04. Tidak sendiri✧

3.2K 283 0
                                    

Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar, namun mampu Fabio lalui sendiri tanpa adanya keluarga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar, namun mampu Fabio lalui sendiri tanpa adanya keluarga. Walau begitu bukan berarti Fabio terbiasa. Jika bisa pun Fabio ingin tinggal bersama Ibunya lagi, walaupun Ibunya tidak menyukai kehadirannya. Itu lebih baik daripada harus sendiri setiap hari, karena sendiri itu sangat menakutkan baginya.

Fabio memejamkan matanya kala jantung yang terdapat di dalam dada kirinya masih berdenyut nyeri sisa serangan tadi. Dirinya dengan tenang mengatur napasnya sendiri. 

"Kenapa Bio? Dadanya sakit lagi?" Tanya Satya yang memang kebetulan sedang mengecek keadaan anak itu, walaupun dirinya dokter psikiater, tetapi Satya sudah tau cara menangani Fabio jika anak itu kambuh seperti ini.

Fabio hanya mengangguk kecil dengan tangan kanan yang memijit dadanya, berharap denyutan menyakitkan itu segera berakhir.

Satya sendiri langsung bergegas mencari obat anak itu yang berada di atas nakas, sengaja di letakkan di sana agar mudah dijangkau.

"Minum dulu." Fabio tidak menolak, mengambil obat pemberian Satya dan langsung menelannya bersama air. Obat tersebut tidak langsung bekerja, butuh beberapa waktu agar bisa meredakan sakit yang menyerang dada Fabio.

"Udah mendingan?" Tanya Satya.

"Lumayan, tapi masih sakit," jawabnya dengan nada lemas, wajahnya juga masih pucat efek sehabis serangan, yang pasti akan meninggalkan lemas ditubuhnya. Tangan Fabio masih setia mengurut dadanya yang masih nyeri itu.

Disaat-saat seperti inilah yang membuat Fabio tambah merindukan Airin, Fabio rindu dimana tangan lembut Airin menyentuh dadanya dan mengelus lembut untuk membantu dirinya mengurangi sakit yang ada. Fabio ingin mendapat perlakuan seperti itu lagi, rasanya hal itu terlalu sulit untuk ia dapatkan kembali.

"Om, kapan bunda dateng?" Pertanyaan bodoh yang sudah banyak Fabio tanyakan berkali-kali, walau sudah tahu jawabannya, entah kenapa dirinya tidak bosan menanyakan hal tersebut.

"Nanti pasti Bunda kamu dateng." Kalimat itu hanyalah untuk penghibur, Fabio tahu itu karena dirinya bukan lagi anak-anak yang bisa dibohongi.

"Kenapa ya Om, bunda ninggalin aku disini. Memang sih buat orang sakit layak aku, tapi aku 'kan nggak gila Om. Yang sakit itu jantung aku, bukan mental ku." Fabio lantas terkekeh, merasa geli sendiri mengatakan hal semacam itu, Fabio rasa dirinya sudah tidak pantas mengatakan semua itu.

Satya jelas tahu bagaimana sedihnya Fabio, dokter itu lantas membawa Fabio mendekat padanya untuk memberi kekuatan. Setiap kali Fabio menatapnya, anak itu seolah meminta pertolongan dirinya agar bisa membawa pergi, tetapi Satya tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu selain menemaninya.

"Maaf Bio."

"Om nggak salah, akunya aja yang batu." Fabio masih memejamkan matanya, menikmati afeksi dari Satya, sebuah perlakukan yang dirinya rindukan dari sosok Ayah.

"Kamu kalo mau istirahat nggak apa Bio, biar om temenin kamu disini." Remaja itu menegakkan tubuhnya yang masih terasa lemas, tersenyum kala mengingat sesuatu.

"Oh iya om, kak Gama mana? Tadi aku kunci di kamar." Fabio terkekeh kecil setelahnya, mengingat jika tadi dirinya jahil dengan Gama.

Satya menggelengkan kepalanya. "Tadi pas kamu tidur dia kesini, mungkin bentar lagi dateng."

Sebenarnya jika Fabio tidak kambuh seperti ini, Satya sudah memarahi anak didepannya, menanyakan alasan kepada Fabio mengapa remaja tersebut nekat ingin kabur. Tentu ini bukan pertama kalinya Fabio ingin kabur seperti itu.

Satya sudah memberi wejangan dan nasihat untuk menunggu sebentar lagi, hingga menunggu waktu yang tepat bagi Fabio untuk bisa keluar dari sana, anak itu sudah menurut, tapi entah kenapa belakangan ini anak itu sudah mulai memberontak.

***

Malam harinya, dokter spesialis jantung yang memang menangani Fabio sedari dia tinggal di sana datang, atas panggilan Satya yang menyuruh memeriksa Fabio, sekalian untuk check up mingguannya.

"Kamu terlalu memforsir diri Bio, kalau semisalnya nggak kuat jangan memaksakan diri." Sindi, nama dokter yang menangani Fabio selama ini.

"Aku tuh nggak ngapa-ngapain padahal, cuma lari bentar doang," bantahnya.

"Iya, cuma. Tapi buat khawatir orang." Celetuk Gama yang juga berada disana, pemuda itu masih sedikit kesal akan kelakuan Fabio yang menguncinya tadi.

"Kak Gama, sorry," katanya diiringi cengiran khasnya. Beralih menatap Sindi didepannya, selapas memeriksa tubuhnya.

"Kenapa ya dok, padahal 'kan cuma lari gitu aja kok sampe kambuh. Biasanya kejar-kejaran sama kak Gama keliling kamar disini nggak sampe gitu," herannya.

"Bio, kamu itu banyak pikiran akhir-akhir ini. Ditambah kamu males mimum obat kalo nggak di suruh, besok kita ke rumah sakit, check kesehatan kamu," jelas Sindi, Fabio beroh ria mendengar penjelasan itu.

"Gitu ya, tapi mau gimana lagi dok. Kalo boleh jujur Bio coba kabur kayak tadi, rasanya Bio rindu rumah. Rumah yang benar-benar rumah buat Bio." Rentetan kalimat itu membuat ketiga orang, termasuk Satya yang juga disana terhenyak.

Fabio menghela napasnya melihat Rekasi ketiga orang didepannya. "Kalian jangan buat wajah bersalah kayak gitu, ini salah Bio yang egois."

"Siapa juga yang merasa bersalah sama bocah nakal kayak lo Yo." Gama memang sengaja berkata demikian agar mencairkan suasana di dalam sana.

"Gue nggak nanya ke lo dan gue itu nggak nakal! Gue anak baik," cibir Fabio tidak terima di bilang nakal. Sementara kedua orang yang sama-sama berprofesi sebagai dokter menyinggungkan senyum tipis di wajah mereka.

"Iya sekarang bilangnya anak baik, tapi besok mulai lagi."

"Kalo mau ngajak ribut keluar sana lo kak!."

"Siapa juga yang ngajak ribut, kepedean lo."

"Om liat Kak Gama, masa ngajak berantem orang sakit." Fabio mengadu pada Satya.

"Udah-udah, untuk Bio sekarang kamu istirahat. Biar yang lain pergi, buat nggak ganggu kamu istirahat." Keputusan Satya tidak dibantahnya, ketiga orang itu satu persatu meninggalkan dirinya di sana.

Selepas perginya mereka, Fabio tersenyum penuh arti. Setidaknya masih ada orang yang mau di sampingnya kala ia terjatuh.

 Setidaknya masih ada orang yang mau di sampingnya kala ia terjatuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TBC...

[]

Lampung, 24062022

Batas Akhir [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang