Ada banyak hal yang ingin Fabio ketahui, salah satunya bagaimana rasanya berteman. Bermain bersama berbagi canda tawa, berkumpul bersama dengan bergurau. Saat kecil, sebelum keluarganya hancur, Fabio tidak memiliki teman dekat, mereka seolah sengaja menjaga jarak padanya, Fabio tidak tahu alasannya. Namun sepertinya hari ini Fabio akan benar-benar mendapatkan seorang teman, Gama berkata jika pemuda itu akan membawa sang adik mumpung hari libur untuk menemani Fabio, agar tidak kesepian.
Fabio sangat senang mendengarnya, Gama memang benar-benar sangat peduli dengannya, pemuda itu tulus padanya hingga berbuat seperti ini padanya, tetapi dibalik itu Fabio berpikir Gama membawa sang adik, yang seumuran dengannya kesini agar Fabio tidak kabur lagi. Namun Fabio masih percaya jika Gama benar-benar peduli dengannya.
Kini mata itu tidak henti-hentinya melihat ke arah pintu yang tertutup rapat, jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Sambil menggerutu kesal, karena yang ditunggu tidak datang-datang, Fabio bersedekap dada.
Biasanya saja, Gama sudah stay di kamarnya sebelum dirinya bangun, tetapi saat ini kenapa pemuda itu terlambat. Apalagi hari 'kan Fabio tidak sabar mendapatkan teman baru.
Hingga 10 menit kemudian, pintu kamarnya terbuka menampilkan satu cowok yang sudah Fabio dan seorang gadis yang tidak Fabio kenal. Keduanya lantas mendekati dirinya, tatapan Fabio tidak lepas dari gadis di samping perawatnya itu.
"Kak Gama telat nih, gue bosen nunggunya" gerutu Fabio, dan melepaskan tatapannya dari gadis dengan hijab warna cream tersebut.
"Salahkan cewek ini yang dandannya lama," Gama menunjuk gadis disampingnya, "Nah Bio, sesuai janji kakak kemaren. Kenalin ini adek kakak, Naila" ujar Gama.
Gadis yang memiliki nama Naila itu tersenyum, tangannya terulur untuk berjabat tangan pada cowok didepannya. "Gue Naila, salam kenal."
Fabio juga membalas senyuman itu, menerima jabat tangan itu dengan ramah. "Fabio, salam kenal juga."
"Ya udah, kalian disini dulu. Kakak mau ambil makan buat Bio. Buat lo anak nakal," tangannya menunjuk Fabio yang memandang jengah Gama, tidak menyangka jika pemuda itu masih menyindir tentang kemarin, "awas kabur lagi."
"Iya-iya udah sana pergi. Udah laper nih" balasnya dengan nada ketus.
Tinggallah kedua remaja berbeda jenis kelamin tersebut, keadaan menjadi canggung setelah kepergian Gama. Baik Naila dan Fabio tidak ada yang berniat untuk membuka percakapan, hingga Naila memutuskan untuk membuka suara terlebih dahulu.
"Bang Gama sering cerita tentang lo, katanya lo itu anak yang kuat, gue salut dengernya." Naila tidak mengalihkan perhatiannya pada Fabio.
"Terus apa tanggapan lo setelah bertemu gue sekarang? Apa gue masih terlihat kuat, seperti yang kak Gama bilang?"
"Iya, lo kuat Bio. Pandangan tentang gue ke lo nggak salah."
Fabio terdiam, apa benar dirinya kuat seperti yang dikatakan? Mereka baru saja bertemu, tetapi tanpa ragu Naila sudah mengatakan pendapatnya pada dirinya.
"Gue tau kayaknya lancang banget baru ketemu langsung sok tau tentang lo Yo. Tapi apa yang dikatakan gue barusan bener apa adanya" katanya menyadari keterdiaman Fabio, Naila hanya takut jika perkataannya barusan menyakiti hati Fabio.
Naila tentu tahu Fabio, Gama selalu menceritakan tentang anak laki-laki yang di asuhnya itu ketika pulang bekerja. Sebenarnya sudah lama Naila ingin pergi untuk menemui anak laki-laki yang menjadi adik ke-2 kakaknya tersebut bagaimana, tetapi belum ada waktu yang tepat, Gama juga menceritakan jika Fabio kesepian dan selalu berusaha kabur karena tidak ada teman, jadilah Naila berinisiatif untuk menjadi teman untuk Fabio.
"Oh iya, gue juga bawaan biskuit buat lo. Kata kak Gama sih lo suka nyemil ini," kata Naila lagi, meletakkan totebag yang berisi kue tersebut di nakas dekat kasur Fabio.
"Makasih banyak, nanti pasti gue makan."
Tidak berapa lama dari itu, Gama sudah datang membawa nampan berisi makanan untuknya. Kali ini Fabio tidak menolak untuk makan, cowok itu segera minum obatnya setelah makanan tandas.
Tangan Fabio beralih ketotebag yang ada di atas nakas itu. "Kalian juga makan, gue nggak bakal bisa abisin ini sendiri." Kedua orang didepannya tidak menolak, mereka makan bersama kue tersebut diiringi obrolan ringan.
***
Satya menghela napasnya lega, ketika pasien yang sempat mengamuk ditengah melakukan terapi tadi berhasil ditenangkan setelah menyuntikkan obat penenang. Pekerjaannya tidak bisa dibilang enteng, kadangpun Satya harus ikut terluka ketika menangani mereka yang sudah diluar kendali. Tetapi semua itu dijalani Satya dengan hati yang tulus, bisa membantu dan berhasil membuat mereka keluar dari lubang kegelapan mereka merupakan hal yang memuaskan tersendiri bagi Satya.
Dokter itu lantas pergi keruang kerjanya, membiarkan pasiennya untuk istirahat. Setelah ini ada hal yang harus Satya lakukan.
Satya merogoh saku jas dokternya untuk mengambil ponsel. Mencari sebuah nama kontak lalu menelpon nomor tersebut, tidak lama kemudian sambungan telepon tersambung.
"Ada apa menelpon ku sepagi ini?" Perkataan sarkas Satya terima didetik pertama telepon tersebut tersambung, Satya hanya bisa menghela napasnya.
"Ini tentang Fabio. Anak itu benar-benar merindukan dirimu, Rin."
"Tolong katakan padanya jangan lagi merindukan diriku. Kita tidak akan pernah bertemu lagi."
"Ini tidak semudah seperti apa yang kamu pikirkan, jika kau tidak bisa membawa Bio kembali, tolong sekali saja kau datang untuk menemuinya. Ingat dia anakmu Airin."
"Kau seharusnya bisa lebih memberi pengertian lagi padanya."
"Harus kata apa lagi yang harus aku katakan padanya? Dia itu hanya butuh kamu sebagai ibunya, seharusnya kau mengerti itu."
"Kau bilang aku harus mengerti? Memangnya selama ini yang mengurus semua pengobatan, makan dan segala keperluannya disana siapa jika bukan aku?"
"Ya ya, aku tahu itu. Aku tahu kau memberi dia nafkah, tapi kau tidak memberi kasih sayang yang selama ini Bio rindukan."
"Itu sudah aku suruh kau untuk mengurusnya, pintar-pintarlah kau memberi dia nasehat untuk tidak menanyakan dimana ibunya."
"Fabio bukan anak kecil lagi yang ditawari permen langsung menurut. Jika kau ingin tahu, kemarin anak itu berusaha untuk kabur lagi sampai membuatnya kambuh." Airin, ibu Fabio yang tengah ditelpon oleh Satya memilih terdiam saat Satya selesai mengatakan itu.
"Aku takut dia melakukan hal yang nekat, aku tahu dia. Anak itu tertekan." Tidak ada jawaban lagi setelah Satya melanjutkan perkataannya, justru sambungan telepon yang dimatikan oleh Airin dari sana.
"Semoga kau paham dengan ucapanku barusan, Rin" gumamnya, menatap layar hitam komputer didepannya.
TBC...
[]
Lampung, 27062022
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Akhir [END]✓
Fanfiction"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa yang akan Fabio lakukan? Tetap berjuang hingga semesta menerimanya, atau memilih untuk menyerah sepert...