Tidak terasa, perjalanan rumah tangga pasangan kita, Rafabian dan Rindi sudah berjalan selama hampir 15 bulan. Dan hari ini pula jadwal check--up terakhir Rindi untuk kemudian bersalin. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, setelah dari check-up, Rafabian berencana membawa anak dan istrinya untuk berbelanja beberapa keperluan bayi di salah satu toko langganan Alhara.
Bicara tentang bayi, sudah sebulan ini keluarga Edzar dan Alfarabi selalu berkunjung ke rumah Rafabian dan Rindi hanya untuk memantau calon anggota baru di keluarga mereka tetap baik-baik saja. Rindi sangat bahagia atas kehadiran keluarga Rafabian di kediamannya. Karena itu artinya, semua orang akan mencintai anaknya nanti. Tidak seperti dia yang dibenci oleh keluarga Ayahnya hanya karena pernikahan orang tua Rindi yang tidak pernah direstui.
"Sayang, kenapa? Capek banget, ya?" Dengan lemah lembut. Rafabian membantu Rindi untuk duduk di sampingnya. Hingga perempuannya duduk dengan tenang, tangan laki-laki itu tanpa diminta sudah memijat kecil tulang ekor Rindi.
Rindi tersenyum teduh. "Adek bayi kayaknya udah gak sabar mau lihat dunia."
"Aku bukan tanya itu, Sayang," kata Rafabian.
"Aku gak apa-apa, kok. Udah sering, kan?"
"Kita gak usah ke toko baju, ya? Nanti biar toko-nya yang datang ke sini."
Mata Rindi membola sempurna, pendengarannya tidak salah dengarkan? "Ha? Toko baju ke rumah?" tanyanya memastikan.
Rafabian mengangguk. "Nanti aku telepon pemiliknya. Aku gak mau kamu kenapa-napa, Sayang," ujarnya dengan sangat santai. Membuat Rindi geleng-geleng mendengarnya.
"Memangnya bisa?"
"Bisa. Yaudah, kita ke rumah sakit, ya, sekarang."
Rindi mengangguk. Sebelum benar-benar berangkat, Rafabian terlebih dahulu menelepon Refan dan Mayra untuk datang menemani Bian yang masih tertidur di dalam kamar. Bocah laki-laki itu tertidur kembali setelah pulang dari masjid saat subuh tadi bersama sang ayah.
....
Dokter kandungan yang menanganinya sejak awal kehamilan menatap Rindi dan Rafabian bergantian guna mempermudah komunikasi di antara mereka. Setelah mendapat beberapa nasehat untuk yang ke sekian kali, pasangan suami istri itu mengucapkan terima kasih dan segera pulang. Hanya beberapa menit, mobil pribadi Rafabian sudah terparkir di dalam garasi.
"Mommy! Daddy!" Kalian bisa menebak siapa teriakan bocah laki-laki itu. Dua bulan tinggal bersama orang tua angkatnya, Bian berubah menjadi manusia mungil yang gemuk. Pipi yang semula sangat tirus sudah berhasil menampung banyak lemak. Kulit usangnya tampak lebih cerah. Bisa dibilang, Bian tampak sangat-sangat terurus sekarang.
"Bian, jangan peluk Mommy!" cegah Rafabian dengan satu tangan yang menjadi tameng untuk perut Rindi.
Bian yang berlari kencang hampir saja terjatuh karena berhenti mendadak. "Ups! Hampir ...." Bian menghela napas panjang, satu tangan gemuknya mengelus dada berkali-kali. "Dedek bayi gak apa-apa, kan?" tanyanya lembut sambil menciumi perut Rindi. Membuang sensasi geli bagi sang Ibu.
"Lain kali hati-hati, ya, Sayang? Takutnya dedek bayi sakit kalau ditabrak sama kamu."
"Siap, Daddy! Lain kali Bian ingat!" ucapnya semangat, "kalau gak lupa, tapi," lanjutnya sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal.
Ketiganya segera masuk ke dalam rumah. Rafabian dan Rindi terkejut bukan main kala melihat seisi ruang tamunya sudah di penuhi dengan baju berplastik yang berhamburan di mana-mana. Di antara banyaknya baju, tiga orang perempuan berseragam biru sudah menenteng baju di kedua tangan mereka.
Belum sempat bertanya, suara lembut tiba-tiba menjadi fokus Rindi dan Rafabian. Perempuan bercadar dengan pakaian serba hitam baru saja datang dari dalam dapur. Di tangannya sudah ada nampan besar yang berisi tiga cangkir air dan tiga toples kue kering. "Kalian sudah pulang? Ini, kata Alen kalian mau ke toko baju. Tapi Bunda gak mau menantu Bunda kecapean, jadi tokonya Bunda suruh ke sini."
Rindi dengan dibantu Rafabian ikut duduk di sofa yang sebagainnya sudah ditutupi pakaian bayi. Rindi berkaca, menatap Alhara yang duduk di seberang bersama tiga orang lain. "Makasih, Bunda."
"Kamu mau pilih baju yang mana? Semua juga boleh," kata Alhara berusaha mencairkan suasana. Terdengar kekehan kecil dari Rindi. Mata cantiknya menelisik semua baju, hingga pandangannya tiba pada satu baju kecil berwarna merah muda dengan desain cantik. Dia mengingat sesuatu,
"Din, kalau kita nikah dan punya anak, aku mau anak kita pakai baju ini."
"Apaan, sih, Ndra! Kita masih sekolah tau!"
"Tapi tunggu, aku mau anak kita pakai baju ini! Cantik banget!"
Baju yang sama .....
"Kamu suka itu?" tanya Rafabian melihat respon Rindi yang senyum-senyum sendiri menatap satu baju di bagian tengah.
"Aku suka, tapi itu bukan yang aku mau sekarang."
Walaupun diliputi rasa bingung, Rafabian tetap mengindahkan ucapan Rindi. Ia memilih untuk mencari baju lain dan menunjukkannya pada Rindi. Satu dres biru sederhana dengan gambar bunga di bagian kerahnya, sangat cantik. "Yang ini?" tanya Rafabian.
Rindi mengangguk antusias. Baju merah muda tadi jauh lebih indah, tapi tetap saja, bukan itu yang Rindi mau sekarang. "Cantik," ujarnya lirih. Ya, Rindi tidak berbohong, baju bayi yang dipilih oleh Rafabian juga indah, dan sederhana.
"Mbak, tolong pilihkan baju yang paling bagus. Tapi stoknya tidak banyak."
"Buat apa, Bunda?"
Alhara menoleh pada Rindi. "Untuk cucu pertama, Bunda."
Rafabian tersenyum lembut. Dia berhasil, berhasil membawa Rindi dari sisi trauma dan menjadikannya wanita yang bahagia. Apa perempuannya akan tetap bahagia dan disayangi banyak orang jika seandainya laki-laki itu pulang terlebih dahulu?
"Rin," panggil Rafabian sedikit berbisik. Sengaja agar tidak ada yang mendengar panggilannya selain sang pemilik nama.
Begitu Rindi menatapnya bertanya, Rafabian bertanya, "Apa kamu bahagia hidup sebagai pendamping hidup aku?"
"Kalau kamu?" Bukan menjawab, Rindi mau mendengar jawaban pertanyaan Rafabian dari mulut laki-laki itu sendiri.
"Sangat-sangat bahagia."
Rindi mengangguk beberapa kali.
"Kamu?" tanya Rafabian.
"Sudah kamu jawab, Bi."
"Ha?"
Rindi menggenggam satu tangan Rafabian. Sangat erat. "Jawaban kamu tadi, itu jawaban yang mau aku utarakan."
"Janji tetap sama-sama?"
Rindi mengangguk. "Janji. Sekalipun maut memisahkan, kamu tetap yang terakhir."
Alhara yang tadinya sibuk bersama tiga orang pegawai toko langganannya menoleh saat tidak mendengar apa-apa dari pasangan di seberang. Mata bulatnya menyipit, menandakan ada senyuman tersembunyi di balik cadar itu.
"Allah ..., jika bisa, lamakan hubungan mereka. Jauhkan maut hingga mereka bisa puas dengan bahagia mereka di jalan-Mu. Pulangkan mereka jika anak-anak mereka sudah bisa hidup mandiri." Alhara menundukkan pandangan tidak kuasa menahan air mata. Doa tulus yang baru saja melambung tinggi harap bisa dikabulkan oleh Tuhan.
.....
Maaf baru publish. Ada satu dan lain hal yg sedikit menunda untk melanjutkan cerita ini.
Garing, ya? Entar Ending baru deg-degan!!
TANDAI TYPO DAN PENCET TOMBOL BINTANG!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Muda Rafabian (SELESAI)
Любовные романыMenyukai perempuan yang trauma dengan laki-laki adalah sebuah kesalahan bagi Rafabian. Tapi mau bagaimana? Ini bukan salahnya kan? Ini ia anggap sebagai tantangan. Dengan jalur langit dan dukungan semesta. "Mencintainya adalah anugrah terbesar. Da...