah...," gumam Rafabian saat menyadari ia terus menatap senyum Rindi sedari tadi.
....
Sesampainya dirumah, Pak Razak langsung membawa anak semata wayangnya ke kamar Rindi.
"Bapak!" Baru saja akan keluar dari kamar, Rindi yang berbaring di kasur langsung memanggil ayahnya.
Pak Razak berbalik, "kenapa? Rindi mau apa?" Tanya Pak Razak beruntun.
Rindi menggeleng, ia menepuk kasur disampingnya, memberi isyarat agar sang ayah duduk disampingnya.
Pak Razak mendekat, "kenapa, nak?"
"Rindi gak suka liat bapak dekat sama orang asing, apalagi cowok." Ucap Rindi to the point, tampak jelas raut wajahnya tidak bersahabat.
"Dokter Rafabian itu baik, nak. Bapak sama dia juga sebatas pedagang sama pembeli, gak lebih."
"Tapi tetap aja, Rindi gak suka kalau Bapak terlalu dekat."
"Memangnya kenapa?"
"Pokoknya Rindi gak suka, Pak." Final gadis dengan wajah cantik itu.
Pak Razak akhirnya mengangguk. "Iya, Bapak gak bakal dekat sama dia lagi."
Rindi memeluk sang ayah dari samping, "Rindi gak mau kejadian kemarin terulang, Pak. Walaupun dokter itu tulus membantu kita, tetap aja Rindi khawatir."
"InsyaAllah dia tidak seperti yang kamu pikirkan." Batin pria paruh baya itu.
"Justru bapak rasa, dia orang yang tepat untuk kamu...,"
"Kenapa, Pak?" Tanya Rindi yang mendengar dengan samar ucapan sang ayah. Walaupun kalimatnya tidak sejelas itu.
"Bapak cuman mau kamu jangan terlalu berpikiran buruk sama orang lain, apalagi mereka sudah bantu kita."
Rindi melepas pelukannya,"bahkan awalnya Bara juga seperti itu, Pak. Bahkan dia sudah beliin kita rumah, mobil, dan bayarin rumah sakit, Ibu. Tapi apa? Dia justru mau mencelakakan Rindi, Pak." Ujar Rindi dengan ketus.
"Iya-iya, Bapak minta maaf."
"Pengalaman kemarin dapat aku pastikan tidak akan terulang, karena hari ini, aku takut untuk kembali mengenal orang baru." Batin Rindi menjerit.
....
Sekian, terima vote💖
Syukron💜😽

KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Muda Rafabian (SELESAI)
RomanceMenyukai perempuan yang trauma dengan laki-laki adalah sebuah kesalahan bagi Rafabian. Tapi mau bagaimana? Ini bukan salahnya kan? Ini ia anggap sebagai tantangan. Dengan jalur langit dan dukungan semesta. "Mencintainya adalah anugrah terbesar. Da...