Senyum tidak luntur di ranum pucat itu, Fabio sudah tidak sabar akan kepulangannya hari ini, jam sekarang sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ia memandang sang ibu, nenek beserta kedua ayahnya yang berada disana, tidak ketinggalan , Tiara, Gio, Andi, Wildan, Firda, Remada, Atttaka dan seseorang yang sangat di sayang oleh Fabio, Gama.
Gama juga turut merasakan senang, ketika harapan Fabio akhirnya bisa terwujud. Bertemu dan tinggal lagi bersama sang ibu, Gama senang ketika Fabio tidak hentinya memancarkan kebahagiaan di matanya. "Bahagia terus Yo.*
"Mau gendong aja. Boleh?" Tawar Fabio, ketika Satya mendekatkan sebuah kursi roda untuknya. Satya memberinya senyuman, lantas mengusap rambut Fabio dan mengatakan jika itu adalah bukan hal yang sulit untuk tidak di kabulkan.
Satya berjongkok didepannya, dengan perlahan Fabio naik ke punggung tegak tersebut. Hal tersebut tidak lepas dari pandangan semua orang yang berada disana, termasuk Rio sendiri yang sedikit merasa cemburu melihatnya.
Fabio menyamankan dirinya di punggung Satya, rasanya begitu menenangkan, pantas saja dulu Fabio selalu merasa nyaman dan selalu aman saat bersama Satya, mungkin hubungan anak dan ayahlah yang membuatnya seperti itu, "papa... Bio boleh manggil kayak gitu?" Bisiknya pelan ditelinga Satya.
Tidak ada alasan bagi Fabio untuk menghindar dan tidak bisa menolak jika Satya ayahnya, Fabio menerima Satya dan kini ia memberanikan memanggil pria itu dengan panggilan yang ia inginkan.
Satya yang sedikit terhenyak ditempatnya tidak bisa menyembunyikan senyum yang terbit, "panggil ayah sesuka kamu nak, papa?... Ayah suka panggilan itu."
Sedikit rahasia, jika Fabio dan Satya diam-diam melakukan deeptalk. Tujuannya adalah agar Fabio tidak menyimpan kesakitan nya sendiri dibantu Satya sendiri, Satya tidak akan tinggal diam saja saat mengetahui jika psikis sang anak sedikit drop akibat kecelakaan yang terjadi.
"Makasih pa, nanti kalo ada waktu kita sholat bareng ya. Kalo bisa di masjid, Papa yang adzanin." Tanpa ragu Satya mengangguk setuju, Satya juga ingin merasakan beribadah bersama sang anak nanti.
"Janji harus sembuh? Minggu besok kesini lagi, ada jadwal ganti gips 'kan?" Satya mengingatkan, bisa ia rasakan jika Fabio mengangguk di balik punggungnya.
"Harus dong pa, memangnya siapa yang mau sakit terus? Lagian Bio itu kuat Pa, kalo kata Mada tadi 'kak Bio kayak iron man'." Mengingat Remada, bisa 'kan jika Fabio menganggap anak kecil itu juga sebagai adiknya juga? Fabio juga ingin merasakan menjadi seorang kakak.
"Baik-baik disana sama bunda kamu ya? Kalo dia perlakuin kamu nggak baik, langsung bilang sama papa."
"Iya paaa... Papa cerewet kayak nenek."
***
Canggung, yang Fabio rasakan saat ini, setelah semua orang pulang meninggalkan Fabio, Airin, Gio, Andi, dan Remada di rumah tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Akhir [END]✓
Fiksi Penggemar"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa yang akan Fabio lakukan? Tetap berjuang hingga semesta menerimanya, atau memilih untuk menyerah sepert...