12. Rumah sakit✧

3.2K 189 8
                                    

Dinding putih, infus yang menggantung dengan bau obat-obatan khas rumah sakit menjadi hal yang pertama Fabio liat, matanya masih mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk dalam retinanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dinding putih, infus yang menggantung dengan bau obat-obatan khas rumah sakit menjadi hal yang pertama Fabio liat, matanya masih mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk dalam retinanya. Tangannya memegang keningnya sendiri, kepalanya masih berdenyut tetapi lebih baik dari sebelumnya.

"Ada yang sakit?" Tanya Yuni yang baru saja masuk ke dalam setelah beberapa keperluan yang dibutuhkan, Yuni tersenyum hangat menyambut Fabio yang sudah terbangun dari tidurnya.

Fabio menjawab dengan gelengan disertai senyum tipis, rasanya masih lemas untuk sekedar berbicara. Anak itu memejamkan matanya saat merasakan sentuhan lembut Yuni di pucuk kepalanya, rasanya begitu menenangkan.

"Nenek panggilin dokter dulu ya."

Fabio membiarkan neneknya berjalan menjauh, remaja berlesung pipi tersebut menghela napasnya bersyukur sebab masih diberi umur agar bisa melihat dunia lebih lama lagi. Sekitar 2 bulan yang lalu dirinya di rawat di rumah sakit sebab mendapatkan serangan yang cukup besar, rasanya tetap tidak membuat Fabio betah walau sering keluar masuk rumah sakit.

Serangan yang tadi malam ia dapatkan memang harus butuh pertolongan cepat, jika biasanya masih bisa ditangani dengan meminum obat, tetapi tadi malam obat tersebut seperti sudah tidak bereaksi apapun.

Pintu kembali terbuka menampilkan seorang dokter dan Yuni dibelakangnya, dokter tersebut langsung saja memeriksa kondisi Fabio dengan telaten.

"Kapan boleh pulang?" Tanya Fabio dengan tiba-tiba dengan suara pelannya, sementara dokter tersebut sedikit terkekeh mendengarnya.

"Kita liat perkembangan kamu kedepannya ya, kalo membaik besok atau lusa boleh pulang," jawab sang dokter dengan ramahnya seraya mengancingkan baju rumah sakit yang Fabio pakai setelah memeriksa tubuhnya.

"Buat kedepannya, kamu jangan capek-capek ya. Main yang kuras tenaga di kurangin, makannya jangan sampe telat, minum obatnya jangan di lupain. Olahraga boleh tapi jangan yang berat-berat," tutur dokter itu menatap pasiennya. Sementara Fabio hanya tersenyum tipis mendengarnya, kalimat yang sering dokter katakan padanya.

Selepas dokter tersebut pergi dari sana, Yuni mendekat dan duduk di samping bed itu.

"Nek, haus," pintanya pada Yuni. Dengan senang hati wanita tersebut membantu cucunya untuk minum setelah menegakkan sedikit bed itu setengah duduk.

"Makan dulu ya, nenek buatin sop buat Bio." Tawaran Yuni tidak di tolak Fabio, Yuni dengan telaten menyuapi hingga nasi itu sudah di makan tengahnya, Fabio meminta sudah.

"Apa kata dokter nek, Bio mohon jangan sembunyiin kondisi Bio." Yuni menggenggam tangan yang tidak diinfus dan meremasnya pelan.

"Jantung kamu makin parah Bio, maafin nenek yang nggak bisa bantu apa-apa buat hilangin rasa sakitnya."

Fabio sudah tahu hal itu akan terjadi, jelas dia tahu bagaimana kondisi tubuhnya yang sebenarnya. Fabio tahu tentang penyakitnya yang semakin lama akan semakin parah seiring berjalannya waktu, dan pada kasusnya ini katub jantungnya yang bermasalah bertambah parah dengan cepat dalam waktu yang singkat.

Batas Akhir [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang